PEKANBARU–MI: Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan di Riau siap memperjuangkan pemimpin adat tertinggi Suku Talang Mamak Patih Laman, termasuk mengembalikan penghargaan Kalpataru.
Aktivis yang tergabung dalam Forum LSM Lingkungan Peduli Patih Laman tesebut menegaskan akan mengadvokasi lebih serius persoalan hutan adat Talang Mamak. Penyataan itu merupakan tindak lanjut terhadap protes para wartawan di Riau yang mengancam memboikot LSM Lingkungan yang dinilai tidak mau membantu Patih Laman dan Suku Talang Mamak.
“Tidak ada pengecualian dalam perjuangan penyelamatan lingkungan, termasuk dengan kasus Patih Laman dan Talang Mamak. Bersama aliansi forum LSM Peduli Patih Laman, kami menyatakan komitmen mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi pada hutan adat di Talang Mamak dan paling penting meneruskan keinginan Patih Laman memulangkan (penghargaan) Kalpataru,” kata Juru Bicara Forum LSM Lingkungan Peduli Patih Laman Susanto Kurniawan saat silahturahmi dan diskusi persoalan Patih Laman bersama wartawan di Pekanbaru, Sabtu (20/3).
Lebih lanjut Susanto yang juga Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Alam Riau (Jikalahari) menjelaskan, LSM lingkungan di Riau sudah lama mengamati kasus penghancuran hutan adat Talang Mamak.
Sedikitnya 14 LSM lingkungan seperti Jikalahari, Walhi Riau, Greenpeace SEA, WWF Riau, Kabut, Elang, SIKLUS, YASA, Scale Up, Mitra Insani, Bahtera Alam, Kaliptra, AMAR, dan FKKM, sejak 1995 telah menemukan berbagai tindakan pelanggaran di Talang Mamak yang dilakukan dua pihak, yakni pemerintah dan swasta.
“Persoalan yang terjadi demikian rumit. Itulah sebabnya kami sangat hati-hati dalam mengungkapnya. Satu sisi kami tidak ingin talang mamak itu sendiri yang akan terkena imbas,” ujar Susanto.
Kasus Patih Laman dan talang mamak, jelasnya, ternyata juga melibatkan oknum dari suku terasing itu. Dari temuan LSM, Patih Laman yang tidak pandai baca tulis dimanfaatkan sejumlah orang dekatnya, sehingga lebih dari 8.000 hektare hutan adat Talang Mamak kini beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit, akasia, dan permukiman pendatang. (RK/OL-01)
Sumber: MI, Rudi Kurniawansyah, Sabtu, 20 Maret 2010