Dahulu, ikan belida dapat ditangkap di perairan ini
Oleh Fadil Nandila, Wakil Koordinator Jikalahari
CAGAR biosfer Giam Siak kecil-Bukit batu, cagar biosfer ke tujuh di Indonesia dikukuhkan pada medio 2009. Pengukuhan ini diikuti tanggung jawab pencapaian cita-cita memfungsikan kawasan sebagai bank keanekaragaman hayati, pencadangan air, upaya mitigasi terhadap perubahan iklim dan terpenting peningkatan pendapatan bagi warga sekitar, privat sektor, pemerintah daerah dan negara.
Pengelolaan cagar biosfer ini didukung United Nations Educational, Scientific and Cultural organization; The Indonesian Man and Biosphere (MAB) Program national Commitee, LIPI, Departemen Kehutanan, Pemerintah Propinsi Riau.
Untuk mengukur dampak keberadaan menajemen cagar biosfer GSK-BB dari sisi peningkatan ekonomi perikanan, perlu disusun sistem pemantauan dinamika populasi ikan sebagai landasan alternatif kebijakan peningkatan niaga perikanan dan kesinambungan ketersediaan ragam ikan.
Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil ditetapkan pada 1994 seluas 84.967 hektar dan Suaka Marga Satwa Bukit Batu seluas 21.500 hektar ditetapkan pada 1999.
Pada 2009 dikukuhkan sebagai Cagar Biosfer ke-7 Indonesia setelah terjadi penggabungan seluas 178.722 hektar dengan penyerahan blok hutan kelompok usaha kehutanan Sinarmas Forestry seluas 72.555. Dan diberi nama Cagar biosfer GSK-BB dengan luas zona inti seluas 178.722 hektar, zona penyangga seluas 222.425 dan zona transisi seluas 304.123 hektar. Ketiga zona ini memiliki sungai dan tasik, merupakan kawasan perikanan rawa gambut yang dikelola secara tradisional dari berbagai desa di dalamnya.
Realita
Kebijakan pemerintah mendorong Propinsi Riau sebagai daerah produksi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit mengancam keanekaragaman hayati biota perairan darat. Riau propinsi DAS potensial menghasilkan ikan air tawar. Seharusnya terjadi kombinasi positif antara HTI, Perkebunan sawit dan perikanan perairan danau/tasik dan sungai. Dunia niaga perikanan di rawa gambut kurang mendapat perhatian lebih karena dari hitungan ekonomi dipandang jauh lebih kecil dibanding niaga perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.
Namun ini bukan alasan mutlak untuk tak melakukan revitalisasi niaga perikanan rawa gambut di Riau.
Pada 28 Juli hingga 1 Agustus 2010 dilakukan penelitian etnografi di sekitaran Desa Tasik Betung Kecamatan Mandau, Kabupaten Siak untuk kepentingan penyusunan sistem pemantauan oleh nelayan dan presentasi pada Konas VII Pengelolaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil di Ambon pada 4-7 Agustus 2010, didukung Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil-Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
Dalam zona inti Cagar biosfer GSK-BB terdapat 126 Jenis pohon dan 30 jenis ikan, bernilai ekonomi tinggi ikan tapah (wallago attu), ikan toman (Channa Spp), ikan kepar (ballontia hasseltii) dan ikan slays (Kryptopterus macrocephalus). Ikan kayangan dan ikan belida menghilang dalam ekosistem.
Berikut ini pemahaman tradisional nelayan hutan rawa gambu di Cagar biosfer GSK khusus nelayan tasik belat, nelayan tasik katialu, nelayan tasik serai, nelayan tasik batu songsang, nelayan tasik siam yang menangkap ikan dalam tasik dan alur sungai siak kecil yang berada dalam zona inti Cagar biosfer GSK-BB. Diantara mereka harus meninggalkan desa, menetap beberapa lama di dalam hutan dengan cara membangun pondok yang mereka sebut bagan di tepi sungai dan muara-muara tasik/danau.
PARA nelayan belum mampu mendiskripsikan relasi antara ikan dengan 130 jenis tumbuhan yang ada dalam hutan. Belum terungkap pengetahuan tradisional tentang asosiasi tumbuhan tertentu dengan biota air tertentu. Namun nelayan sangat yakin pada saat air gambut genangi hutan hingga 2-3 meter tiap Kanuari-Februari, ikan bertebaran dalam hutan dan melakukan perkawinan dan pembesaran anak ikan lebih aman karena ikan pemangsa sulit menangkap ikan target, begitu juga dengan para nelayan memutuskan meninggalkan bagan untuk istirahat operasi penangkapan ikan. Hipotesis yang dapat dibangun dari pengetahuan tradisional ini; 1) ada hubungan serangga pohon tertentu terhadap naluri kawin ikan tertentu, 2) ada hubungan aroma pohon tertentu terhadap naluri kawin ikan tertentu.
Berdasar pengetahuan tradisional bahwa ikan tapah target utama penangkapan ikan selalu berada pada dasar perairan, pemangsanya adalah ikan toman yang berada tidak terlalu jauh dari permukaan air. Ikan tapah mengkonsumsi ikan lele sekitar permukaan air juga yang nelayan meyakini ikan toman dan ikan lele selalu ke permukaan air untuk mengambil udara dari permukaan air.
Saat terjadi perburuan ikan tapah terhadap ikan lele, menjadi kesempatan ikan toman memangsa ikan tapah. Pemahaman ini menjadi keputusan bagi nelayan untuk meletakan bubu di dasar perairan untuk menangkap ikan tapah dan di dekat permukaan untuk mendapatkan ikan lainnya. Selain itu untuk memancing ikan tapah sering menggunakan ikan lele hidup sebagai umpan. Dan jika terlambat mengangkat maka ikan toman yang akan didapat oleh nelayan.
Nelayan tradisional di kawasan ini menyebut seluruh alat tangkap ikan dengan sebutan “pekarangan” jenis alat tangkapnya lukah, jaring, ambat, kait (pancing), tajur dan jala. Malam hari, saat nelayan rehat di bagan-bagan, mereka kerap saling mengunjungi untuk berbagi pengalaman mengoperasikan “pekarangan”. Mereka membicarakan umpan yang efektif, arah pintu, bentuk pintu dan posisi pintu lukah yang efektif, ukuran jaring dan saat yang tepat menebar jala. Mereka menyadari adanya perubahan-perubahan gejala alam yang berdampak pada perubahan prilaku ikan sehingga “pekarangan” mengalami adaptasi bersamaan dengan ujicoba yang dilakukan oleh nelayan dan didiskusikan bersama.
Nelayan tradisional dalam zona inti cagar biosfer ini melakukan pengasapan untuk pengawetan ikan selays, gabus, lele, baung, dan lainnya. Namun tak ada pengetahuan tradisional untuk pemilihan kayu bakar tertentu untuk pengasapannya. Ikan hasil asapan cenderung menghitam, berbeda dengan produk dari luar cagar biosfer yang daging ikan asapannya sedikit menguning. Mereka melakukan pengasapan ikan selama dua hari dan produk tersebut diyakini mampu awet selama satu bulan. Ikan yang diawetkan dengan cara pengasapan akan kehilangan bobot hingga ¾ bahagian.
Ikan yang tertangkap dapat dijual dalam kondisi hidup, kondisi segar dan kondisi awetan. Umumnya ikan-ikan tersebut dijemput oleh pedagang pengumpul sekaligus berperan sebagai penyedia bahan kebutuhan hidup nelayan di bagan-bagan. Ikan-ikan hidup dan segar, umumnya akan habis terjual pada komunitas desa/kelurahan sekitar sungai siak kecil, namun produk ikan asapan umumnya di pasarkan di kota Pekanbaru.
Fenomena hilangnya ikan kayangan dan ikan belida
Dahulu, ikan belida dapat ditangkap di perairan ini, namun sekarang ikan tersebut menghilang tiba-tiba dan nelayan tak mampu menjelaskan fenomena ini. Begitu juga dengan ikan kayangan yang dahulu nelayan hanya menangkap anaknya saja yang sebesar jemari orang dewasa dan menegakkan konvensi; induk-induk ikan kayangan tertangkap harus dilepaskan kembali jika tertangkap. Namun mereka juga tidak mampu menjelaskan fenomena hilangnya ikan kayangan yang bernilai tinggi sebagai ikan hias komoditi eksport.
Cagar Biosfer GSK-BB Dalam Pikiran Nelayan
Nelayan dalam zona inti cagar biosfer ini belum memahami keberadaan pengelolaan terpadu cagar biosfer GSK-BB. Hal ini masih dipandang wajar karena pengukuhan kawasan baru terjadi pada 2010. Perlu sosialisasi khusus terhadap nelayan dalam zona inti agar mereka bersedia berpartisipasi dalam pengelolaan zona inti khususnya sebagai pemantau situasi dan kondisi hutan rawa gambut di Cagar biosfer GSK-BB.
Tawaran Solusi
Mempersiapkan sistem pemantauan situasi dan kondisi sungai di hutan rawa gambut cagar biosfer GSK-BB oleh nelayan dengan rancangan sistem seperti uraian berikut ini sebagai landasan penelitian partisipatory rural apraisal (PRA) untuk menyusun rencana pengelolaaan zona inti, zona penyangga dan zona transisi pada Cagar Biosfer GSK-BB. Keberadaan manajemen cagar biosfer mengarah pada upaya; 1) pensejahteraan masyarakat sekitar kawasan, 2) penjaminan terhadap keanekaragaman hayati, 3) penjaminan terhadap kelimpahan air gambut dan 4) penjaminan terhadap proses sekuestrasi karbon dioksida sebagai upaya mitigasi terhadap perubahan iklim.