Jikalahari mencatat banyak persoalan akan muncul jika RTRWP Riau tetap disahkan saat ini. Berbagai persoalan dasar seperti tidak transparannya pemerintah dalam proses penyusunan, masyarakat adat dan tempatan kian mudah dipidana, monopoli penguasaan lahan oleh korporasi hingga minimnya ruang kelola masyarakat akan menjadi problem akut ketidakadilan sosial dan ekologis.
Kertas posisi ini disusun sebagai bentuk peran partisipasi publik dalam penataan ruang mulai dari perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Khusus dalam perencanaan tata ruang, kertas posisi ini sebagai masukan berkaitan dengan perkembangan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.
PENGANTAR
Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rahman melakukan pertemuan terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 31 Mei 2017. Andi Rahman bersama Presiden membahas Program Strategis Nasional di Riau dan persoalan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau. Andi mengaku Presiden meminta langsung Menteri LHK untuk membantu proses penyelesaian RTRWP Riau. [1]
“Saat itu asumsi kami membantu Gubernur penyelesaian RTRWP terkait kawasan hutan ialah bahwa data usulan tersedia dan prosedur dilaksanakan. Asumsi ini bergeser ketika dalam proses prosedur pengusulan revisi tata ruang tidak dipenuhi oleh Pemda Provinsi Riau,” kata Siti Nurbaya dalam laporannya kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Juli 2017[2]. “Tidak ada dokumen yang bisa diproses karena belum ada usulan dari Pemda Provinsi Riau.”
“Pemda Provinsi (Sekda Provinsi bersama unsur Pansus DPRD Provinsi) bertemu tim Ditjen Planologi KLHK, diskusi merencanakan mekanisme pembahasan bersama, yang ketika kami ketahui, kami larang untuk dilaksanakannya rapat-rapat tanpa sistematika kerja administratif yang teratur dan tanpa berdasarkan peraturan,” kata Siti Nurbaya, “Situasi menjadi lebih buruk ketika komunikasi pejabat Pemda Riau dan DPRD Provnsi Riau di ruang publik mendiskreditkan pusat (dalam hal ini KLHK) yang berbeda dari kondisi yang sesungguhnya. Atas kondisi ini, kami semakin meningkatkan kehati-hatian dalam berinteraksi untuk penyelesaian RTRWP Riau.”
“Saat itu asumsi kami membantu Gubernur penyelesaian RTRWP terkait kawasan hutan ialah bahwa data usulan tersedia dan prosedur dilaksanakan. Asumsi ini bergeser ketika dalam proses prosedur pengusulan revisi tata ruang tidak dipenuhi oleh Pemda Provinsi Riau,” kata Siti Nurbaya dalam laporannya kepada Presiden Joko Widodo pada 14 Juli 2017
“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan terbitnya SK. 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016 tanggal 7 Desember 2016 yang menetapkan Kawasan Hutan di Provinsi Riau berpandangan bahwa SK tersebut sudah dapat menjadi acuan dalam proses penyelesaian RTRWP Riau,” kata Siti Nurbaya.
“Pihak KLHK tetap kekeuh akan memasukkan SK terakhir—SK Nomor 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016. Pihak Pansus RTRWP Riau tidak bisa mengikuti hal tersebut karena dinilai tidak berkesesuaian dengan RTRWP Riau dan juga tidak harus diikuti,” kata Asri Auzar[3], Ketua Pansus RTRWP DPRD Riau.
Menurut Asri Auzar ada perusahaan yang luasnya sekitar 117 ribu hektar dan terakhir 105 ribu hektar yang diputihkan KLHK dalam SK Nomor 878 dan SK 903, “Itu kebunnya sudah ditanam, izinnya sudah ada dan diproduksi bertahun-tahun, diputihkan secara sepihak tanpa prosedur yang jelas. Artinya perusahaan itu sudah melakukan perambahan hutan bertahun-tahun oleh SK KLHK diputihkan, legal dia. Punya perusahaan gila itu kenapa dikeluarkan, saya lupa nama perusahaannya, tapi jumlahnya hampir 40-an, yang besar banyak. Ini adalah perilaku pembohongan oleh pihak KLHK bahwa seakan-akan kita yang salah, kita legalkan, dan kita ikut masalah.”
Pansus DPRD Riau meminta kepada KLHK 117 ribu hektar dan 105 ribu hektar lahan milik korporasi sawit yang ‘diputihkan’ dijadikan kawasan hutan. Sedangkan kawasan pemukiman masyarakat, infrastruktur, kawasan startegis pemerintahan yang awalnya masuk dalam kawasan hutan bisa diputihkan[4]. Pansus RTRWP juga tetap ingin 142 desa ‘diputihkan’[5].
497 ribu Hektar
Pada 2016, Gubernur Riau menyerahkan draft RTRWP 2016-2035 kepada DPRD Propinsi Riau. Lantas, DPRD Riau membentuk Pansus RTRWP Riau diketuai Asri Auzar. Di media, Pansus DPRD Riau mengusulkan kepada KLHK agar mengeluarkan 497.377 hektar dari kawasan hutan.[6]
Apa isi draft RTRWP Riau 2015-2035 tidak pernah dipublikasikan Gubernur Riau dan DPRD Riau pada publik. Apakah 497 ribu hektar bagian dari usulan draft RTRWP Riau yang diusulkan Gubernur Riau pada DPRD Riau atau usulan tambahan dari DPRD Riau?
“Saya terkejut membaca berita itu (adanya usulan pemutihan 497 ribu ha). Lalu, saya tanya ke (Kepala) Bappeda (Rahman Rahim) ada apa itu? Saya belum ada menandatangani surat pengajuan ke Menteri LHK,” kata Arsyadjuliandi yang akrab disapa Andi Rahman di Pekanbaru, Jumat (9/6).[7]
Di sisi lain, Suhardiman Amby, anggota Pansus RTRW mengatakan bahwa usulan tambahan kawasan yang akan diputihkan dalam RTRW Riau dengan luas 497 ribu hektar masih sebatas pembahasan di internal Pansus. Pansus pun terus melakukan kroscek data dengan pemerintah kabupaten/kota yang ada di Riau.[8]
Publik baru mengetahui isi 497 ribu hektar dari Laporan Menteri LHK pada Presiden Jokowi. Berikut data 497.377 hektar paparan Pemprov Riau pada Rapat Teknis Percepatan Penyelesaian RTRWP Riau yang difasilitasi oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian pada 20-21 April 2017 di Grand Hotel Mercure Harmoni Jakarta:
1. Perubahan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang memerlukan persetujuan DPR RI seluas 20.042 ha (4,03%), atau DPCLS.
2. Perubahan kawasan hutan produksi termasuk hutan produksi yang dapat di konversi seluas 475.062 ha (95,51 %) yang terindikasi berupa :
- Perkebunan (sawit) seluas 186.589 ha (37,51 %);
- Kebun campur dan pertanian lahan kering seluas 216.935 ha (43,61 %);
- Lahan terbuka dan sawah seluas 41.357 ha (8,32 %);
- Permukiman dan transmigrasi seluas 2.745 (0,55 %);
- Hutan seluas 25.260 ha (5,08 %);
- Penutup (Landcover) lainnya seperti tubuh air dan rawa seluas 2.176 ha (0,45 %).
3. Areal bukan kawasan hutan dan tubuh air seluas 2.273 ha (0,46%).
Pansus RTRWP Riau belum menyerahkan usulan pemutihan 497 ribu hektar ini ke KLHK secara resmi[9]. “Yang jelas kita saja belum menulis surat maupun yang lain ke KLHK. Kita menunggu dewan sekarang, memang kita menyerahkan hasil dari Pansus dan Pemprov kepada tim KLHK dan Planologi. Dan sampai hari ini belum ada hasil apa-apa. Saya sama sekali tidak menandatangani surat apapun. Belum pernah sekalipun,” kata Gubernur Riau, “ sama sekali tidak ada rencana untuk pemutihan lahan seperti yang dituliskan seluas 497 ribu hektar lebih.” [10]
Pasca pertemuan dengan Presiden, Andi Rahman menggesa Pansus RTRWP Riau agar segera menyelesaikan dan mengesahkan Ranperda menjadi Perda RTRW. Deadlinenya dalam satu bulan. Alasan Andi Rahman menggesa pengesahan draft RTRWP Riau karena program Proyek Strategis Nasional (PSN) serta kepentingan investasi dan pembangunan.[11]
Pada saat pertemuan pra ratas (rapat terbatas) bersama Deputi Maritim Sekretaris Kabinet Satya Bhakti Parikesit di Kantor Sekretaris Kabinet, kawasan Istana Negara, Jakarta (24/05/2017), Andi Rachman mengatakan investasi dan projek strategis nasional terhambat karena RTRWP Riau belum disahkan. PSN dan investasi di luar PSN masuk dalam kawasan hutan. [12]
Jikalahari menilai, proyek strategis nasional dapat dilaksanakan, jika proyek strategis nasional berada dalam kawasan hutan perlu mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan. Pada hal lain, terhadap PSN yang tidak berkesesuaian dengan rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau rencana tata ruang kawasan strategis nasional, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat memberikan rekomendasi kesesuaian tata ruang atas lokasi Proyek Strategis Nasional dimaksud dengan kententuan aturan perundangan-undangan. [13]
Dalam lampiran Perpres Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Daftar Proyek Stranas di Provinsi Riau hanya ada untuk pembangunan infrastruktur Jalan Tol Pekanbaru- Kandis – Dumai (135 km) – bagian dari 8 ruas Trans Sumatera dan proyek pembangunan infrastruktur sarana prasarana kereta api antar kota Jambi – Pekanbaru[14].
Lalu pada 15 Juni 2017, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Daftar Proyek Stranas di Provinsi Riau bertambah:
- Jalan Tol Pekanbaru – Kandis – Dumai (131,5 KM) bagian dari 8 Ruas Trans Sumatera;
- Jalan Tol Pekanbaru-Bangkinang-PYK-Bukit Tinggi (185) – Bagian dari Trans Sumatera;
- Jalan Tol Jambi – Rengat (190 KM) Bagian dari Trans Sumatera;
- Jalan Tol Rengat Pekanbaru (175 KM) Bagian dari Trans Sumatera;
- Jalan Tol Dumai – Sp. Sigambal – Rantau Prapat (175 KM) Bagian dari Trans Sumatera;
- Kereta Api Jambi – Pekanbaru;
- Kereta Api Rantau Prapat – Duri;
- Bendungan Rokan Kiri;
- Kawasan Industri Dumai;
- Kawasan Industri Tanjung Buton;
- Upgrading Kilang-kilang eksisting (RDMP).[15]
Untuk investasi di luar PSN, Jikalahari menemukan investasi pihak swasta PT Chevron Pacific Indonesia (minyak), PT RAPP/PT Sateri Viscoe inetrnational (Rayont Plant), Perusahaan Perkebunan Swasta (perkebunan, pabrik kelapa sawit, jalan produksi), perusahaan pertambangan, rumah sakit swasta, PT Besmindo Materi Sewatama (Pengeboran) dan Investasi di kota Dumai (beberapa sektor) mengajukan usulan kepada Gubernur Riau untuk berinvestasi namun lokasi yang mereka usulkan berada di dalam kawasan hutan.
“Sesungguhnya tidak ada alasan bahwa karena alasan RTRWP investasi di Provinsi Riau terhambat ataupun menjadi gangguan pada masyarakat. Rencana penggunaan atau pemanfaatan lahan hutan sudah diatur, juga rencana perubahan tata ruang secara parsial sudah ada aturannya,” kata Menteri LHK.[16]
Untuk itu sambil menunggu penyelesaian RTRWP Riau, langkah untuk mengatasi hambatan investasi di Provinsi Riau dapat dilakukan sebagai berikut:
- Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan dapat ditempuh, sebagaimana telah dilakukan selama ini dan sudah ada penanganannya;
- Untuk pelepasan kawasan dapat dilakukan mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan secara parsial, Tukar Menukar Kawasan Hutan atau mekanisme Izin Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan pembangunan lainnya;
Terkait 142 desa yang hendak ‘diputihkan’ oleh Pansus RTRWP Riau, Menteri LHK menyampaikan solusi melalui Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dapat ditempuh:
- Menurut Peta Indikatif Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) sesuai SK. 180/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 tanggal 5 April 2017, untuk Provinsi Riau terdapat alokasi indikatif TORA seluas ±424.532 ha.
- Menurut Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial sesuai SK. 22/MENLHK/SETJEN/PLA.0/1/2017 tanggal 16 Januari 2017, di Provinsi Riau juga terdapat alokasi indikatif Perhutanan Sosial seluas ±723.012 ha.
“Pendekatan ini akan dapat mengatasi permasalahan pemukiman dan desa-desa yang diindikasikan berada dalam kawasan hutan. Jadi tidak perlu desa-desa menjadi materi justifikasi secara tidak proporsional,” kata Siti Nurbaya, “pada prinsipnya selain perubahan dalam rangka revisi RTRWP, kawasan hutan dapat diubah melalui perubahan parsial (setiap waktu) untuk mendukung pembangunan non kehutanan atau melalui mekanisme pinjam pakai selama kegiatan tersebut sudah masuk dalam RTRW selama tidak terdapat pelanggaran ruang/pemutihan.”
“Kami terus melakukan identifikasi permasalahan terhadap SK 878 September 2014, identifikasi atas rencana usul 497.000 Ha dari Riau serta eksplorasi masalah-masalah yang dilaporkan secara parsial/sporadis oleh masyarakat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami juga terus berkonsultasi kepada KPK dalam kerangka kerja Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam, dan atas pertimbangan bahwa KPK terus mengikuti perkembangan persoalan tata ruang di Provinsi Riau,” kata Siti Nurbaya[17].
SK 673 dan 878
SK 673 dan 878 yang diterbitkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada 2014 menguntungkan korporasi sawit yang sebelum SK 673 dan 878 berada dalam kawasan hutan kini berada di areal kawasan non hutan (dari illegal menjadi legal).
Eyes on the Forest (EoF) melakukan investigasi di 26 korporasi sawit yang luasnya 100.093 hektar—0,06 persen—dari total 1.638.249 hektar yang dijadikan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2004, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan.
Tim EoF melakukan kajian dan pemantauan lapangan di 26 lokasi kebun sawit di Riau untuk memperoleh data dan bukti apakah pada areal Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan telah dikuasai oleh perusahaan atau cukong sawit. Ini menjawab pertanyaan: apakah perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan lebih terkesan melegalkan usaha perusahaan dan pemodal sawit yang sudah menduduki kawasan sejak lama.
Dari peruntukan kawasan hutan yang ditelaah ada 26.611 hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT), 16.548 hektar Hutan Produksi (HP) dan 57.634 hektar Hutan Produksi Dikonversi (HPK). Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional tahun 2016 status lahan yang ditelaah EoF berdasarkan izin adalah 18.754 hektar telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU) 82.039 hektar untuk Bukan HGU.[18]
Dari SK 878 Tahun 2014 juga ditemukan Pabrik Kelapa Sawit PT. Agro Abadi yang mulai operasi 2012 dan tanaman sawit berumur sekitar 10 tahun. Padahal sebelum keluarnya SK 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, masih merupakan Hutan Produksi Terbatas. Namun berdasarkan SK 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, lokasi yang sama sudah menjadi Areal Penggunaan Lain dan berdasarkan BPN Riau 2016 telah memiliki HGU seluas 968 hektar. Begitupula kebun sawit PT Agro Abadi di konsesi IUPHHK-HT PT Rimba Seraya Utama lebih kurang 4.829 hektar, namun berdasarkan SK 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, areal telah menjadi Areal Penggunaan Lain.[19]
26 Korporasi Sawit Hasil Invetigasi EoF Arealnya berubah dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan
Lokasi perkebunan sawit PT Torusganda yang ‘diputihkan’ dalam SK 878 dari kawasan hutan menjadi APL.
Kian Legalkan Monopoli Korporasi
Jikalahari menilai, jika draft RTRWP Riau 2016 – 2035 disahkan kian melegalkan monopoli korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit, tambang dan migas. Di sisi lain, ruang untuk masyarakat adat dan tempatan yang selama ini masuk dalam konsesi korporasi kian sulit untuk diambil alih oleh masyarakat adat dan tempatan.
Padahal sebelum draft RTRWP disahkan, Pemerintah Daerah Riau harus menjalankan GNPSDA-KPK. Hingga detik ini Pemda sama sekali tidak menjalankan 19 rencana aksi Pemda Riau terkait GNPSDA. Selain itu, ruang partisipasi publik terutama masyarakat terdampak tidak pernah diundang khusus oleh Pemda Riau.
Proses RTRWP Riau Kaitan dengan Kawasan Hutan
Riau menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang saat ini belum memiliki RTRWP karena perdebatan panjang kaitan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat terkait perbedaan pola ruang kawasan hutan dalam Perda Nomor 10 Tahun 1994 tentang RTRWP Riau yang tidak sesuai dengan kawasan hutan dalam TGHK.
Penunjukkan kawasan hutan di Riau menggunakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986: 100 persen wilayah Riau merupakan kawasan hutan seluas 8.883.248 ha. Kawasan ini terdiri: KSA/KPA 438.835 ha, Hutan lindung 289.297 ha, Hutan Produksi Terbatas 2.663.959 ha, Hutan Produksi Tetap 1.336.907 dan HPK/APL seluas 4.154.280 ha. Sisanya tubuh air seluas 119.670 ha. Dalam perkembangannya, daratan wilayah Riau pada 1986 seluas 8.979.240 ha bertambah menjadi 9.060.392 yang berasal dari tanah timbul seluas 57.470 ha.
Pada 13 Oktober 1992, Presiden Soeharto mengesahkan UU Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Lantas, Pemerintah Provinsi Riau mengajukan usulan Peraturan Daerah (Perda) RTRWP dengan melakukan Paduserasi Kawasan Hutan pada 1993. Saat proses paduserasi belum disepakati, DPRD Riau menetapkan Perda Nomor 10 Tahun 1994 pada 19 Agustus 1994. Sebelum dan sesudah Perda Nomor 10 Tahun 1994 ditetapkan, Kementerian Kehutanan dan Pemda Riau belum menyepakati Penunjukan Kawasan Hutan.
Pada 1994, Mendagri mengeluarkan Surat Mendagri Nomor 474/1994 untuk melakukan peninjauan RTRWP dan kembali melakukan proses paduserasi untuk penunjukkan kawasan hutan. Selama empat tahun pembahasan paduserasi, hasilnya pada 1998 Gubernur Riau menerbitkan SK Gubernur Nomor 105.a/III/1998 tahun 1998 yang menyatakan tidak diperoleh kesepakatan paduserasi penunjukkan kawasan hutan di Provinsi Riau antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau dengan Pemerintah Pusat. Gubernur tetap berpegang pada Perda Nomor 10 Tahun 1994. Selama 9 tahun, Kementerian Kehutanan terkait kawasan hutan di Riau menggunakan TGHK dan tidak mengakui Perda Nomor 10 Tahun 1994.
Pada 10 Juli 2003, Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Edaran Nomor 404/Menhut-II/03 yang menjelaskan terkait penunjukkan kawasan hutan, Riau kembali menggunakan TGHK berdasarkan SK Menhut Nomor 173/Kpts-II/1986.
Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan melalui pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terus dilakukan sehingga muncul istilah TGHK update. Peta TGHK 1986 diupdate pada 2012 dengan cara memasukkan dan mengeluarkan kawasan hutan karena pelepasan kawasan hutan selama periode 1986 – 2012 yang mencapai 1.720.942 ha. Termasuk tukar menukar kawasan hutan di dalamnya. Luas kawasan hutan Riau menjadi 7.138.549 ha terdiri dari KSA/KPA seluas 622.522 ha, HL seluas 218.226 ha, HPT 1.539.020 ha, HP 1.896.022 ha serta HPK/APL 2.862.729 ha.
Semua kawasan hutan yang dilepaskan selama periode 1986 – 2012 untuk perkebunan besar, tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, pusat pemerintahan, dan perkotaan, juga tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman dan lahan garapan masyarakat. Di sisi lain, jumlah penduduk terus meningkat, pusat pemerintahan dan perkotaan terus berkembang. Kebanyakan kebutuhan lahan untuk perkebunan besar periode 2001 – 2004 dipenuhi melalui penggunaan kawasan hutan dengan izin bupati, tanpa melalui pelepasan kawasan hutan melalui menteri[20].
Limabelas tahun kemudian[21], Gubernur Riau Rusli Zainal mengusulkan revisi RTRWP Riau melalui surat bernomor 050/Bappeda/56.10 pada 27 April 2009. Terkait kawasan hutan, Rusli Zainal mengusulkan agar Menteri kehutanan dapat menyetujui perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 3.530.696 ha.
Menindaklanjuti usulan tersebut, Kementerian Kehutanan bentuk Tim Terpadu berdasarkan SK 410/Menhut-VII/2009 pada 7 Juli 2009. Tugasnya mengkaji usulan dari Rusli Zainal dan berikan rekomendasi. Ditengah timdu mengkaji usulan dari Gubernur Riau, Menhut menerbitkan SK nomor 7651/Menhut-VII/KUH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas ± 7.121.344 hektar.[22]
Setelah bekerja selama empat tahun, pada 5 Desember 2012 Timdu menyampaikan hasil kajian dengan rekomendasi perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Riau seluas ± 2.740.586 dari ± 3.530.696 ha usulan Provinsi Riau.
Tindak lanjut dari hasil kajian Timdu, Menhut menerbitkan SK.673/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi kawasan Hutan seluas ± 717.543 hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas ± 11.552 hektar di Provinsi Riau pada 8 Agustus 2014. SK ini mengakomodir rekomendasi Timdu dengan mengubah kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 1.638.294 hektar.
Saat penerbitan SK 673, Zulkifli Hasan selaku Menhut langsung menyerahkannya ke Annas Maamun (Gubernur Riau) saat Hari Jadi Provinsi Riau, 9 Agustus 2014. Zulkifli mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau.
Pada 25 September 2014 Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap sebesar Rp 500 juta dan US$ 156.000 terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan terkait RTRWP Riau. Suap ini berasal dari Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau yang juga akademisi di Universitas Riau dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat.
Dalam persidangan kasus itu terkuak Annas Mamun yang disuap Surya Darmadi dan Edison Marudut tidak bekerja sendiri mengubah peta dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Karena menyangkut spasial dan hal teknis, Annas Mamun tentu saja dibantu birokrasi di Dinas Kehutanan dan Bappeda Riau. Karena birokrasi yang tahu semua seluk beluk administrasi pemerintahan dan informasi terkait pemerintahan di daerah.
Dalam kasus Annas Mamun dan cs korupsi berjamaah antara pengusaha, gubernur dan birokrasi menjadi sempurna. Hasil pantauan sidang korupsi Gulat Manurung, Annas Mamun dan Marudut oleh Riau Corruption Trial, ditemukan fakta:
Annas Maamun menerima uang USD 166.100 (setara Rp 2 Miliar) dari Gulat Medali Emas Manurung dalam rangka pengurusan revisi RTRWP Riau. Gulat memasukkan lahannya di Kuantan Singingi 1.188 hektar, Bagan Sinembah Rokan Hilir 1.214 hektar dan lahan milik Edison Marudut Marsadauli Siahaan di Duri Bengkalis 120 hektar.
Di depan persidangan, Gulat Manurung mengakui minta lahannya dimasukkan dalam usulan revisi. Ia menyebutkan lahannya hanya di Kuantan Singingi seluas 140 hektar. Di Bagan Sinembah milik Edison dari Koperasi Mandiri. Ia juga menegaskan tak pernah meminta langsung kepada Annas Maamun agar lahannya dimasukkan. Ia hanya menyampaikan pada Cecep Iskandar, Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau, yang membuat peta usulan revisi.
Annas Maamun menegaskan bahwa Gulat Manurung datang menemuinya sekitar bulan Agustus 2014 sebagai Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit. Ia minta lahan yang dikelolanya turut dimasukkan ke dalam usulan revisi. Edison Marudut juga mengakui pernah memberikan koordinat lahannya kepada Gulat Manurung. Alasannya agar ia tahu dimana persis letak lahannya dan dimasukkan dalam usulan revisi oleh Gulat. Menurut Cecep, lahan Edison seluas 120 hektar sudah masuk ke dalam usulan revisi RTRW Riau. Edison memenuhi permintaan Gulat dan memberikan Rp 1,5 Miliar kepada Gulat.
Namun saat bersaksi di persidangan, Edison menyatakan uang itu sebagai pinjaman. Pada akhir September 2014, saat Gulat sudah di dalam penjara KPK, ia menelepon anak buahnya Hendra Pangodian Siahaan dan minta dibuatkan kuitansi tanda peminjaman Rp 1,5 Miliar dan diberikan kepada Edison Marudut berikut 10 surat sertifikat tanah sebagai jaminannya. Kuitansi baru dibuat saat Gulat sudah ditangkap KPK dan Hendra diminta memalsukan tanda tangan Gulat. Tanggal pada kuitansi juga dibuat mundur dari tanggal saat pembuatan kuitansi.
Annas Maamun menerima uang dari Edison Marudut Marsadauli Siahaan melalui Gulat Medali Emas Manurung agar Annas Maamun memenangkan proyek-proyek yang diikuti PT Citra Hokiana Triutama, perusahaan milik Edison, di Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Riau. Gulat dan Edison mengakui bahwa uang tersebut juga untuk pengurusan proyek pembangunan jalan tersebut.
Selama tahun 2014, PT Citra Hokiana Triutama mendapat proyek peningkatan Jalan Taluk Kuantan-Cerenti dengan nilai kontrak Rp 18,5 Miliar, Jalan Simpang Lago-Simpang Buatan dengan nilai kontrak Rp 2,7 Miliar dan jalan Lubuk Jambi-Simpang Ibul-Simpang Ifa dengan nilai kontrak Rp 4,9 Miliar.
Annas Maamun menerima uang dalam bentuk Dollar Singapura setara Rp 3 Miliar dari PT Duta Palma melalui Suheri Tirta, Humas PT Duta Palma. Surya Darmadi, Komisaris PT Duta Palma menjanjikan uang Rp 8 Miliar setelah Menteri Kehutanan menyetujui usulan revisi RTRW Riau dimana lahan PT Duta Palma seluas 18.000 hektar dimasukkan ke dalam usulan revisi tersebut.
Di depan persidangan, Suheri Tirta mengakui membuat surat permohonan kepada Gubernur Riau agar lahan PT Duta Palma turut dimasukkan dalam usulan revisi RTRW Riau. Surat diantar ke Rumah Dinas Gubernur Riau dan ia menunggu di rumah dinas sampai Annas Maamun memberikan disposisi. Ia tak bertemu langsung dengan Annas dan surat disposisi diantarkan oleh anak buah Annas kepada dirinya.
Di depan persidangan, Annas Maamun mengatakan tak jadi memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam usulan RTRW Riau karena menurut Wakil Gubernur Arsyadjuliandi Rahman, lahan milik PT Duta Palma tidak bisa dimasukkan.
Zulkifli Hasan, saat itu Menteri Kehutanan, saat bersaksi di persidangan menerangkan bahwa Surya Darmadi pernah menemuinya terkait perubahan kawasan hutan lahan PT Duta Palma. Maksud dan tujuan pertemuan adalah Surya Darmadi meminta bantuan untuk penerbitan izin pelepasan hutan untuk perkebunan terkait tata ruang Propinsi Riau. “Saya bilang silahkan Saudara ajukan dan lengkapi persyaratannya,” kata Zulkifli Hasan.
Mashud, Direktur Perencanaan Kawasan Hutan, anak buah Zulkifli Hasan, juga pernah bertemu dengan Surya Darmadi. Zulkifli Hasan minta Mashud menemui Surya Darmadi di ruangan sebelah ruang kerjanya. “Saat itu pada intinya Surya Darmadi minta agar lahannya dimasukkan ke dalam usulan revisi. Saya tidak buka lagi berkasnya, langsung saya tolak,” aku Mashud.
Cecep Iskandar, Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau, yang membuat peta usulan revisi RTRW Riau, saat bersaksi di persidangan menyebutkan lahan yang dimasukkan ke dalam usulan revisi RTRW Riau salah satunya di Kabupaten Indragiri Hulu, milik PT Duta Palma.
Untuk memperkuat keterangan Cecep, jaksa memutar rekaman percakapan antara Cecep dan Annas saat pemeriksaan terdakwa. Rekaman pembicaraan pada 17 September pukul 00.11 tersebut berisi perintah Annas kepada Cecep agar jangan berangkat dulu ke Jakarta mengantarkan surat usulan revisi kedua RTRW Riau dan diminta menemui dirinya di rumah dinas pukul 08.00 pagi besok harinya.
Annas mengatakan maksud perintahnya itu untuk memastikan pada Cecep bahwa kebun masyarakat miskin dan proyek pemerintah Propinsi Riau sudah dimasukkan semua dan tidak ada yang ketinggalan. Ia bilang tak ada perubahan dari usulan pertama revisi RTRW Riau.
Jaksa kembali memutar rekaman pembicaraan lain antara Annas dan Gulat Manurung. Isinya Annas memastikan pada Gulat apakah peta yang dibawa Cecep ke Jakarta sudah ditambahkan lahan yang dimintanya untuk dimasukkan ke dalam usulan revisi RTRW Riau. Diduga lahan yang dimaksud adalah lahan PT Duta Palma. Dalam percakapan itu, Gulat menjawab dalam file sudah ditambahkan, tidak perlu diprint karena yang diberikan ke Kementerian Kehutanan dalam bentuk file, bukan hasil print. Annas sempat menyebutkan dalam percakapan, “Bila perlu tiru saja teken saya, tak apa dah.”
Terkait lahan PT Duta Palma, saat bersaksi di persidangan, Gulat Manurung menjelaskan pada malam tanggal 17 September 2014, ia ditelepon Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, dan diminta datang ke Kantor Zulher.
“Saat saya tiba, di sana sudah ada Surya Darmadi dan Suheri Tirta. Zulher minta tolong pada saya untuk menyampaikan keinginan Surya Darmadi memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam usulan revisi RTRW Riau kepada Annas Maamun. Mereka menjanjikan uang Rp 8 Miliar untuk Annas. Saya juga dijanjikan uang,” kata Gulat.
Pernyataan Gulat tersebut dibantah Surya Darmadi, Suheri Tirta, maupun Zulher. Mereka bertiga mengakui memang ada pertemuan malam itu di Kantor Zulher. Surya menjelaskan dia hanya silaturahmi saja karena diajak Suheri.
Menurut keterangan Gulat Manurung, pada 18 September pagi harinya, ia datang ke Rumah Dinas Gubernur Riau bersama Cecep Iskandar. Setelah membahas peta usulan revisi RTRW Riau, Gulat menyampaikan pada Annas bahwa PT Duta Palma menjanjikan uang Rp 8 Miliar untuk Annas. Saat diperiksa sebagai terdakwa, Annas membantah keterangan Gulat dengan menyebutkan tak ada pembahasan uang saat itu.
Tanggal 18 September siang, Gulat bertemu dengan Suheri di Hotel Aryaduta. Gulat mengatakan saat itu Suheri memberikan dua amplop cokelat kepada dirinya. Satu amplop untuk Annas Maamun berisi uang Dollar Singapura setara Rp 3 Miliar. Satu amplop lagi untuk dirinya berisi uang dollar Singapura setara Rp 650 juta. Suheri saat menjadi saksi di persidangan mengakui pertemuan di Hotel Aryaduta dengan Gulat namun membantah memberikan amplop berisi uang. “Yang ada Pak Gulat minta uang kepada saya Rp 2 Miliar tapi tidak saya tanggapi,” katanya. Keterangan Suheri dibenarkan Alisardi Firman, Manajer PT Duta Palma yang menemani Suheri saat bertemu dengan Gulat di Hotel Aryaduta.
Setelah pertemuan di Hotel Aryaduta, sore harinya Gulat menuju Rumah Dinas Gubernur Riau untuk menyerahkan amplop cokelat tersebut kepada Annas Maamun. Saat dimintai keterangan terkait hal itu, awalnya Gulat menjawab berbelit-belit, bahkan sempat menyebutkan lupa apakah ada memberikan uang setara Rp 3 Miliar itu kepada Annas Maamun. Namun setelah dicecar jaksa dan hakim, Gulat akhirnya mengakui bahwa uang tersebut diserahkannya kepada Annas Maamun di ruang makan Rumah Dinas Gubernur Riau sore hari tanggal 18 September 2014.
Terkait keterangan Gulat tersebut, Annas membantah. Ia bilang tak ada menerima uang dari Gulat Manurung senilai Rp 3 Miliar. Saat bersaksi di persidangan, Surya Darmadi menyatakan hal sama, tak ada memberikan uang untuk Annas maupun untuk Gulat melalui Suheri Tirta.
Namun di depan penyidik KPK, Gulat mengakui bahwa ia menerima uang Dollar Singapura setara Rp 650 juta dari PT Duta Palma. Penyidik menggeledah rumah Gulat Manurung dan menemukan uang tersebut di rumahnya. Hal ini dibenarkan saksi Odor Juliana Sidabutar, istri Gulat Manurung. “Memang ada orang dari KPK datang ke rumah dan mengambil uang yang ditemukan di lemari suami saya.” Gulat mengakui di persidangan bahwa uang setara Rp 650 juta itu diberikan bersamaan dengan uang untuk Annas Maamun setara Rp 3 Miliar dari PT Duta Palma.
Kasus korupsi yang melibatkan para terpidana tersebut merupakan korupsi yang dilakukan bersama-sama antara Gubernur, Birokrat, Swasta dan akademisi. Korupsi tersebut juga menjadi petunjuk kemungkinan adanya korupsi yang lebih besar dibalik dikeluarkannya SK 673 – SK 878 oleh Menteri Kehutanan pada 2014.
Tiba-tiba, empat hari kemudian, pada 29 September 2014, Zulkifli Hasan kembali menerbitkan SK 878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas ± 5.499.693 ha.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diganti oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2014. Jokowi mengangkat Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Persoalan politik RTRWP Riau masih menjadi polemik.
Pada 16 Februari 2016, Ketua Ombudsman RI menyampaikan rekomendasi kepada MenLHK agar menerbitkan perubahan atas keputusan Menhut SK.673/Menhut-II/2014 dan addendum SK 878/Menhut-II/2014 untuk mengakomodir pusat-pusat pemukiman, pusat perkantoran atau pemerintah, sarana atau fasilitas pertahanan, kebutuhan pembangunan untuk kepentingan nasional dan daerah yang telah direkomendasikan tim terpadu untuk diubah menjadi bukan kawasan hutan.
Menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman RI, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:
- Menerbitkan SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20 April 2016 sebagaimana diubah dengan SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei 2016 tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan yang Tidak Berkategori Berdampak Penting dan Cakupan Luas serta Bernilai Strategis Seluas 65.125 hektar.
- Menyampaikan permohonan persetujuan kepada DPR RI terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis seluas 134 ha.
Sebagai tindak lanjut atas perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, MenLHK menerbitkan addendum terhadap Kepmenhut SK 878/Menhut-II/2014 melalui keputusan SK No, 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tanggal 7 Desember 2016 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas 92.701 ha. Yang isinya:
- Pengurangan luas karena perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sebagaimana tercantum dalam KepmenLHK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20 April 2016 seluas 65.125 ha.
- Pengurangan luas kawasan hutan karena adanya kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh Menhut sebelum atau sesudah terbitnya SK 878/Menhut-II/2014 yang sebagian atau seluruhnya masih terpetakan sebagai kawasan hutan seluas 25.731 ha.
- Pengurangan luas kawasan hutan karena penggunaan batas administrasi pemerintah antara Provinsi Riau dan Provinsi Jambi berdasarkan Permendagri Nomor 33 Tahun 2013 seluas 13.753 ha.
Kawasan hutan Provinsi Riau yang dijadikan acuan dalam RTRWP Riau adalah KepmenLHK Nomor 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau.
Jikalahari menilai dalam SK yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan, baik era Zulkifli Hasan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ataupun era Siti Nurbaya pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, keduanya tak menunjukkan perbedaan yang berarti untuk kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Keputusan yang dikeluarkan masih mengakomodir kepentingan korporasi yang memonopoli hutan dan tanah di Provinsi Riau.
Alasan Menolak Draft RTRWP Riau 2016 – 2035
Jikalahari mencatat banyak persoalan akan muncul jika RTRWP Riau tetap disahkan saat ini. Berbagai persoalan dasar seperti tidak transparannya pemerintah dalam proses penyusunan, masyarakat adat dan tempatan kian mudah dipidana, monopoli penguasaan lahan oleh korporasi hingga minimnya ruang kelola masyarakat akan menjadi pemantik api konflik jika tak diselesaikan.
Berikut 10 alasan kenapa Draft RTRWP Riau tidak disahkan dan harus ditinjau kembali karena draft RTRWP 2016-2035 tidak mengikuti perkembangan mutakhir produk hukum dan kebijakan pemerintah terkait perlindungan gambut, ruang kelola rakyat, penegakan hukum terkait sumberdaya alam dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA) KPK.
-
Pidana Bagi Masyarakat Adat dan Tempatan
Bila DPRD Provinsi Riau hari ini menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2016-2035 menjadi Perda, masyarakat hukum adat dan masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp and paper APP dan APRIL.
Korporasi dapat dengan mudah melaporkan masyarakat adat dan tempatan yang mengambil kayu hutan dan berkebun di dalam areal korporasi HTI dengan tuduhan melakukan tindak pidana kehutanan dan tindak pidana penataan ruang. Meski masyarakat adat dan tempatan sudah ada di dalam konsesi korporasi HTI jauh sebelum Indonesia merdeka.
Setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 huruf a (mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan) yang mengakibatkan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta[23].
Kata ditetapkan merujuk Pasal 22 ayat 6 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang: Rencana tata ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi. Artinya pidana penataan ruang berlaku sejak Perda tata ruang Provinsi ditetapkan DPRD Riau dan disahkan Gubernur Riau setelah mendapat persetujuan substansial dari Menteri Dalam Negeri. Implikasinya, Hutan Produksi (HPT, HP, dan HPK) dalam Draft RTRWP Riau 2016-2035 masuk dalam Pola Ruang Kawasan Budi Daya. Konsesi HTI berada di dalam ruang Hutan Produksi Tetap (HPT, ada juga dalam Hutan Produksi Terbatas).
Kawasan Budidaya Hutan Produksi Tetap di lapangan telah dikuasasi oleh APP dan APRIL grup seluas 2,3 juta hektar. Di dalam 2,3 juta hektar itu adalah hutan tanah milik adat dan tempatan yang dihuni oleh masyarakat adat dan tempatan.
Menurut pidana tata ruang masyarakat adat dan tempatan yang berada di dalam kawasan Hutan Produksi Tetap tidak sesuai dengan fungsi ruang, karena fungsi ruang telah berstatus HP milik APP dan APRIL. Masyarakat dapat dilaporkan oleh korporasi telah melakukan tindak pidana Penataan Ruang.
-
Tidak Transparan dan Tidak Melibatkan Publik
Sejak 1992 hingga saat ini, proses pembahasan RTRWP Riau hampir tidak pernah melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu dalam pembahasan Draft RTRWP tidak transparan sehingga hanya menguntungkan segelintir elit, birokrasi dan korporasi. Munculnya kasus korupsi Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut membuktikan proses pembahasan RTRWP Riau tidak transparan karena perilaku korupsi.
Padahal UU penataan ruang memberi ruang pada masyarakat dalam penataan ruang yang dilakukan pada tahap: perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang[24].
Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat salah satunya melalui partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang. Tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang diatur dengan peraturan pemerintah.[25]
PP Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan tata Cara Peran masyarakat dalam penataan ruang menjelaskan Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang berupa (Pasal 6): (a). Masukan mengenai: Persiapan penyusunan rencana tata ruang, penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan, pengidentifikasian potensi dan masalah wilayah dan kawasan, perumusan konsepsi rencana tata ruang dan atau penetapan rencana tata ruang. (b). Kerjasama dengan pemerintah, pemerintah daerah dan atau sesama unsur masyarakat dalam perencanaan tata ruang.
Pemerintah dan atau pemerintah daerah dalam perencanaan tata ruang dapat secara aktif melibatkan masyarakat (Penjelasan: pelibatan peran masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang antara lain dilakukan melalui penjaringan opini publik, forum diskusi, dan konsultasi publik) dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah yang terkena dampak langsung dari kegiatan penataan ruang, yang memiliki keahlian di bidang penataan ruang, dan atau yang kegiatan pokoknya di bidang penataan ruang.
Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban melaksanakan standar pelayanan minimal dalam pelaksanaan peran masyarakat dalam penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
-
Tidak Mengakomodir PS, TORA dan Hutan Adat
Saat ini pemerintah tengah mendorong kebijakan dengan tujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan. Pemerintah menggesa adanya reformasi agraria dengan dua skema: Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah Obyek reforma Agraria (TORA). Selain itu, pasca Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011 menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat juga masuk dalam skema PS.
Untuk PS, pemerintah memberikan akses bagi masyarakat untuk mengelola lahan dalam kawasan hutan negara. Luasan yang dialokasikan untuk skema ini sekitar 12,7 juta hektar se Indonesia dan untuk Riau dialokasikan sekitar 1,4 juta hektar. Hak akses ini akan diberikan pada masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal ini sesuai dengan aturan PermenLHK nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Model pengelolaan yang ditawarkan dalam skema PS adalah Hutan Adat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Kemitraan Kehutanan dan Hutan Tanaman Rakyat.
Untuk skema TORA, masyarakat akan diberi akses mengelola tanah dengan skema retribusi seluas 9,1 juta hektar se Indonesia dan untuk Riau dialokasikan 1,8 juta ha. Hal ini didasarkan pada UU Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Lokasi pelaksanaan TORA berada di tanah negara yang dijadikan objek reforma agraria. Diharapkan dengan adanya TORA dapat menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan serta memperbaiki kualitas lingkungan hidup. Namun, pembahasan PS dan TORA tidakdipertimbangkan dan diakomodir di dalam draft RTRWP Riau termasuk di dalam naskah akademik draft RTRWP.
-
Tidak Mengakomodir Perubahan Kebijakan Baru Pemerintah Berkaitan Review Perizinan, Perubahan Fungsi Pengelolaan Hutan Serta Penetapan Kawasan Lindung dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
-
Review Perizinan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar telah melakukan review izin untuk beberapa perusahaan industri kehutanan di Riau. Hasilnya sepanjang 2013 – 2016 ada 4 izin perusahaan yang telah dicabut MenLHK.
Pada 21 Maret 2013 izin PT Siak Raya Timber (SRT) dicabut oleh Menteri Kehutanan. Dua tahun berselang, pada 21 September 2015 giliran izin PT Hutani Sola Lestari (HSL) yang berdampingan dicabut karena berkaitan dengan kasus kebakaran hutan lahan di Riau. Izin HTI lainnya yang dicabut yaitu PT Dexter Timber Perkasa Indonesia (PT DTPI) serta milik PT Lestari Unggul Makmur (PT LUM) di Kepulauan Meranti pada Agustus 2016.
Pencabutan izin di areal HTI ini disambut bahagia oleh masyarakat. Dengan dicabutnya izin pengelolaan perusahaan, maka lahan dikembalikan ke negara. Dengan begitu, ada peluang bagi masyarakat untuk dapat mengelola lahan yang telah dikuasai oleh korporasi. Masyarakat dapat mengajukan model pengelolaan dengan skema yang telah ditetapkan pemerintah seperti perhutanan sosial dengan berbagai model. Pencabutan izin areal-areal industri kehutanan semestinya menjadi peluang bagi provinsi untuk dijadikan PS dan TORA.
-
Belum Memasukkan Taman Nasional Zamrud
Dalam draft RTRWP Riau 2016-2035 pasal 24 ayat (5) hanya menyebut 2 Taman Nasional: Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Taman Nasional Tesso Nilo. Padahal sejak 4 Mei 2016, melalui SK 350/MenLHK/Setjen/OLA/5/2016 Menteri LHK menetapkan perubahan fungsi Suaka Margasatwa Danau Pulau Besar/ Danau Bawah dan Hutan Produksi Tasik Serkap menjadi Taman Nasional Zamrud di Kabupaten Siak.
- Adanya izin-izin korporasi HTI dan Sawit di pulau-pulau kecil
Izin HTI dan Sawit di Pulau padang, Rangsang, Bengkalis, Rupat, Tebing Tinggi, P. Sambu, P. Guntung dan P. Galang. Kehadiran korporasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Riau sebaiknya ditinjau ulang untuk dijadikan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
-
Tidak Mengakomodir Kawasan Lindung Gambut
Dalam draft RTRWP 2016 – 2035 pasal 22 ayat (3) menyebut Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar.
Padahal berdasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya. Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke dalam draft RTRWP.
Jika 2,4 juta hektar kawasan lindung gambut tidak masuk dalam draft RTRWP Riau 2016 – 2035, kegiatan restorasi pada gambut bekas terbakar tidak dapat dilaksanakan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Tim Restorasi Gambut Propinsi Riau.
-
Lebih Mementingkan Korporasi dari pada Masyarakat
Dari sekira 9 juta hektar luas kawasan Riau, lebih dari 65 persen telah dikuasai korporasi sektor HTI, sawit dan tambang—belum termasuk korporasi sektor Migas karena belum ditemukan data valid terkait eksisting penggunaan lahan.
- Data Luasan HTI di Riau: 2.345.088,85 ha
- Data Luasan Sawit di Riau (HGU): 949.789 ha
- Data Luasan Penguasaan Lahan Sawit Illegal: 2.494.484 ha
- Data Luasan Tambang di Riau: 153.020
- Total Luasan Penguasaan Lahan legal:3.447.897,85 ha
- Total Penguasaan Lahan Legal + Illegal perambahan = 5.942.381,85 ha
- Luas Riau Daratan + Perairan = 9.036.710,42
Padahal lebih dari 65 persen hutan tanah dikuasai korporasi berada dalam hutan tanah masyarakat adat dan tempatan. Inilah yang menyebabkan konflik yang tak kunjung selesai di Riau. Akibat berpihaknya draft RTRWP kepada korporasi, masyarakat adat dan tempatan tidak lagi memiliki tempat untuk hidup dan mengelola lahan. Pemda Riau semestinya mereview kembali izin perusahaan yang merampas hutan tanah milik masyarakat adat dan tempatan.
-
Tidak Menjalankan GNPSDA KPK
Pemda Riau tidak menjalankan 19 Renaksi Pemda yang disetujui bersama KPK dengan 6 fokus utama:
- Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan;
- Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi;
- Penataan perizinan kehutanan dan perkebunan;
- perluasan wilayah kelola masyarakat;
- penyelesaian konflik kawasan hutan; penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan; dan
- membangun sistem pengendalian anti korupsi.
Pada 2015 KPK memperluas GNPSDA sektor kehutanan dan perkebunan di 24 provinsi. Tujuan GNPSDA-KPK untuk melindungi hutan sebagai ruang hidup seluruh bangsa, memberantas korupsi, dan mengembalikan hak dan martabat masyarakat. Untuk itu KPK perlu melibatan semua elemen bangsa mulai dari pemerintah, CSO, dunia swasta, dan apgakum untuk mencapai tujuan tersebut.
Artinya KPK hendak memperbaiki tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan di Riau yang bermasalah, namun Pemda Riau tidak serius menjalankan kegiatan ini.
-
Tidak Disusun Berdasarkan KLHS
KLHS berfungsi menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat. Setiap perencanaan tata ruang dan wilayah, wajib didasarkan pada KLHS (Pasal 19 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Namun Riau belum memiliki KLHS dalam menyusun Draft RTRWP.
-
Tidak Mengakomodir Temuan Pansus DPRD Bengkalis
Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan DPRD Bengkalis merekomendasikan agar MenLHK mencabut atau merevisi SK No 314/MenLHK/2016 tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau, karena banyak desa tua serta lahan penghidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan: PT Rimba Rokan Lestari; PT Arara Abadi; PT Sumatera Riang Lestari; PT Bukit Batu Hutani Alam; PT Sekato Pratama Makmur; PT Balai Kayang Mandari; PT Rimba Mandau Lestari; PT Riau Abadi Lestari (HTI); PT Sinar Sawit Sejahtera; PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (Sawit).
Perkembangan mutakhir ini belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk memasukkan dalam draft RTRWP Riau.
-
Melegalkan Praktik Perkebunan Sawit ilegal dalam Kawasan Hutan
Pada 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau menemukan 2,4 juta kawasan hutan di Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan masyarakat.
Dari temuan pansus, 1,8 juta hektar kawasan hutan dirambah oleh korporasi perkebunan kelapa sawit yang merugikan keuangan negara karena tidak membayar pajak sebanyak Rp 9 triliun per tahun. Total 378 perusahaan tidak memiliki izin pelepasan kawasan hutan. Namun dalam SK 673 dan 878 yang menjadi dasar draft RTRWP, ada 104 perusahaan yang kawasannya diputihkan dari kawasan hutan menjadi APL dengan luasan sekitar 77 ribu ha. Hasil temuan pansus ini diabaikan dalam draft RTRWP Riau. Semestinya Pemprov Riau berjuang memasukkan kembali areal 104 perusahaan tersebut ke dalam kawasan hutan.
Solusi RTRWP Berkeadilan dan Lestari Lingkungan
Pemerintah semestinya menolak mengesahkan draft RTRWP Riau 2016 – 2035 saat ini. Jika tetap dipaksakan dengan alasan investasi dan pembangunan, persoalan keadilan dan kesejahteraan rakyat serta kelestarian lingkungan hidup takkan pernah selesai. Langkah yang diambil adalah melakukan peninjauan ulang dan benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat, bukan hanya korporasi.
Berikut solusi yang dapat dilakukan agar RTRWP yang dihasilkan berkeadilan dan melestarikan lingkungan hidup:
1. DPRD Riau tidak menyetujui draft RTRWP Riau 2016-2035 versi Gubernur Riau.
Lalu DPRD Riau merekomendasikan Gubernur Riau:
- Membentuk tim khusus Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dengan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan.
- Mengusulkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mereview SK Kawasan Hutan Riau nomor:
- 673/Menhut-II/2014
- SK 878 SK 878/Menhut-II/2014
- 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016
- SK No, 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016
Dengan cara membentuk tim terpadu yang melibatkan akademisi, masyarakat sipil, dan masyarakat terdampak dengan tugas utamanya :
- Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi.
- Penataan perizinan kehutanan berupa mereview izin korporasi yang beroperasi di atas lahan gambut dan lahan masyarakat hukum adat serta masyar akat tempatan.
- Perluasan wilayah kelola masyarakat berupa Perhutanan Sosial.
- Penyelesaian konflik kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat adat dan masyarakat tempatan.
2. Membentuk tim perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan untuk menjalankan renaksi GNPSDA KPK sektor kehutanan, perkebunan, minerba dan energi. Untuk memastikan kepentingan ruang kelola rakyat diakomodir dalam RTRWP Riau.
3. Gubernur Riau melibatkan masyarakat adat dan tempatan serta masyarakat terdampak dalam proses pembahasan dan penyusunan draft RTRWP Riau 2016-2035.
4. Gubernur Riau membangun sistem informasi dan komunikasi penyelenggaraan penataan ruang yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Menteri LHK, Gubernur Riau dan DPRD Riau membentuk tim khusus yang tugas utamanya mengawasi perencanaan RTRWP Riau dan pembahasan draft RTRWP Riau 2016-2035
Penutup
Draft RTRWP 2016 – 2035 banyak tidak mengakomodir perubahan kebijakan dan produk-produk hukum terbaru seperti Perhutanan Sosial, TORA, beberapa izin perusahaan industri kehutanan yang dicabut serta ekosistem gambut. Akibatnya ruang kelola masyarakat dan ruang ekologis tidak mendapat tempat, justru draft ini melegalkan dominasi monopoli korporasi HTI, sawit dan tambang di Riau.
Oleh karenanya draft RTRWP 2016 – 2035 harus ditolak untuk dikoreksi. Lalu dibuat draft RTRWP yang baru dengan melibatkan partisipasi publik sebagai syarat transparansi untuk mewujudkan ruang yang berkeadilan berbasis ekologis dan berpihak pada rakyat.
PDF Version
Referensi
[1] https://www.facebook.com/pg/AndiRachman1960/posts/?ref=page_internal tanggal 31 Mei 2017 @Andi Rahman
[2] http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau
[3] Harian Tribun Pekanbaru edisi 9 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)
[4] Harian Tribun Pekanbaru edisi 9 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)
[5] Harian Riau Pos edisi 9 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)
[6] Harian Tribun Pekanbaru edisi 14 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)
[7] http://okeline.com/berita-1729-saya-belum-teken-surat-pemutihan-hutan.html
[8] http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=123186&judul=Suhardiman%20Ambi%20Sebut%20Usulan%20Pemutihan%20497%20Hektar%20Belum%20Disepakati%20Pansus
[9] Harian Tribun Pekanbaru edisi 14 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)
[10] Harian Tribun Pekanbaru edisi 15 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)
[11] https://www.facebook.com/pg/AndiRachman1960/posts/?ref=page_internal tanggal 31 Mei 2017 @Andi Rahman
[12] https://www.goriau.com/berita/riau/rtrw-hambat-proyek-strategis-nasional-di-riau.html
[13] Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 19 ayat (3) Perpres Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Stranas.
[14] Lampiran Perpres Nomor 3 Tahun 2016 halaman 1 dan 4.
[15] Lampran Perpres Nomor 58 Tahun 2017 halaman 1, 4, 5, 7, 10 dan 11.
[16] http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau
[17] http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau
[18] http://www.eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20EoF%20(Des2016)%20Legalisasi%20%20Sawit%20melalui%20Perubahan%20Peruntukan%20Kawasan%20Hutan.pdf
[19] http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau
[20] Laporan hasil kajian tim terpadu usulan perubahan kawasan hutan dalam pemaduserasian TGHK dengan RTRWP Riau, Juli 2012.
[21] Pasal 21 ayat (4) UU Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang berbunyi: Jangka waktu RTRWP adalah 15 tahun
[22] Presentasi BPKH pada diskusi RTRWP Riau 2 – 4 November 2016
[23] Pasal 69 ayat 1, 2 dan 3 jo Pasal 61 huruf a UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
[24] Dalam penataan ruang setiap orang berhak salah satunya mengetahui rencana tata ruang (Pasal 60 UU 26 Tahun 2007)
[25] Pasal 65 UU 26 Tahun 2007