Jakarta, Kompas – Rencana pemberlakuan jeda tebang di Indonesia semakin mengerucut hanya terhadap hutan primer. Kebijakan itu dikritik kalangan masyarakat sipil, namun disambut gembira pengusaha hutan dan perkebunan besar.
“Jika moratoriumnya hanya hutan primer, Satgas REDD+ gagal menjadi benteng terakhir penyelamatan hutan Indonesia,” kata Direktur Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Teguh Suryadi, Jumat (11/2) di Jakarta. Menurut dia, perubahan sikap satgas itu preseden buruk penyelamatan hutan.
Sebelumnya, Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, rancangan instruksi presiden (inpres) soal penundaan pemberian izin baru penebangan hutan sudah di tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada rancangan inpres itu, lanjut Kuntoro, yang tidak boleh ditebang ialah hutan primer dan kawasan gambut. Namun, pemerintah menghormati izin konsesi yang sudah diberikan.
“Ketentuan lainnya adalah mengenai tata cara pengelolaan baru yang akan dilakukan Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan lainnya,” kata Kuntoro, yang juga Ketua Satuan Tugas untuk Persiapan Pembentukan Lembaga Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+).
Pernyataan itu berbeda dengan draf awal UKP4 yang semula menyebutkan bahwa yang dimoratorium adalah hutan alam dan tidak membatasi hanya hutan primer. Sementara draf usulan moratorium hanya hutan primer dan gambut awalnya diusulkan Menteri Koordinator Perekonomian dan Kementerian Kehutanan.
Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim yang juga anggota Satgas REDD+, mengatakan, izin konversi hutan sekunder telanjur dikeluarkan sehingga tak mungkin dimoratorium lagi. Dari pemetaan, luasan hutan primer di Indonesia mencapai 64 juta hektar, sedangkan hutan sekunder 20-30 juta hektar. “Kami siapkan peta 1 : 250.000. Akan jadi lampiran inpres moratorium,” katanya.
Sebelumnya, Koordinator Program Perubahan Iklim Huma Bernadinus Steni mengatakan, “Kalau yang dimoratorium hanya hutan primer, apa bedanya dengan aturan-aturan sebelumnya karena memang masuk kawasan lindung? Ini akal-akalan.”
Kepentingan bisnis
Menurut Sekretaris Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, moratorium di hutan primer merupakan titik kompromi setelah lobi intensifnya. “Dari awal, kami setuju moratorium. Tetapi, sekarang berkembang. Gapki aktif memberi masukan ke Menhut. Dan draf Menhut ini yang kemudian disampaikan Menko Perekonomian ke Presiden sudah menampung sebagian usulan kami, terutama soal hutan primer itu,” tuturnya.
Namun, Joko mempertanya- kan luasan hutan primer yang disebut Satgas REDD+ 64 juta hektar. Angkanya seharusnya tak sebesar itu. “Ada kawasan APL (areal penggunaan lain) yang dimasukkan karena tegakannya dianggap masih bagus. Itu kami tolak dan harus dikecualikan,” paparnya.
Menurut Joko, istilah hutan primer sebenarnya tidak ada di undang-undang. “Itu kriteria hutan ilmiah, yaitu hutan yang belum disentuh manusia. Mereka memakai citra satelit untuk melihat tutupan hutan,” tuturnya.
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) justru mendukung moratorium penuh, termasuk ke hutan sekunder. “Saatnya pembatasan pembukaan area perkebunan baru sehingga pengusaha besar fokus pada industri pengolahan agar ada nilai tambah usaha sawit dan harga TBS (tandan buah segar) naik,” kata Koordinator Forum Nasional SPKS Mansuetus Darto.
Jumat kemarin, Wakil Presiden Boediono menerima delegasi Norwegia yang memantau kesiapan Indonesia menjalankan REDD+. Wapres menekankan pentingnya penerapan REDD+ memerhatikan kesejahteraan masyarakat lokal. “Wapres menyampaikan, kesejahteraan masyarakat penting diperhatikan. Harus dicari manfaat ekonomi REDD+ bagi masyarakt lokal,” ujar Juru Bicara Wapres Yopie Hidayat. (AIK/HAR/ATO/WHY)
Kompas: Senin, 14 Februari 2011