Pekanbaru 4 Maret 2025—Jikalahari mendesak Gubernur Riau Abdul Wahid hentikan budaya bagi-bagi sembako yang dilakukan gubernur sebelumnya untuk korban banjir di Riau. “Cukup dinas terkait yang turun menyalurkan bantuan sembako untuk korban banjir. Gubernur mestinya mereview tata ruang dan mengevaluasi izin korporasi HTI dan perusahaan sawit penyebab deforestasi yang mengakibatkan banjir,” kata Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari.

Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, sepanjang 1 Januari hingga 4 Maret 2025 sudah terjadi 43 kejadian banjir di 5 kabupaten: Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi dan Pelalawan. Banjir tersebar di 18 kecamatan dan 39 desa atau 4 kelurahan dengan total 7.000 kepala keluarga (KK) yang terdampak.

Ketua BPBD Provinsi Riau M Edy Afrizal juga mengatakan, “Ada juga 4 fasilitas kesehatan (Faskes), 5 fasilitas pendidikan (Fasdik), 2 fasilitas kantor (Fastor), 19 fasilitas umum (Fasum), jalan 7.8 Km, kebun 8.355 hektar dan ternak 615 ekor yang juga terdampak.”
Merespons banjir yang terjadi, pada 3 Maret 2025, Gubri Abdul Wahid langsung berkunjung ke Desa Sendayan, Kecamatan Kampar Utara, Kabupaten Kampar. Ia memberikan bantuan sembako kepada warga. Dalam sambutannya, Abdul Wahid menyampaikan, “Untuk solusi jangka panjang, kami akan berdiskusi dengan Bupati Kampar, PLN, dan Pemerintah Pusat. Tentu agar banjir seperti ini tidak terulang kembali, dan harus kita cari solusinya. Kalau ide saya, perlu pembangunan bendungan lagi.”
Abdul Wahid harusnya melihat persoalan banjir dari hulu hingga ke hilir. Pembukaan pintu PLTA Koto Panjang bukanlah jadi satu-satunya penyebab banjir. “Saat ini banjir juga terjadi di Rohul, Inhu dan Kuansing, yang jelas tidak semua berhubungannya dengan Sungai Kampar,” kata Okto.

Hasil analisis Jikalahari, selain curah hujan, banjir yang terjadi di Riau juga disebabkan pembukaan hutan alam di sepanjang sungai – sungai besar di Riau (Sungai Kampar, Rokan dan Indragiri). Hutan alam di sepanjang sungai ini berubah menjadi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). “Jika Abdul Wahid ingin selesaikan persoalan banjir, gubernur harus berani rekomendasikan agar perusahaan sawit dan HTI di sepanjang sungai ini dievaluasi bahkan dicabut izinnya jika tidak miliki sistem pengelolaan lahan yang aman bagi lingkungan,” kata Okto, “bukan hanya bagi – bagi sembako dan sarankan pembangunan bendungan baru.”
Misalnya, di Rokan Hulu ada 20 desa yang terdampak banjir. Salah satunya menyebabkan Jembatan Horas, akses penghubung antara Jalan Poros Kelurahan Kota Lama menjadi terputus. Sedangkan di Kampar, terdapat 18 desa terdampak banjir. Dari total 38 desa tersebut, Jikalahari mendapati 27 perusahaan perkebunan sawit dan 2 perusahaan HTI berada di sekitar lokasi banjir.

Berdasarkan data deforestasi sejak 2000 hingga 2024 di areal sekitar banjir, sekitar 81% atau seluas 28.176 ha hutan alam yang berada di 29 perusahaan di kawasan banjir itu mengalami deforestasi. “Ini seharusnya menjadi perhatian Abdul Wahid dalam penanggulangan banjir di Riau,” kata Okto.
Untuk itu, Jikalahari merekomendasikan kepada Gubernur Riau Abdul Wahid untuk melakukan review izin PBPH HTI dan sawit yang berada di sepanjang Sungai Kampar, Rokan dan Indragiri serta melakukan pemulihan di areal tersebut.
Narahubung:
Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari (+62 853-7485-6435)
