JAKARTA, 1 Agustus 2011 – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Jaringan kerja penyelamatan hutan Riau (JIKALAHARI) kembali mengecam mandegnya penegakan hukum atas tindak pengerusakan hutan yang terjadi secara massif di Indonesia.
Keluarnya Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Izin Baru di Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut sebagai komitmen Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengurangi emisi sampai dengan 26% atau 41% hanya akal-akalan saja, karena saat bersamaan APP dan APRIL masih meneruskan konversi hutan alam dan lahan gambut di Propinsi Riau seluas 243.672 hectare atau dari kubikasi kayu alam sebanyak 23.753.599 m3 (sumber EoF, 2010).
Mengedepankan penanganan tindak pidana kejahatan kehutanan terhadap 14 perusahaan pelaku pembalakan liar di Riau jelas semakin mempertegas wajah hukum di Indonesia yang sangat takut pada investasi berbasis konversi lahan. kejahatan kehutanan yang melibatkan 14 perusahaan di Provinsi Riau (yang kemudian di SP3 oleh Polda Riau), menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp 73.364.544.000.000 dan total biaya kerugian perusakan lingkungan sebesar Rp 1.994.594.854.760.000 . “Kerugian Negara yang ditimbulkan dari kejahatan kehutanan ini sebanding dengan 17 kali lebih besar dari APBD Provinsi Riau 2010 atau 7% dari APBN 2010 dan jika dilihat dari total biaya kerusakan lingkungannya menjadi 190% atau hampir 2 kali lipat dari APBN 2010,” jelas Muhammad Teguh Surya, Walhi.
“Kebijakan moratorium konversi hutan alam dan lahan gambut harusnya mampu menjawab permasalahan kesemerautan tata kelola kehutanan ini, namun INPRES No. 10/2011 hanya basa-basi dan tetap memberi ruang penghancuran hutan yang terus terjadi selama tiga dekade terakhir,”tambahnya.
Kordinasi penegak hukum dan Satgas PMH yang terjadi di Riau beberapa waktu yang lalu dimana telah merekomendasikan untuk mempertimbangkan pencabutan kembali SP3 oleh Kepolisian ternyata tidak di gubris oleh penegak hukum tersebut. “Para pihak secara nyata memahami sangat banyak kejanggalan yang terjadi, diantaranya Putusan MA No. 736 K/Pid.Sus/2009 atas perkara tindak pidana korupsi Bupati Pelalawan H Tengku Azmun Jaafar, S.H. memunculkan petunjuk sekaligus bukti baru bahwa penerbitan IUPHHK-HT PT Merbau Pelalawan Lestari dan PT Madukuro adalah melawan hukum dan oleh karenanya tidak sah, sehingga tidak ada lasan lagi untuk tidak membuka kasus SP3 terhadap 14 perusahaan milik APP dan APRIL ini,” jelas Muslim Koordinator Jikalahari.
Dari hasil pantauan yang dilakukan, Perusahaan-perusahaan yang terlibat dari dugaan tindak kejahatan kehutanan dan lingkungan hidup ini sepanjang 2009 – 2010 telah membabat hutan alam seluas 51.469 hektar “Membuka kembali kasus SP3 Illegal Logging 14 perusahaan di Riau sangat mendesak untuk dilakukan oleh Kapolri. Hal ini dimaksudkan agar kepercayaan masyarakat akan proses penegakan hukum yang adil dan tegas masih bisa diharapkan di negeri ini. Kementerian Lingkungan Hidup juga perlu memainkan perannya sebagaimana yang diatur oleh UU No. 32 tahun 2009 Pasal 90 yaitu melakukan gugatan ganti kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup.
Contact Person;
1.Muhammad Teguh Surya, Kadep. Keadilan Iklim Walhi Eksekutif Nasional. Ph 08118204362
2.Muslim, Koordinator Jikalahari (Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau) Ph 08127637233