Pekanbaru, Rabu 1 Juli 2020—Jikalahari dan Senarai meminta Majelis Hakim PN Rengat menghukum PT Tesso Indah (TI) pidana denda Rp 10 miliar dan pidana tambahan Rp 24 miliar. PT TI layak dihukum dengan Pasal 98 Ayat (1) jo Pasal 116 Ayat (1) huruf a UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena menghendaki dan membiarkan lahannya terbakar. Selain itu, hakim harus membebaskan Sutrisno karena yang lebih bertanggungjawab dan layak dipenjara adalah Tresno Chandra, pemilik PT TI.
Lahan PT Tesso Indah terbakar dua kali selama Agustus 2019 di Estate Rantau Bakung, Kecamatan Rengat Barat, Indragiri Hulu, Riau. Pertama, pada 19 Agustus 2019 di Blok T 18,19 dan 20 seluas 28,1 hektar. Kedua, pada 26 Agustus 2019 di Blok N 14, 15 dan 16 seluas 35,1 hektar. Seluruhnya 63,2 hektar.
Selama memantau langsung persidangan, Senarai menemukan, lokasi terbakar telah ditanami sawit di atas hutan alam namun tidak produktif; rawan terbakar; tidak memiliki Rencana Kerja Pembukaan dan Pengolahan Lahan Perkebunan (RKPPLP); masuk dalam peta indikatif prioritas restorasi gambut; kekurangan sarana prasarana; tidak jalankan AMDAL bahkan menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
“Kebakaran hutan dan lahan dalam areal PT TI bukanlah kelalaian, melainkan kesengajaan. Artinya, PT TI memang menginginkan Blok T dan N terbakar atau dibakar karena tanaman sawit di atasnya tidak produktif dan masih ada kayu alam yang berdiri tegak saat kebakaran teronggok menjadi arang,” kata Koordinator Jikalahari Made Ali.
Investigasi Jikalahari pada Desember 2019 menemukan, areal bekas terbakar telah ditumbuhi semak-semak yang tumbuh alami, menandakan areal bekas terbakar tersebut menjadi subur karena PH tanah gambut menurun, arang bekas terbakar menjadi abu dan abunya dapat menyuburkan tanah gambut.
Selain itu hasil analisis Jikalahari, berdasarkan peta prioritas indikatif restorasi gambut, areal yang terbakar berada pada zona merah (prioritas restorasi pasca kebakaran 2015-2017) dan zona biru (prioritas restorasi lindung gambut berkanal). Artinya PT TI tidak melakukan restorasi pasca kebakaran 2015, hingga terbakar kembali pada 2019.
“Bayangkan saja, jika areal terbakar seluas 63,2 ha dikerjakan secara manual? Sawit yang tidak produktif ditebang juga kayu-kayu alam ditebang, butuh berapa biaya?Jika dibakar biaya secara manual tidak perlu dikeluarkan,” jelas Made Ali.
PT TI tidak sanggup memadamkan api dengan peralatan. Mereka akhirnya dibantu Satgas Karhutla, Polisi; TNI; BPBD dan Manggala Agni. Padahal tugas Satgas harusnya memadamkan api di luar areal perusahaan.
“Ratusan miliar duit dari pajak masyarakat justru digunakan tidak benar oleh Tim Satgas Karhutla, berupa memadamkan api dalam areal perusahaan yang merupakan kewajiban perusahaan. Seperti tertera dalam perizinan maupun AMDAL dan izin lingkungannya,” kata Peneliti Senarai Jeffri Sianturi.
Selain itu, Senarai juga menyoal kinerja penuntut umum. Penuntut Umum tertutup karena tidak memberi dokumen dakwaan setelah dibacakan pada sidang yang terbuka untuk umum. Mereka juga terlihat pasif karena hanya mengejar kelalaian perusahaan. Pertanyaan mereka sekedar yang tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“Tindakan jaksa tidak memberikan dakwaan pada publik dan pasif selama persidangan menunjukkan, jaksa tidak optimal dalam penegakan hukum tindak pidana kebakaran hutan dan lahan sebagaimana instruksi Presiden Jokowi No 11 Tahun 2015 tentang, Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan serta Inpres No 3 Tahun 2020 tentang penanggulangan Karhutla,” kata Jeffri Sianturi.
Penilaian sama juga disematkan pada majelis hakim. Mereka juga membatasi akses untuk mendokumentasikan persidangan dengan utuh, terutama perekaman gambar atau video. Senarai menyaksikan hakim juga tidak begitu aktif menggali masalah ini. Seperti pemeriksaan ahli Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis. Dua anggota majelis hakim sama sekali tidak mengajukan pertanyaan.
Sebaliknya, dua majelis anggota itu lebih aktif bertanya pada ahli yang dihadirkan oleh penasihat hukum terdakwa. Sejak awal, Senarai mulai meragukan kualitas hakim. Sebab, pada pemeriksaan saksi pertama, ketua majelis hakim—sebelum diganti—tidak tahu apa itu embung.
Disamping itu, Senarai melihat majelis cukup tegas mengatur jadwal sidang agar waktu tidak terbuang cuma-Cuma. Mengingat masa tahanan Sutrisno yang tidak dapat diperpanjang lagi. Begitu juga beri kesempatan pada para pihak dalam hal pembuktian dan pembelaan. Sejak awal majelis sudah mengatur jadwal persidangan. Kemudian, setelah ketua majelis berganti, Senarai sudah diizinkan merekam persidangan namun belum untuk video.
Jikalahari dan Senarai merekomendasikan pada hakim:
- Menghukum PT TI pidana denda Rp 10 milyar, pidana tambahan berupa perbaikan lingkungan hidup senilai Rp 24 milyar untuk memulihkan lahan yang rusak seluas 63,2 hektar.
- Memerintahkan penyidik Gakkum LHK untuk menyelesaikan penyidikan atas kebakaran PT TI di lahan Pasir Ringgit seluas 40 hektar yang juga terjadi pada 2019, dengan tersangka Surya Purnama.
- Membebaskan Sutrisno karena dia telah menjalankan tugas sesuai kewenangannya. Lagi pula dia baru menjabat tiga bulan sebagai asisten kepala PT TI. Seharusnya yang bertanggungjawab adalah Tresno Chandra (saat peristiwa kebakaran sebagai Direktur Utama PT TI) sebagai pemilik PT TI. Majelis hakim dalam pertimbangannya meminta penegak hukum memproses Tresno Chandra Direktur PT TI sebagai tersangka pembakaran hutan dan lahan.
- Kejagung memecat Kepala Kejaksaan Negeri Indragiri Hulu karena tidak optimal dalam pencegahan dan pemberantasan penindakan Karhutla, termasuk membiarkan JPU tidak aktif menggali perkara PT TI juga tidak transparan dalam memberikan dokumen dakwaan yang diminta oleh publik. Kinerja Kejari ini bertentangan dengan semangat reformasi dan transparansi Kejaksaan Agung.
- Komisi Yudisial dan Bawas Pengadilan Tinggi Pekanbaru memeriksa kinerja majelis hakim yang melanggar komitmen Mahkamah Agung terkait transparansi dalam penanganan perkara dan melarang publik mendokumentasi proses persidangan secara utuh.
Narahubung:
Aldo—0812 6111 6340
Jeffri—0853 6525 0049