Pekanbaru, 18 Mei 2010 – Tim Pendukung Penyelamatan Semenanjung Kampar (TP2SK) mengecam pernyataan sejumlah pihak yang menilai tidak ada pertentangan dalam persoalan Semenanjung Kampar bahkan informasi mengenai pernyataan bahwa Menteri Kehutanan sudah memberikan izin kepada PT RAPP untuk melanjutkan operasi.
Pekanbaru, 18 Mei 2010 – Tim Pendukung Penyelamatan Semenanjung Kampar (TP2SK) mengecam pernyataan sejumlah pihak yang menilai tidak ada pertentangan dalam persoalan Semenanjung Kampar bahkan informasi mengenai pernyataan bahwa Menteri Kehutanan sudah memberikan izin kepada PT RAPP untuk melanjutkan operasi.
Koordinator TP2SK, Susanto Kurniawan mengatakan pada April lalu, konsultan independen Smartwood menangguhkan sertifikat controlled wood Forest Stewardship Council (FSC) kepada Asia Paper Resources International Limited (APRIL) karena perusahaan tersebut gagal memenuhi standar minimum untuk mendapatkan sertifikasi controlled wood. Di antaranya PT RAPP, anak perusahaan APRIL masih melakukan penebangan di areal yang masuk kawasan hutan konservasi bernilai tinggi (HCVF) seperti hutan gambut di Semenanjung Kampar, dan pelanggaran HAM berat seperti kasus antara masyarakat Tangun dengan PT. Sumatera Sylva Lestari (SSL).
“Jika ada pihak yang menyatakan tidak ada pertentangan untuk pengelolaan Semenanjung Kampar, itu adalah salah. Penangguhan sertifikat controlled wood FSC adalah satu bukti perusahaan tidak patuh pada aturan pengelolaan industri kertas yang lestari. Selain itu, Semenanjung Kampar juga kaya karbon sehingga konversi akan memicu pemanasan global. Dampak yang paling rentan adalah masyarakat Riau khususnya,” kata Susanto.
Hingga saat ini PT RAPP masih melakukan aktifitas di areal konsesi Semenanjung Kampar dan terus diprotes masyarakat. Sementara Menteri Kehutanan belum mengumumkan keputusannya mengenai dicabut atau tidaknya status penghentian izin sementara yang dikeluarkan kementerian pada November 2009 lalu. Ini jelas bukti bahwa PT RAPP terus melanggar hukum Indonesia.
Menanggapi hasil rekomendasi Tim Pakar Independen (TPI) bentukan Menteri Kehutanan, Direktur Scale Up yang juga anggota TP2SK, Ahmad Zazali mengatakan, hasil rekomendasi tersebut belum ditanggapi secara resmi oleh Menteri Kehutanan. TP2SK sudah bertemu dengan beberapa orang anggota TPI, mereka mengatakan tim hanya ditugaskan untuk mengevaluasi teknologi yang digunakan RAPP. Ini jelas tidak sesuai dengan apa yang disuarakan LSM selama ini, bahwa ijin yang diberikan kepada RAPP di Semenanjung Kampar bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia1. Jadi tidak benar kalau hasil kajian tim independen ini dijadikan acuan untuk membiarkan penghancuran hutan oleh RAPP.
“Rekomendasi belum final dan belum ada keputusan pelaksanaan rekomendasi dari Menhut. Ini hanyalah penyesatan informasi yang disebarkan kepada masyarakat. Menteri Kehutanan juga harus mempertimbangkan penangguhan sertifikat controlled wood FSC kepada RAPP dan protes yang terus disampaikan sejumlah masyarakat di Desa Teluk Binjai dan Teluk Meranti yang terancam sumber kehidupannya akibat perusakan kawasan gambut oleh perusahaan pulp dan kertas. Protes masyarakat ini menunjukkan bahwa mereka juga telah melanggar prinsip keputusan bebas (tanpa paksaan) diinfomasikan dan didahulukan (Free Prior and Informed Consent/FPIC)” kata Zazali.2
Anggota TP2SK lainnya yang juga Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Hariansyah Usman menegaskan, saat ini bahwa APRIL sudah melanggar komitmen bisnis kehutanan lestari terbukti karena APRIL tidak mampu menghentikan praktek-praktek buruk dalam operasi mereka yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
“Masyarakat di Teluk Meranti dan Teluk Binjai terus berkonflik dengan operasi perusakan hutan gambut oleh PT RAPP di desa mereka. Jadi, kalau Gubernur Riau Rusli Zainal mengatakan bahwa tidak ada persoalan di Semenanjung Kampar ini menunjukkan bahwa Gubri tidak mampu memahami apa yang saat ini terjadi di sana. Terlihat sekali Gubri hanya membela kepentingan bisnis PT RAPP dan tidak pernah berpihak kepada keberlanjutan kehidupan warganya di sana, ini sudah melanggar amanat UUD 1945 pasal 33,” kata Hariansyah.
Sementara itu anggota TP2SK dan Juru kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi meminta Menteri Kehutanan untuk konsisten atas pernyataanya di media beberapa hari lalu bahwa kementeriannya berkomitmen melindungi seluruh hutan gambut di Indonesia. Konsistensi itu harus disampaikan dalam keputusan akhir atas penghentian sementara izin operasi PT RAPP di Semenanjung Kampar.
“Greenpeace meminta pemerintah Indonesia tidak mengulang kesalahan masa lalu yang membolehkan konversi hutan gambut di kedalaman lebih dari 3 meter karena bukan hanya memberikan dampak iklim tetapi konversi gambut di kedalaman 3 meter adalah illegal dan jika RAPP melanjutkan operasi di Semenanjung Kampar, itu artinya apa yang mereka lakukan adalah aktifitas illegal. Menteri kehutanan, Menteri pertanian dan Menteri negara lingkungan hidup sudah mendapat mandat dari Presiden untuk menurunkan emisi hingga 26% dan memperbaiki citra bangsa dengan menghentikan perusakan hutan gambut untuk ekspansi perusahaan pulp dan kertas,” tutup Zulfahmi.
Catatan Editor :
- Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 dan Pasal 52 dan 55 Keputusan Presiden No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
- FPIC merupakan prinsip yang berlaku untuk semua jenis pembangunan yang akan memberikan dampak terhadap hak-hak masyarakat sekitarnya, diatur dalam deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat/lokal (http://scaleup.or.id/pengalaman-fpicredd/Dekalari%20PBB%20%20ttg%20Hak2%20Masyarakat%20Adat%20new.pdf; http://scaleup.or.id/Letters%20April/Handbook%20FPIC%20final.pdf)
Kontak:
Koordinator TP2SK, Susanto Kurniawan : 087893371845
Direktur Scale Up, Ahmad Zazali :08126829927
Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman :081276699967
Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Zulfahmi : 08126821214
Jurukampanye Media, Greenpeace Asia Tenggara, Zamzami : 08117503918