Ancaman Bagi Penyelamatan Hutan
Oleh ANUGERAH PERKASA
Bisnis Indonesia
Saya memulai perja lanan ke hutan Senepis dari Desa Jumrah dengan sepeda motor bebek sewaan pada pagi hari, awal Maret lalu. Dua tempat tersebut terletak cukup berdekatan di wilayah Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau.
Perjalanan dari Pekan baru, ibu kota Riau, menuju Rokan Hilir sehari sebelumnya menghabiskan waktu hampir 6 jam, menggunakan mobil. Saya didampingi aktivis Eyes on the Forest (EOF) Azan Zury, untuk melihat satu fakta: pelumatan pepohonan di hutan Senepis. Kami harus melewati tanah merah yang bergelombang. Licin dan becek. Pohon sawit bertebaran. Ilalang yang rimbun.
Azan sesekali memacu sepeda motornya sendirian. Ini karena ada lubang yang menghadang. Atau ketika ingin melewati papan kecil di atas tanah berlumpur. Satu jam ke mudian kami tiba. Hari itu, saya menyaksikan ratusan, mungkin ribuan, pepohonan yang telah ditebang. Ada batang-batang yang tersisa. Lahan gambut yang hitam. Ka nal-kanal. Pohon ramin yang berdiri tegak. Terpisah.
Laporan EOF bertajuk The Truth Behind APP’s Greenwash menemukan PT Ruas Utama Jaya maupun PT Suntara Gajapati, para pemasok kayu Asia Pulp & Paper Co. Ltd (APP), membuka blok-blok kecil hutan Senepis setidaknya sejak Desember 2010—Oktober 2011.
Menurut organisasi itu, kawasan yang dilumat merupakan sebagian kawasan yang dipaparkan APP sebagai suaka harimau Sumatra sejak 2006 dengan luas total 106.086 hektare. Walaupun demikian, APP bukanlah pemberi sumbangan lahan terbesar pada suaka tersebut.
Pemegang area terluas adalah PT Dia mond Raya Timber—pemilik hak pengusahaan hutan dan tak terafiliasi dengan APP—sebesar 90.956 hektare. Pembukaan lahan PT Ruas diperkirakan mencapai 5.000 hektare sementara PT Suntara tak dijelaskan detail.
“Blok-blok hutan lahan gambut serta air rawa di Senepis sudah kritis,” kata Afdhal Mahyuddin, Editor EOF pada saya di Pekanbaru. “Ini disebabkan oleh pembukaan hutan alam dan drainase oleh APP.”
APP adalah salah satu raksasa di industri bubur kertas serta kertas yang berdiri sejak 1972, kini membawahi sedikitnya enam perusahaan. Mereka adalah PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT Pabrik Kertas Tjwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Lontar Papyrus Pulp & Paper Industries, PT Ekamas Fortuna dan PT The Univenus. APP berada di bawah kendali Sinar Mas Group yang dimiliki Eka Tjipta Widjaja.
Korporasi tersebut memproduksi kertas, bubur kertas, pengemasan, perlengkapan tulis, tisu dan lainnya. Pada 2009, kapasitas produksi bubur kertas dan kertas masing-masing mencapai 3 juta ton ser ta 7,3 juta ton per tahun. APP memasarkan produknya ke 120 negara di kawasan Amerika, Afrika, Asia Pasifik, Eropa dan Timur Tengah.
EOF merupakan gabungan tiga organisasi lingkungan di Riau yakni Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau serta World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia-Program Riau. Mereka menuduh APP tidak benar-benar ingin menyelamatkan
harimau Sumatra. Citra satelit terakhir EOF menunjukkan pembukaan blok-blok hutan Senepis dilaku kan PT Ruas dan PT Suntara selama Desember 2010—Juni 2011.
“Proyek konservasi itu adalah kebohongan. Apalagi wilayah tersebut termasuk yang dilindungi,” ujar Nur syamsu, Koordinator EOF dari WWF Indonesia-Program Riau di Pekanbaru. “Tak mungkin menyelamatkan harimau, jika tak menyelamatkan rumahnya.”
Setelah kembali dari blok-blok penebangan, saya bertemu Ruslan, 38, yang sehari-harinya bertani, ketika beristirahat di kawasan hutan. Siang itu memang membuat tenggorokan kering. Dia duduk berbincang bersama empat warga lainnya. Kami kemudian ke rumah sederhana milik Thamrin, 39, di Desa Teluk Pulau Hulu, untuk wawancara.
Kucing-kucingan
Mereka menuturkan petani tak bisa lagi masuk ke kawasan yang diklaim milik PT Ruas Utama Jaya karena dijaga Brimob—satuan unit khusus dari kepolisian—dan pihak keamanan perusahaan. Mereka harus kucing-kucingan.
“Bukan lagi para teroris yang dikejar-kejar. Tapi masyarakat di sini,” ujar Ruslan. “Setahun terakhir ini, kami sulit sekali masuk hutan.”
“Kami diburu lebih dari maling. Kalau mau masuk hutan, pikir-pikir
dahulu,” kata Suryadi, 36.
Saya juga menemui para petani Desa Jumrah, yang sebagian pernah menghadapi Brimob dan satuan keamanan perusahaan, ketika masuk hutan.
Asben, 34, mengungkapkan wilayah konsesi semakin lama semakin mendekat ke wilayah desa. Dia pernah berhadapan de ngan salah satu anggota Brimob saat ingin menanam bibit pohon sawit, bersama empat kawannya, Agustus tahun lalu.
“Ini lahan siapa? Enak saja bapak tanam sembarangan,” kata anggota Brimob itu.
“Kami punya hak di sini. Kalau komandan bisa menunjukkan suratketerangan tapal batas, kami siap mundur,” jawab Asben.
Kepala Desa Jumrah Sukardi Ahmad mengatakan pada awal tahun ini pihak perusahaan sebenarnya telah sepakat membentuk tim tapal batas saat hadir dalam musyawarah desa. Namun hingga kini, tak ada tindak lanjutnya.
Dia mengungkapkan penduduk kini semakin resah karena kesulitan bertani. Ditakut-takuti. Permukiman itu kian terancam penghidupannya, tetapi tapal batas belum juga rampung. Namun, aparat keamanan bukanlah hal baru bagi APP.
Dalam laporan Human Rights Watch (HRW) bertajuk Without Remedy: Human Rights Abuse and Indonesia’s Pulp and Paper Industry pada 2003 disebutkan, korporasi itu menggunakan intimidasi aparat kepolisian dan tenaga yang dilatih polisi untuk merebut lahan ma syarakat. Ini terjadi di Desa Belam Merah dan Desa Betung, Kabupaten Pelalawan, serta Desa Mandiangin,
Kabupaten Siak.
Beberapa manajer lapangan APP— PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk serta PT Arara Abadi—dalam rapor tersebut mengaku bahwa perusahaan memberikan keuntungan finansial kepada aparat keamanan. Ini macam membiayai kantor baru polisi di Perawang, atau barak-barak baru dan fasilitas Brimob di Pekanbaru.
Lantas, bagaimana APP melihat persoalan-persoalan tersebut?
Aida Greenbury, Director of Sustainability and Stakeholder Engagement APP, beserta Hendra Gunawan Hoo, Director of Corporate Affairs and Communications APP, menuturkan izin PT Ruas sudah sesuai dengan prosedur. Pemasok telah mendapatkan izin dari pemerintah.
Menurut Hendra, legalitas penggunaan kayu ke perusahaan, juga melalui rencana kerja tahunan (RKT). RKT akan memperlihatkan wilayahwilayah mana yang menjadi pusat penebangan serta berapa besar potensinya.
Jawaban resmi
Jawaban resmi APP terhadap tuduhan EOF pada akhir tahun lalu menyatakan peta mereka—yang dikatakan sebagai peta resmi pemerintah—menunjukkan kekeliruan EOF. Perusahaan itu menyatakan pembukaan hutan oleh pemasok APP dilakukan di luar kawasan suaka harimau Sumatra. Bukan di dalam. “Peta itu ditetapkan oleh pemerintah. Kami selalu memublikasikan secara konsisten,” ujar Aida. “Ngapain menipu? Itu tidak sesuai dengan visi kami.”
Namun, laporan akhir tahun lalu lembaga pemikiran Greenomics yang bertajuk EOF Report: Fact or Fiction? mengungkapkan APP tidak menunjukkan kepada publik bagaimana terjadinya perubahan peta milik PT Ruas periode 2006—2008.
Berdasarkan dokumen deliniasi mikro pada April 2008, peta PT Ruas justru memperlihatkan blok-blok hutan Senepis yang ditebang, adalah area yang sebelumnya diumumkan menjadi kawasan suaka harimau. Ini berarti ada komitmen yang berubah.
Ada pula kawasan yang berganti fungsi. Sebagian area suaka harimau itu akan menjadi lokasi penanaman acasia crassicarpa—sebagai bahan baku bubur kertas dan kertas—sehingga dibutuhkan pembukaan hutan.
“PT Ruas telah menebang kawasan yang sebelumnya dijanjikan sebagai suaka harimau,” kata Direktur Eksekutif Greenomics Elfian Efendi pada saya, Maret lalu. “Ini untuk memperluas area konsesi perusahaan guna mendapatkan bahan baku.”
Akan tetapi, di sisi lain, APP kian membalut program-program kelestarian mereka melalui perusahaan komunikasi global. Sejak 2010— 2011, APP memakai jasa perusahaan komunikasi Cohn and Wolfe yang berbasis di New York, Amerika Serikat dan rumah produksi Allyn Media di Dallas, Texas.
Saya sendiri melihat sejumlah video terkait dengan usaha melonjakkan merek dagang perusahaan di situs Youtube. Ada soal pendidikan. Memberantas kemiskinan. Kepedulian APP. Atau reforestasi.
Iklan konservasi cetak APP juga tersebar di mana-mana, setidaknya sejak 2006. Misalnya berita promosi bertajuk APP’s Commitment: Conservation Beyond Compliance. Namun, iklan ini tak menyebutkan kontribusi PT Diamond Ruas Timber sama sekali, sebagai pemegang lahan terbesar.
“Pada situsnya, APP menyebutkan mereka mengelola area konservasi harimau, tanpa menyebutkan Diamond Raya Timber sama sekali,” kata Surya Agung, Direktur Utama PT Diamond Raya Timber, dalam sebuah seminar akhir November lalu. “Ini menunjukkan itikad kurang jujur dari Sinar Mas Group.”
Tak hanya itu, rapor EOF maupun Greenpeace pada periode November 2011—Desember 2011, membeberkan sejumlah perusahaan global mulai menyetop pembelian kertas APP terkait dengan tuduhan merusak hutan.
Mereka adalah Adidas, Carrefour, Cartamundi, Gucci Group, Hasbro, Idisa Papel, KiK, Kraft, Leclerc, Le go, Marks & Spencer, Mattel, Met cash, Metro Group, Mont Blanc, Nes tle, Office Depot, Ricoh and Fuji Xeroc, Sainsbury, Staples, Target, Tchibo, The Warehouse, Unilever, United Stationers, Woolworths dan Zhejiang Hotels Association.
“APP adalah buruk untuk hutan dan reputasi Indonesia itu sendiri,” kata Bustar Maitar, pengampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara dalam situs resminya. “Ini bahkan mengancam komitmen Presiden untuk menyelamatkan hutan.”
(anugerah.perkasa@bisnis.co.id)
Sumber: koran Bisnis Indonesia, Kamis 3 Mei 2012