PEKANBARU, 22 Februari 2011 – Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) meminta aparat kepolisian untuk mencabut kembali Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 14 perusahaan kayu yang diduga terlibat pembalakkan liar di Riau untuk menyelamatkan kerugian keuangan Negara mencapai 2,8 triliun rupiah dan deforestasi hutan alam dan gambut lebih dari 194,000 hektar.
Dari proses terbitnya izin juga jelas indikasi praktik mafia kehutanan di setiap tahapan pemberian izin dari tingkat kabupaten hingga kementrian kehutanan. Praktik mafia kehutanan itu semakin kuat ketika SP3 diterbitkan oleh Kepolisian Daerah Riau yang waktu itu dijabat Brigjen Hadiatmoko atas 13 perusahaan grup APP dan APRIL Desember 2008. Pada saat bersamaan Kapolda Riau menegaskan ada satu perusahaan dinyatakan layak diproses hukum yakni PT Ruas Utama Jaya (RUJ) yang tidak memiliki izin dan memenuhi unsur pembalakan liar namun justru juga dikeluarkan SP3 seteahun kemudian.
“Penerbitan SP3 terhadap kasus RUJ yang jelas tidak memiliki izin namun SP3 maka ini harus dicurigai sebagai bagian dari jaringan mafia hukum dan kehutanan. Jikalahari mendesak Kepolisian RI untuk mencabut SP3 perusahaan perusak hutan alam dan gambut Riau dan mendorong Satgas Mafia Hukum untuk bertindak lebih kongkrit membongkar kasus tersebut,” kata Susanto Kurniawan, Koordinator Jikalahari.
Ia menambahkan, dokumen resmi yang dimiliki 14 perusahaan yang diklaim menjadi dasar dalam menjalankan aktifitas penebangan juga sarat pelanggaran hukum. Sebab izin IUPHHKHT yang diterbitkan setelah PP 34/2002 tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan terbit adalah cacat hukum. Sebab izin yang dikantongi perusahaan itu diterbitkan pada tahun 2002,2003, 2004 dan 2006.
“Penegakan hukum atas kasus Bupati Pelalawan Azmun Ja’far di mana empat dari perusahaan yang diterbitkan SP3 itu telah menjeratnya ke meja hijau ini dapat dijadikan rujukan untuk menyeret tersangka lainnya termasuk bahawa operasi perusahaan tersebut harus dinyatakan illegal karena melawan hukum,” kata Susanto.
Seharusnya kepolisian dan jaksa lebih mudah memproses hukum perusahaan-perusahaan tersebut dan termasuk para pengambil kebijakan yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan alam di Riau. Akibat izin illegal tersebut dampak kerugian negara mencapai 2,8 triliun rupiah dengan total deforestasi lebih dari 194,000 hektar.
“Sejalan dengan komitmen moratorium jeda tebang Presiden Yudhoyono yang akan diterapkan pada 2011 ini, juga harus diikuti komitmen penegakan hukum atas kasus-kasus kerusakan hutan seperti yang ada di Riau, jika tidak maka komitmen moratorium hanya sia-sia dan tidak berarti besar bagi penyelamatan hutan,” kata Susanto.
Cp:
Susanto Kurniawan, Koordinator Jikalahari : 082169502200
Muslim Rasyid, Wakil Koordinator Jikalahari : 08127637233