Pekanbaru, 30 Desember 2020—Jikalahari mendesak Presiden Joko Widodo mengubah Perpres Nomor 108 Tahun 2020 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, dengan memasukkan Pemulihan Lingkungan Hidup selain Kesehatan dan Ekonomi penangan Covid-19, dan membentuk Komite Pemulihan Lingkungan Hidup yang dikoordinir oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
“Ini perlu dilakukan agar dana penanganan Covid-19 sebesar Rp 695,2 Triliun bukan hanya untuk Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi. Dengan memasukkan Pemulihan Lingkungan Hidup, prioritas perbaikan tata Kelola LHK akan cepat dilakukan,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari, dalam peluncuran Catatan Akhir 2020 Jikalahari bertajuk “Covid-19: Pemulihan Lingkungan Hidup, selain Kesehatan dan Ekonomi”.
Tapi mengapa Presiden Jokowi sejak awal tidak memprioritaskan pemulihan lingkungan hidup dalam penanganan Covid-19?
Padahal, sembilan bulan sebelum Indonesia dilanda Covid-19, pada 17 Juni 2019 Presiden Jokowi menerbitkan Inpres No 4 Tahun 2019 Tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi dan Merespon Wabah Penyakit, Pandemi Global dan Kedaruratan Nuklir, Biologi dan Kimia. Dunia, termasuk Indonesia harus waspada terhadap Wabah Penyakit dan Pandemi global, salah satunya.
“Presiden Jokowi sudah mengetahui Indonesia akan dilanda salah satunya wabah penyakit dan pandemi global, Inpres No 4 tahun 2019 sudah tepat sebagai langkah preventif dengan memerintahkan kementerian terkait, salah satunya Menteri LHK,” kata Made Ali.
Inpres No 4 Tahun 2019 berisi instruksi dari Presiden Joko Widodo kepada Kementerian dan Lembaga hingga Gubernur dan Bupati. Dalam itu, Presiden memerintahkan Menteri LHK dan Pertanian mengawasi dan mengendalikan penyakit yang bersumber dari satwa liar termasuk zoonosis. Menteri LHK diperintahkan memperkuat kebijakan keragaman hayati serta dukungan pembiayaan.
Perlunya pemulihan lingkungan hidup di tengah Covid-19 merujuk pada kajian RPJMN IV 2020 – 2025 yang diterbitkan oleh Bappenas, mencatat hilangnya hutan sebagai habitat satwa liar dan menurunnya keanekaragaman hayati merupakan penyebab penyebaran penyakit zoonosis.
RPJMN IV menyebutkan; pertama, tutupan hutan primer Indonesia cenderung terus berkurang. Luas tutupan hutan primer semakin menurun sehingga diperkirakan hanya akan tinggal tersisa 18,4 persen dari luas lahan total nasional (189,6 juta ha) di tahun 2045 dibandingkan kondisi di tahun 2000 yang mencapai 27,7 persen total luas lahan nasional.
Kedua, luas tutupan hutan, baik hutan primer maupun sekunder yang terletak di atas lahan gambut semakin berkurang.
Ketiga, habitat spesies kunci terancam punah semakin berkurang signifikan akibat pengurangan luas tutupan hutan. Analisis menunjukkan bahwa tutupan hutan pada habitat spesies langka di sebelah barat garis Wallacea akan menyusut dari 80,3 persen di tahun 2000 menjadi 49,7 persen di tahun 2045, terutama pada wilayah Sumatera dan Kalimantan. Diperkirakan luas key biodiversity areas di sisi timur Garis Wallacea, khususnya wilayah Papua juga berkurang signifikan.
Ini membuktikan, perbaikan lingkungan hidup harus segera dilakukan untuk mengantisipasi pencegahan munculnya zoonosis yang mengancam kesehatan masyarakat. Sudah seharusnya Jokowi merevisi KPC-PEN dan memasukkan KLHK menjadi anggotanya.
Sebuah riset yang dipublikasin di jurnal Proceedings of Royal Society menyebut aktifitas manusia berupa perburuan illegal (eksploitasi) satwa liar dan perusakan habitat alami (keanekaragaman hayati) adalah faktor yang mendasari berlimpahnya penyakit menular atau zoonosis. Zoonosis merupakan wabah yang disebabkan oleh penularan virus hewan liar ke manusia.
Studi ini menemukan: 70 persen penyakit manusia adalah zoonosis seperti wabah virus corona alias Covid 19, 140 virus telah ditularkan dari hewan ke manusia dan hewan tersebut masuk dalam daftar Merah Spesies terancam punah IUCN.
Pada 2019, panel Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang keakeragaman hayati memperingatkan, hingga satu juta spesies menghadapi kepunahan karena aktifitas manusia. Salah satu yang menjadi tekanan bagi mamalia liar yang berjuang untuk beradaptasi dengan berkurangnya habitat yaitu deforestasi untuk konversi lahan untuk menanam tanaman, memelihara ternak dan membangun komunitas. “Ketika manusia merambah lebih jauh di wilayah mamalia, hewan-hewan liar dipaksa meningkatkan kontak langsung dengan manusia. Itu memicu peningkatan risiko penyakit menular.”
“Munculnya zoonosis karena habitat satwa liar yang hidup di hutan alam dirusak berupa ditebang dan dibakar, Covid-19 hanya salah satu penyakit dari zoonosis. Ada ribuan virus yang menyerang manusia Ketika habitat satwa liar yang dilindungi dirusak untuk pembangunan,” kata Made Ali.
”Di Riau korporasi HTI, Sawit dan Tambang yang dikuasai oleh taipan yang berkolaborasi dengan elit politik berdampak pada penghancuran hutan alam dan gambut dalam di Riau yang merupakan habitat satwa liar yang dilindungi oleh dunia. Cara-cara menebang hutan alam dan membakar hutan dan gambut masih mereka lakukan di tengah Indonesia diserang Covid-19,” kata Made Ali, tidak ada perubahan perilaku korporasi yang terus merusak hutan, tanah dan lingkungan hidup, padahal Presiden Jokowi mati-matian mengajak masyarakat Indonesia mengubah perilaku hidup New Normal atau tatanan kehidupan baru. Juga aksi pemerintah untuk memulihkan lingkungan hidup tak juga kelihatan progresnya. “Pemulihan lingkungan hidup hanya bussnines as usual di tengah Covid-19.”
Jikalahari menemukan, pertama Greenwashing Korporasi Memanfaatkan Covid-19. Korporasi APP dan APRIL memanfaatkan Covid-19 dengan cara menyumbang APD, Masker, hingga alat rapid tes, namun, diam-diam mereka membakar hutan dan gambut, hendak menebang hutan alam dan sengaja memecah belah masyarakat termasuk tidak menghormati dan menghargai hak masyarakat adat.
Saat lahan PT Arara Abadi dibakar, Polda Riau tidak cepat menindak, padahal jelas, hasil investigasi Jikalahari menemukan PT Arara Abadi sengaja membakar lahannya untuk ditanami akasia. Termasuk gakkum KLHK tidak menindak PT Arara Abadi. Ini berbeda bila karhutla terjadi di areal korporasi sawit, Polda Riau bahkan Mabes Polri secepat kilat menindak, bahkan PT Adei Plantation and industry yang terbakar hanya 4 ha, langsung jadi tersangka.
April Grup diam-diam hendak menebang hutan alam melalui anak perusahaannya PT NPM di dalam areal HKM Koto Intuok. April grup memanfaatkan masyarakat untuk menebang kayu alam. Termasuk saat APRIL menerbitkan APRIL 2030 yang lagi-lagi hendak menipu masyarakat global dengan cara pura-pura mendukung SDGS, padahal sedang merencanakan menebang hutan alam dan memperluas Riau Komplek untuk penambahan pabrik serat rayon yang saat ini sedang konsultasi ANDAL yang difasilitasi Dinas LHK Propinsi Riau yang sejak awal tidak mengumumkan pada publik, hanya memajang plang di ruang Dinas LHK.
Kedua, Salah sasaran PEN COVID-19. Kapolda Riau dan Dandrem Wirabima 031 menginisiasi penanaman holtikultura berupa tanaman palawija dan sayuran, jagung, cabe, tomat yang bekerjasama dengan PT RAPP di Pelalawan dan menanam jagung di dalam konsesi PT Arara Abadi di Kampar. Tujuannya untuk ketahanan pangan di tengah Covid-19 juga sebagai stimulus Pemulihan Ekonomi. Forkopimda juga diajak oleh Kapolda dan Dandrem untuk secara simbolis hadir di tengah acara penanaman.
Apa motif Kapolda dan Dandrem menanam di dalam areal konsesi dan bekerjasama dengan korporasi? Mengapa tidak menanam di areal perhutanan sosial masyarakat? Atau di areal kawasan hutan yang kritis dan rusak yang telah dirusak oleh korproasi dan cukong?
Sesungguhnya yang untung bukan masyarakat, justru korporasi APP dan APRIL, dengan bangga mereka akan koar-koar ikut menyelamatkan ekonomi Indonesia.
Ketiga, Karhutla Mereda Karena Covid 19. Covid-19 membantu progresifitas pemerintah memadamkan api meski dengan menggunakan hujan buatan dan patroli lapangan. Namun, anggaran untuk pemadaman tersebut terbilang jumbo dengan menggunakan helikpoter termasuk dengan menabur garam.
Satu sisi perlu diapresiasi, sisi lain sampai kapan tindakan bikin hujan buatan berlangsung? Padahal untuk hentikan karhutla permanen adalah mereview seluruh izin korporasi yang merusak hutan, tanah dan gambut agar dikembalikan dan dikelola masyarakat adat yang selama ini ampuh menghentikan kerusakan lingkungan hidup, juga menghentikan konflik hutan dan tanah.
Penegakan hukum karhutla yang melibatkan korprorasi HTI tidak pernah dilakukan penegakan hukum oleh Polda Riau maupun Gakkum KLHK, ini juga jadi perhatian publik bahkan ironis korproasi HTI jelas-jelas membakar dibiarkan melenggang bebas oleh penegak hukum, yang sisi lain tegas terhadap korporasi sawit yang lahannya terbakar hingga divonis pengadilan.
Keempat, UU Cipta Kerja, melegalkan Korporasi HTI dan Korporasi sawit Ilegal. UU CK, bukan solusi menyelesaikan konflik hutan tanah masyarakat adat yang selama ini dirampas oleh korporasi, justru jalan melegalkan korporasi sawit seluas 1,2 juta ha yang selama ini illegal berada dalam kawasan hutan dengan cara diberi waktu tiga tahun untuk memenuhi syarat pelepasan kawasan hutan. Pun dengan korporasi HTI yang kian mendapat legalitas karena izinnya berakhir mengikuti UU CK, itu berarti butuh waktu 90 tahun.
Padahal dalam konsesi korporasi HTI dan sawit, hidup masyarakat adat termasuk ekosistem didalamnya berupa fauna dan flora. Peluang perbaikan ini tidak terjawab dalam UU CK: karhutla dan banjir akan terus menghantam Riau sebab korporasi sesukanya membakar hutan dan lahan, menebang hutan alam dan merusak gambut sebagai resapan air.
Lalu, korupsi dan kriminalisasi masyarakat adat akan kian meruncing dan tidak akan padam lantaran UU CK didesain untuk melegalkan atau menghalalkan yang haram perizinan korporasi HTI dan Sawit yang selama ini dibiarkan oleh pemerintah.
Kelima, Pemulihan Lingkungan Hidup, selain Kesehatan dan Pemulihan Ekonomi. Covid-19 adalah jalan cepat pemulihan lingkungan hidup untuk memutus mata rantai zoonosis, virus yang berasal dari satwa liar yang bukan saja menyebabkan virus covid-19, tapi virus-virus lainnya yang juga berbahaya.
“Presiden Jokowi perlu segera memasukkan isu pemulihan lingkungan hidup selain isu kesehatan dan pemulihan ekonomi dalam penangangan Covid-19, ini jalan cepat memperbaiki tata Kelola lingkungan hidup berupa mereview perizinan korporasi yang menguasai jutaan hektar hutan, tanah dan gambut, juga jalan cepat merealisasikan ruang Kelola masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial,” kata Made Ali, “Dengan bujet jumbo penanganan Covid-19, dan memangkas kerja birokrasi yang ruwet, memungkinkan implementasi pemulihan lingkungan hidup dapat tercapai menghentikan dampak kerusakan dan kemiskinan makhluk hidup yang bergantung pada lingkungan hidup.”
Jikalahari merekomendasikan kepada Presiden Jokowi:
1. Presiden Jokowi mengubah Perpres Nomor 108 Tahun 2020 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional pada 10 November 2020 dengan menambahkan isu pemulihan lingkungan hidup. Agar dana jumbo sebesar Rp 695,2 Triliun juga bisa untuk pemulihan lingkungan hidup, selain kesehatan dan pemulihan ekonomi.
2. Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Kapolda Riau dan Dandrem Wirabima yang merugikan masyarakat karena menanam holtikulura di dalam konsesi korporasi HTI terkait PEN Covid-19, berupa memutasikan Kapolda dan Dandrem.
3. Menteri LHK mencabut izin HKM Koto Intuok karena hendak menebang hutan alam tersisa di bentang Rimbang Baling yang merupakan habitat flora dan fauna dilindungi. Juga penolakan dari masyarakat atas HKM Koto Intuok
4. Kapolri mengambil alih kasus Karhutla PT Arara Abadi yang terbakar seluas 80 hektar di Pelalawan, karena dibiarkan oleh Kapolda Riau
5. Gubernur Riau memerintahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau untuk tidak menyetujui RKL-RPL peningkatan kapasitas produksi PT RAPP.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari 081275311009
Arpiyan Sargita, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340
CAT 2020 Jikalahari selengkapnya