PEKANBARU, SENIN 28 NOVEMBER 2016— Jikalahari mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau menolak pembahasan draft RTRWP Riau dan memerintahkan Gubernur Riau membentuk Tim Terpadu (Timdu) baru yang melibatkan publik karena pembahasan terkait RTRWP Riau dua puluh tahun terakhir ini minim dalam mengakomodir isu publik dan minim partisipasi publik. “Pembahasan RTRWP Riau serba tertutup dan hanya diketahui elit politik, pengusaha hitam dan birokrat,” kata Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari.
Jikalahari menilai usulan perubahan peruntukan kawasan menjadi non kawasan hutan versi Gubernur Riau maupun versi Menteri Kehutanan era Zulkifli Hasan dan MenLHK era Siti Nurbaya masih jauh dari keperpihakan pada kebutuhan masyarakat. Pada 2009, guna revisi RTRWP Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal mengusulkan perubahan kawasan hutan seluas ± 3.530.696 ha. Lalu, Kementerian Kehutanan membentuk Tim Terpadu, hasilnya pada 2012 merekomendasikan perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 2.740.586.
Tindak lanjut dari hasil kajian Timdu, Menhut menerbitkan SK nomor 673 pada 8 Agustus 2014 mengenai perubahan kawasan hutan di Riau. SK ini mengakomodir rekomendasi Timdu dengan mengubah kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 1.638.294 hektar. “Sayangnya pelepasan kawasan hutan selaus 1,6 juta hektar itu bukanlah untuk masyarakat, melainkan untuk industri sawit,” ujar Woro.
Saat penerbitan SK 673, Zulkifli Hasan selaku Menhut saat itu langsung menyerahkannya kepada Annas Maamun saat hari jadi Provinsi Riau, 9 Agustus 2014. Ketika menyerahkan SK, Zulkifli mengusulkan jika masih ada lahan masyarakat yang belum diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau. “Namun kenyataannya justru lahan korporasi dan para cukong yang diakomodir oleh pemerintah. Ini menunjukkan proses pembahasan RTRWP rawan korupsi,” sesal Woro.
Menteri Kehutanan via SK.673/Menhut-II/2014 pada 8 Agustus 2014 hanya menyetujui perubahan kawasan hutan menjadi non kawasan hutan seluas + 1.640.826 ha. Aturan terbaru Menlhk via SK.878/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 jo SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20 April 2016 sebagaimana diubah dengan SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei 2016 perubahan peruntukan kawasan hutan tak mengalami perubahan signifikan.
“Sepanjang proses pembahasan RTRW luasan perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Pulp and Paper tidak berubah secara signifikan. Justru kian melegalkan sekitar 1,9 juta luasan HTI di Riau yang masih penuh dengan persoalan tumpang tindih dengan lahan masyarakat tempatan dan tanah milik ulayat masyarakat hukum adat.,” kata Woro Supartinah.
Sebagai contoh, dari hasil temuan Jikalahari di lapangan, areal perusahaan HTI PT Rimba Rokan Lestari di Bengkalis tumpang tindih dengan beberapa desa di Bengkalis. Areal yang dibebankan izin milik PT RRL tumpang tindih dengan pemukiman masyarakat, fasilitas umum bahkan kebun kelapa masyarakat yang sudah ditanam sejak tahun 1991. “Padahal perusahaan memperoleh izin pada 1998. Ini membuktikan bahwa pemberian izin tidak memperhatikan kondisi riil di lapangan. Luasan HTI PT RRL tidak berubah sama sekali,” kata Woro.
Itu baru perusahaan HTI. Perusahaan perkebunan sawit berdasarkan temuan Pansus Monitoring Lahan dan Pajak DPRD Riau tahun 2016 menemukan seluas 1,8 juta ha kawasan hutan telah ditanami kelapa sawit oleh 370 perusahaan sawit tanpa izin pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup.
Temuan Jikalahari, PT Setia Agrindo Lestari (Surya Dumai Grup) di Indragiri Hiir tahun 2012-2013 masih masuk dalam kawasan hutan, di dalam SK Menteri Kehutanan No 673 tahun 2014 hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 314 tahun 2016 dan revisinya SK nomor 393 diterbitkan pada 23 Mei 2016 menjadi APL. “Itu baru satu perusahaan. Temuan EoF tahun 2016 ada sekitar 30 perusahaan yang “diputihkan” oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan,”kata Woro Supartinah.
“Belum lagi cukong-cukong yang merambah kawasan hutan ditanami kelapa sawit yang mengusik pemerintah untuk dilegalkan,”kata Woro Supartinah.
Woro merujuk pada Korupsi Alih Fungsi Lahan yang melibatkan Annas Mamun, Edison Marudut, Surya Darmadi yang difasilitasi oleh Wakil Gubernur, Kepala Dinas Kehutanan hingga staf dinas agar lahan mereka dilegalkan.
Pada 4 Oktober 2016 di PN Bandung, Jaksa KPK mendakwa Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama juga petinggi Partai Demokrat Riau menyuap Gubernur Riau Annas Mamun senilai SGD 156,000 dan Rp 500 juta melalui Gulat Medali Emas Manurung pada September 2014 agar kebun sawit milik Marudut seluas 120 ha di Duri, Bengkalis dikeluarkan dari kawasan hutan dalam revisi surat gubernur Riau kepanda Menteri Kehutanan No 050/BAPPEDA/8516 perihal Revisi Usulan Perubahan Luas Kawasan Hutan Bukan Hutan di Riau.
Pemberi suap lain kepada Annas Maamun adalah Surya Darmadi, Pemilik PT Duta Palma Nusantara. Duta Palma, yang lahannya berada di Indragiri Hulu, turut dimasukkan ke dalam usulan perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Propinsi Riau. Surya memberikan Rp 3 Miliar dari yang dijanjikan sejumlah Rp 8 Miliar kepada Annas Maamun. “Ini berarti Duta Palma selama beroperasi di atas kawasan hutan yang belum dilepaskan oleh MenLHK. Operasional PT Duta Palma selama ini adalah illegal,” kata Woro Supartinah.
Peristiwa suap menyuap ini berawal dari Menteri Kehutanan, saat itu Zulkifli Hasan, menyerahkan SK 673 tahun 2014 tentang rencana tata ruang wilayah Riau. Di dalam SK, Zulkifli menanda tangani terkait perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 1,63 juta hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 717 ribu hektar, serta penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 11 ribu hektar.
Saat menyampaikan pidato sempena Hari Ulang Tahun Propinsi Riau, Zulkifli memberi kesempatan kepada masyarakat Riau melalui pemerintah Propinsi Riau untuk memasukkan revisi terkait SK 673 bila masih ada lahan masyarakat yang belum terakomodir di dalam SK tersebut. ”Ini kemudian menjadi pintu masuk intervensi pemodal yang rawan dengan tindakan korupsi,” kata Woro.
Kesempatan itu tak disia-siakan Gulat Manurung dan Surya Darmadi. Gulat meminta kepada Annas Maamun agar lahan yang dikelolanya di Kuantan Singingi dan Bagan Sinembah dimasukkan ke dalam usulan revisi. Begitu pula Surya Darmadi. Melalui Suheri Tirta, pada 19 Agustus 2014, PT Duta Palma mengajukan surat permohonan yang pada pokoknya meminta agar Annas Maamun mengakomodir lokasi perkebunan PT Palma Satu, PT Panca Agro Lestari, PT Banyu Bening Utama, PT Seberida Subur—anak perusahaan PT Duta Palma Nusantara—di Indragiri Hulu ke dalam usulan revisi tataruang wilayah Riau. Surya Darmadi menjanjikan sejumlah uang kepada Annas Maamun yang diberikan melalui Gulat Manurung.
Pada 17 September 2014, Annas Maamun menanda tangani surat usulan revisi rencana tata ruang wilayah Riau dimana lahan Gulat Manurung di Kuantan Singingi seluas 1.118 hektar dan di Bagan Sinembah seluas 1.214 hektar serta lokasi perkebunan PT Palma Satu seluas 11.044 hektar, PT Panca Agro Lestari seluas 3.585 hektar, dan sebagian besar lokasi perkebunan PT Banyu Bening Utama turut masuk di dalamnya. Termasuk pula lahan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, pemilik PT Citra Hokiana Triutama seluas 140 hektar di Duri Bengkalis.
Upaya PT Duta Palma melegalkan kawasan hutannya seluas 18 ribu hektar terkait dengan pengurusan sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Riau, saat bersaksi di persidangan mengungkapkan bahwa 3 anak perusahaan PT Duta Palma belum bisa memperoleh sertifikat ISPO karena lahannya masih berada di dalam kawasan hutan. Karena itu mereka getol berupaya agar lahannya bisa masuk ke dalam usulan revisi tata ruang wilayah Riau untuk dialihfungsikan menjadi bukan kawasan hutan.
Saat ini Draft RTRWP Riau mengacu pada SK Menteri Kehutanan No. 673 tahun 2014 hingga SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 314 tahun 2016 dan revisinya SK nomor 393 diterbitkan pada 23 Mei 2016. Dalam SK dituliskan luasan kawasan hutan Riau adalah 5.444.163 hektar dan untuk Area Peruntukan Lain (APL) seluas 3.472.783 hektar.
“Salah satu kelemahan lain dalam draft RTRW saat ini adalah bahwa dalam Draft RTRW saat ini perlindungan kawasan gambut sama sekali tidak dipertimbangkan,” ujar Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari. “Padahal kebijakan ruang yang baik mestinya memperhitungkan aspek perlindungan kawasan rentan kerusakan” tambahnya.
Menurut Woro, persoalan alih fungsi kawasan hutan ini perlu dicermati dengan teliti, “Ada indikasi alih fungsi kawasan ini dijadikan ladang ‘pemutihan’ bagi perusahaan, sehingga mereka tidak perlu mengurus pelepasan kawasan hutan,” ujarnya. Pada hakikatnya publik berhak untuk mengetahui perkembangan pembahasan terkit RTRW Riau karena tingkat kerawanan akan korupsi dan dampak implementasi kebijakan tata ruang tersebut yang bersampak pada tatanan kehidupan riil di masyarakat dan juga lingkungan.
Untuk itu Jikalahari merekomendasikan agar:
1. DPRD memerintahkan Gubernur Riau melakukan pengkajian ulang draft RTRWP dengan membentuk Timdu baru. Tim yang ditunjuk harus melakukan pengecekan ulang terhadap kawasan hutan di Riau dengan memperhatikan: aspek legal/perijinan industri, area tumpang tindih antara perusahaan dan masyarakat, kawasan kelola masyarakat dan perlindungan kawasan gambut.
2. DPRD mendorong agar areal konsesi yang sudah tidak dikelola ataupun konsesi yang berkonflik dengan masyarakat harus dilepaskan untuk kepentingan masyarakat dalam bentuk perhutanan sosial dan kelola berbasiskan masyarakat hukum adat.
Narahubung
Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari. 081317566965
Okto Yugo Setiyo, Manajer kampanye dan Advokasi Jikalahari. 0853 74856435