Jakarta, 8 Agustus 2019— Gubernur Riau Syamsuar mengaku terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan gambut yang kembali terjadi di Riau sejak Januari 2019. Bukan hanya Syamsuar kabut asap juga menyebabkan 1.760 warga terserang ISPA. Sejak 2015, 6 warga meninggal dunia terkena polusi asap karhutla dan 104.408 warga terkena ISPA.
Juni 2019, Yeni Riski Purwati, 27 tahun, warga Pekanbaru meninggal terseret banjir di Kota Pekanbaru. Sepanjang 2008 – 2019, 53 orang meninggal duniadi Riau dan ribuan warga Riau mengungsi setiap tahunnya akibat terdampak banjir.
“Masyarakat Riau hanya kenal iklim bencana, di musim kemarau menghirup polusi asap karhutla, di musim hujan terkena banjir. Dua musim ini mengancam keselamatan masyarakat Riau karena buruknya pengaturan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Provinsi Riau,” kata Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari.
Jikalahari yang juga anggota Tim KLHS bentukan Gubernur Riau, Keputusan Gubernur No 817/X/2017 tentang Pembentukan Tim Penyusun KLHS RTRW Provinsi Riau 2017-2037, hanya tiga kali diundang memberi masukan, namun masukan itu tidak diakomodir. “Tim ini hanya formalitas, bahkan hasil laporan final KLHS tidak pernah diparipurnakan, tiba-tiba saja sudah jadi lampiran KLHS dalam Perda RTRWP Riau. Padahal KLHS itu belum disetujui oleh Menteri LHK,” kata Okto.
“Padahal salah satu muatan KLHS berupa daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup agar masyarakat selamat dari banjir dan karhutla,” kata Okto, selain daya dukung dan tampung Lingkungan Hidup, KLHS juga memuat dampak dan resiko, kinerja ekosistem/jasa, efisiensi pemanfaatan SDA, ketahanan keanekaragaman hayati dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.
Lalu, KLHS yang bodong itu dijadikan lampiran dalam Perda No 10 Tahun 2018 tentang RTRWP Riau 2018-2038. Dampaknya, Perda 10/2018 dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu UU 32 Tahun 2019 tentang PPLH Jo PP No 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS. Juga dipertegas oleh Medagri melalui Kepmendagri Nomor 188.34-9552Tahun 2017 tentang Evaluasi Ranperda Provinsi Riau Tentang RTRW Provinsi Riau Tahun 2017-2037, yang intinya Ranperda disetujui Mendagri setelah KLHS disetujui Menteri LHK.
Koalisi juga menemukan, Perda RTRWP Riau bertentangan dengan aturan sektoral lainnya.
Pertama, mengalokasikan kawasan lindung gambut seluas 21.615 ha (0,43%) dari 4.972.482 ha lahan gambut di Riau sangat jauh dibawah ketentuan PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dimana Provinsi harus mengalokasikan minimal 30% menjadi kawasan lindung. Hal tersebut juga bertentangan dengan SK 130/MENLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, dimana Riau ditetapkan fungsi lindung seluas 2.378.108 ha.
Kedua, usulan perhutanan sosial seluas 112.330 Ha di Riau belum ditindaklanjuti Dirjen PSKL dengan alasan Perda RTRW Riau ha usulan Perhuanan Sosial harus mendapat rekomendasi dari DPRD Riau, padahal merujuk UU 41 No 1999 tentang Kehutanan jo Permen LHK No 83 Tahun 2016 tentang perhutanan sosial izin PS kewenangan MenLHK, tidak membutuhkan rekomendasi Gubernur dan pembahasan bersama DPRD.
“Bagaimana mungkin izin perhutanan sosial harus disetujui bersama antara Gubernur dan DPRD? Tentu itu menjadi proses yang politis dan prosesnya lama. Ini menghambat hak warga untuk mendapatkan akses untuk mengelola hutan dan tanah. Ini juga tak sejalan dengan program pemerintahan Jokowi-JK,” kata Riko Kurniawan, Eksekutif Daerah Walhi Riau.
Ketiga, mengambil kewenangan menteri LHK berupa mempersempit kewenangan Menteri LHK atas kawasan hutan. Perda RTRWP Riau mengalokasikan 405.874 ha kawasan hutan kedalam outline. Padahal perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan merupakan otoritas menteri LHK yang tidak dibatasi oleh outline selama itu berada dalam kawasan hutan merujuk pada UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan Jo PP No 104 tahun 2015 tentang Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
Temuan Jikalahari di lapangan, kawasan hutan seluas 29.102 ha dari 405.874 dalam peruntukan outline telah dikuasai secara ilegal oleh 5 korporasi dan 2 pemodal, PT. Torganda di Rokan Hulu seluas 9.979 ha, PT. Padasa Enam Utama di Kampar seluas 1.926 ha, PT. Agro Mandiri/Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri di Kampar seluas 485 ha, PT. Andika Pratama Sawit Lestari di Rokan Hulu 10.098 ha, PT. Citra Riau Sarana di Kuantan Singingi seluas 4.000 ha dan 2 Pemodal di Rokan Hilir dan Kuntan Singigi seluas 2.614 ha.
“Perda ini hendak melegalkan tindak pidana yang dilakukan korporasi sawit yang merambah kawasan hutan dengan memaksa KLHK merubah fungsi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lainnya melalui outline,” kata Okto.
Jelang ulang tahun Provinsi Riau ke 62 pada 9 Agustus 2019, Jikalahari dan Walhi mengajukan judicial review atas Perda RTRWP Riau ke Mahkamah Agung di Jakarta sebagai upaya menghentikan bencana kabut asap dan memberikan keadilan ruang dan ekologis bagi warga Riau.
————
Narahubung:
Okto Yugo Setiyo, Wakil Koordinator Jikalahari 0853 7485 6435
Riko Kurniawan, Eksekutif Daerah Walhi Riau 0813 7130 2269
Lampiran
Tabel: Pasal Dalam Perda No 10 Tahun 2018 Tentang RTRW Provinsi Riau 2018-2038 Bertentangan Dengan Peraturan Dan Perundang-Undangan Yang Lebih Tinggi
PERDA 10 2018 | BERTENTAN DENGAN UU LEBIH TINGGI | KETERANGAN |
Prosedur Pengesahan Perda RTRW Propinsi Riau
Terkait KLHS |
· Pasal 15 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
· Pasal 5, Pasal 25 ayat (1). Pasal 26 ayat (3) ayat (4) dan ayat (5), Pasal 28 PP No. 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS · Pasal 37 ayat (6) Permen LHK No. 69 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan PP 46 tahun 2016 |
Perda RTRWP Riau tidak dilengkapi dengan KLHS yang telah diberikan persetujuan validasi oleh KLHK bertentangan dengan Peraturan-perundang-undangan yang lebih tinggi |
Ketentuan mengenai outline dalam Pasal 1 angka 69, Terkait Defenisi Outline | PP No. 8 tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang | Ketentuan mengenai definisi outline Pasal 1 angka 69 Perda RTRW Provinsi Riau bertentangan dengan PP No. 8 tahun 2013 |
Ketentuan mengenai outline dalam Pasal 23 ayat (4), Pasal 38 ayat (1) dan (2), Pasal 46 ayat (2) huruf d, Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2)
Terkait Outline sebagai prosedur pelepasan kawasan hutan |
· Pasal 31 ayat (1) PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Tata Ruang
· Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (5), Pasal 33 PP No. 104 Tahun 2015 tentang Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan · Pasal 18 Perpres No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan |
· Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan harus merujuk pada peraturan dan perundang-undangan bidang kehutanan
· outline sebagai prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan tidak dikenal dalam PP No. 104 Tahun2015 · Pada Perpres 88 Tahun 2017, untuk melepaskan Fasos, Fasum dan pemukiman harus menempuh prosedur PP 104 Tahun 2015 |
Ketentuan mengenai outline dalam Pasal 38 ayat (1), Pasal 46 ayat (2) huruf c, Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2)
Terkait pemanfaatan kawasan hutan dalam outline |
Pasal 22, Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 26, dan Pasal 31 ayat (1) dan (2) PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008. Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan
|
Wilayah yang masuk dalam Outline secara juridis masih merupakan kawasan hutan, tetapi Pasal 38 ayat (1), Pasal 46 ayat (2) huruf c dan Pasal 71 ayat (1) dan (2) memperbolehkan pemanfaatan non-kehutanan yang tidak sesuai dengan ketentuan pemanfataan kawasan hutan sebagaimana yang diatur dalam PP No. 6 tahun 2007 jo. PP No. 3 tahun 2018 |
Pasal 46 ayat (2) huruf e Perda RTRW Provinsi Riau
Tentang Perhutanan Sosial dan TORA |
· Pasal 101 ayat (1) UU 23/3014 tentang Pemerintah Daerah
· Pasal 62 ayat (4), Pasal 86, Pasal 93, Pasal 99 PP No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan · Pasal 9 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 46 ayat (4) dan (5), Pasal 50 ayat (1) Permen LHK No. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial |
· Ketentuan mengenai perhutanan sosial dalam dalam perda dimana usulan izin perhutanan sosial harus dibahas bersama antara gubernur Riau dengan DPRD Provinsi Riau bertentangan dengan kewenangan DPRD sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
· Permohonan Perhutanan Sosial tidak membutuhkan rekomendasi Gubernur dan pembahasan bersama DPRD sesuai dengan Pasal 9 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 46 ayat (4) dan (5), dan Pasal 50 ayat (1) Permen LHK No. 83 tahun 2016 |
Pasal 25 ayat (1) dan (4) dan Pasal 72 ayat (3) P
Tentang Perlindungan Gambut |
Pasal 9 ayat (3) PP No. 71 Tahun 2014 jo. PP No. 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut | Kawasan bergambut dsebagai kawasan lindung dalam Perda tidak melaksanakan mandat PP 71 tahun 2014 jo. PP 57 Tahun 2016 yang harus memasukan gambut kedalam kawasan lindung minimal 30 %, sedangkan Perda Riau hanya mengakomodir 0,43 % |