Pekanbaru, 15 Juli 2019– Pernyataan Presiden Jokowi pada 14 Juli 2019 di Bogor soal Visi Indonesia, satu dari empat pernyataannya tentang Investasi, “Jangan ada yang alergi terhadap investasi. Yang menghambat investasi, semuanya harus dipangkas, baik perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi ada punglinya! Hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, saya kontrol, saya cek, dan saya hajar kalau diperlukan. Tidak ada lagi hambatan-hambatan investasi karena ini adalah kunci pembuka lapangan pekerjaan,” perlu dipertegas, apakah sumberdaya alam sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan termasuk investasi yang dimaksud Presiden Jokowi?
“Bila sumberdaya alam salah satu investasi dalam Visi Indonesia, Presiden Jokowi melanggar komitmen yang dia buat sendiri berupa moratorium perkebunan, kehutanan dan pertambangan yang dia bangga-banggakan di dunia Internasional sebagai salah satu capaian Indonesia menurunkan emisi gas rumah kaca,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Pada 2017, Jokowi memperpanjang Inpres No 6 Tahun 2017 tentang penundaan dan penyempurnaan tatakelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berlaku hingga 17 Juli 2019. Isinya memerintahkan kepada Menteri, Gubernur dan Bupati untuk melakukan perpanjangan penundaan pemberian izin baru, rekomendasi dan pemberian izin lokasi.
Pada 2018, Jokowi menerbitkan Inpres No 8 Tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit. Isinya memerintahkan Menteri, Gubernur dan Bupati untuk menunda perizinan kelapa sawit dan mengevaluasi perizinan yang telah diterbitkan selama tiga tahun sejak diterbitkan pada September 2018.
Pada Juli 2018, Jokowi menerbitkan Perpres No 54 Tahun 2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi, salah satu fokusnya perizinan dan tata niaga.
“Presiden Jokowi juga membuka korupsi terang-terangan sektor perizinan dan tata niaga di perkebunan, kehutanan dan pertambangan, karena pernyataan Jokowi ini akan menjadi senjata ampuh bagi korporasi yang terlibat melakukan kejahatan sektor sumberdaya alam yang selama ini penegakan hukumnya dibiarkan oleh pemerintah,” kata Made Ali.
Temuan Jikalahari, Pertama, 370 perusahaan sawit illegal dalam kawasan hutan akan berbondong-bondong mengajukan izin pelepasan kawasan hutan, izin lokasi dan izin usaha perkebunan kepada Bupati, Gubernur dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Didalam 370 perusahaan ini yang menguasai sekitar 1,6 Juta hektar kawasan hutan merupakan wilayah masayarakat hukum adat, habitat flora dan fauna dan hutan alam yang tersisa termasuk gambut dalam di dalamnya.
Kedua, perusahaan pertambangan PT Buana Tambang Jaya di Pangkalan Kapas sedang mengusulkan izin pinjam pakai kawasan hutan di HPT SM Rimbang Baling seluas 200 hektar ke Kementerian LHK. Perusahaan ini memiliki IUP seluas 3.000 hektar, 2.890 hektar diantaranya berada dalam HPT Batang Lipai Kampar Kiri Hulu, sisanya 110 hektar masuk dalam peta PIPIB. Di dalam areal PT Buana Tambang Jaya merupakan wilayah adat masyarakat Kampar, habitat flora dan fauna (Harimau Sumatera), hutan alam yang tersisa, termasuk dua Hutan Desa Kenegerian Pangkalan Kapas.
Ketiga, APP dan APRIL Grup mendapatkan legitimasi mempercepat ekpansi mereka merusak hutan alam pada 2019 dan 2020 yang tertuang dalam SFMP2.0 (APRIL, RGE Grup) dan FCP APP (APP Sinarmas Grup). Termasuk mempercepat green washing APP dan APRIL dengan memfasilitasi izin Perhutanan Sosial berupa Kemitraan dan izin Restorasi Ekosistem. Temuan Jikalahari satu diantaranya KPH-KPH bentukan KLHK mendorong kemitraan dengan korporasi.
Keempat, Rencana penambahan sumur untuk eksploitasi di TN Zamrud oleh BOB PT BSP-Pertamina Hulu akan mengancam kelestarian TN Zamrud yang merupakan hutan rawa gambut yang tersisa dan habitat flora dan fauna endemik Riau. TN Zamrud ditetapkan sebagai Taman Nasional pada 5 Desember 2018 oleh Dirjen KSDAE Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas 28.237 hektar. Ancaman pengrusakan TN Zamrud semakin jelas karena sudah mendapat dukungan dari Komisi VII DPR RI[1].
“Dampaknya Presiden Jokowi secara langsung ataupun tidak langsung memfasilitasi korporasi merampas kehidupan masyarakat hukum adat dan membunuh habitat flora dan fauna termasuk memfasilitasi pembakaran hutan dan lahan. Masyarakat Riau kembali diberi hadiah banjir dan polusi asap di periode ke dua Presiden Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia,” kata Made Ali.
Jikalahari merekomendasikan kepada Presiden Jokowi agar investasi sektor sumberdaya alam tidak masuk dalam pidato Visi Indonesia 2019:
- Memperpanjang Inpres Moratorium Hutan yang akan berakhir pada 17 Juli 2019. Jika moratorium hutan tidak diperpanjang Jokowi telah melanggar UU No 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris atas konvensi kerja PBB bidang perubahan iklim yang disahkan oleh DPR RI dan Presiden Jokowi menyebut, komitmen nasional untuk menurunkan emisi bersumber dari pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.
- Melakukan penegakan hukum terhadap 370 perusahaan sawit illegal di Riau yang telah merusak dan mencemarkan hutan dan lingkungan hidup yang berdampak terhadap masyarakat Riau.
- Menolak izin PT Buana Tambang Jaya yang berada dalam kawasan hutan yang berada di Kabupaten Kampar.
- Mencabut izin Restorasi Ekosistem yang dimiliki oleh APRIL untuk diserahkan masyarakat agar dimasukan dalam skema perhutanan sosial, termasuk mencabut seluruh izin APP dan APRIL di Riau untuk dikembalikan ke masyarakat hukum adat.
- Menolak permohonan izin khusus BOB PT BSP-Pertamina Hulu untuk pengembangan pengeboran minyak di TN Zamrud.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari 081275311009
Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 634
[1] http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=131398&judul=-Kunjungi-BOB-PT–BSP-Pertamina-Hulu-DPR-RI–Dukung-Eksploitasi-Migas-di-Taman-Nasional-Zamrud