Delapan warga kampung di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rohil yang terkena dampak perubahan iklim di Provinsi Riau bersama Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), BT Telapak Riau dan Indonesia Centre Environmental Law (ICEL) resmi menggugat Presiden Republik Indonesia, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Riau di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hari ini di Jalan Gajah Mada No 17, Jakarta Pusat, hari ini, Senin 9 September 2013.
Dampak yang mereka alami berupa banjir minimal setahun sekali, musim tanam tidak menentu, sulitnya nelayan mencari ikan di laut hingga meningkatnya hama yang mengurangi hasil produksi pertanian.
“Paling parah kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi tiap tahun yang asapnya menggangu kesehatan, menyebabkan kami tak dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan aktivitas sehari-hari secara optimal,” kata M Yusuf, 69 tahun, dari Desa Serapung,Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan.
“Hutan tak ade lagi, banyaknya hewan-hewan liar yang masuk ke wilayah pemukiman. Kami merasa terancam ketika melakukan aktivitas keseharian,” kata Tarmidzi, 56 tahun, dari Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir.
Menurut mereka, sejak hadirnya perusahaan hutan tanaman industri yang telah menebang hutan alam dan merusak lahan gambut berdampak pada kehidupan dan mata pencaharian mereka.
Pada 2013, kebakaran hutan besar-besaran telah terjadi di Provinsi Riau terutama di hutan bergambut yang rentan terhadap kebakaran. Api membakar daun, semak, dan pohon yang kering yang meranggas dan asap tebal yang timbul mengganggu penglihatan serta pernafasan masyarakat sekitar. Kebakaran hutan membuat masyarakat yang tinggal tak jauh dari lokasi kebakaran merasa cemas dan panik. “Karenanya, pemerintah sebagai penyelenggara Negara harus melakukan fungsi pengaturan, pengelolaan dan penegakan hukum terhadap tindakan yang dilakukan oleh siapapun,” kata Muslim.
Menurut Jikalahari dan BT Telapak Riau, telah terjadi kerusakan lingkungan berupa gambut dan hutan karena konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan kebun kayu (Hutan Tanaman Industri) dengan cara penebangan dan pembakaran hutan. Ditambah Riau mengalami suhu tertinggi sepanjang 30 tahun yaitu 37 derjat celcius, “akibat dari pembakaran hutan yang terjadi secara besar-besaran,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Data Bappenas tahun 2011 menyebut dalam 25 tahun terakhir, Riau kehilangan lebih dari 4 juta hektar (65 persen) tutupan hutan alam. Tutupan hutan di tanah mineral dan hutan gambut, masing-masing seluas 3,2 juta hektar pada tahun 1982, kini tersisa 0,8 juta hektar hutan di lahan mineral dan sekitar 1,4 juta hektar hutan gambut. Hutan alam tersisa di provinsi Riau sekitar 2.254.188 ha atau 25 persen dari jumlah luas daratan Riau dan hampir 50 persen dari hutan yang hilang adalah hutan rawa gambut.
Jikalahari merinci, kebakaran lahan yang terjadi setiap tahun karena gencarnya pengalihan fungsi kawasan hutan. Luas lahan kritis di Riau di luar kawasan hutan hampir merata di 11 kabupaten dan kota di Riau. Hutan yang paling kritis berada di wilayah Kabupaten Inhil seluas 834.068 hektare, Kampar seluas 531.670 hektare, Bengkalis seluas 472.473 hektare dan Rohil seluas 454.825 hektare.
Menurut Susanto Kurniawan dari BT Telapak Riau, salah satu faktor terbesar terjadinya perubahan iklim karena ulah manusia, salah satunya pembukaan hutan dan rawa gambut. “Namun dominasi sumber Gas Rumah Kaca Indonesia berasal dari sektor perubahan tata guna lahan, kehutanan, energi, dan pembakaran tumbuhan.”
Padahal ekosistem gambut memiliki peranan penting sebagai pengendali iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon. Sekitar 120 giga ton karbon atau sekitar 5 persen dari seluruh karbon terestrial global tersimpan di kawasan gambut. “Kerusakan yang terjadi di kawasan gambut menyebabkan hilangnya karbon ke udara yang menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global,” kata Resa Radition dari ICEL.
Delapan warga bernama Nasir, Zaini Yusu, M Yusuf, Luk Priyanto, Amran, Basir (Pelalawan) bersama warga dari Azraid dan Tamidzi dari Rokan Hilir. Penggugat memberi kuasa pada 20 Juli 2013 kepada Ulung Purnama SH, Nur Hariandi SH, MH, Edy Halomoan Gurning SH, Suryadi SH dan Hotman Parulian Siahaan SH. Para Advokat tergabung dalam Tim Advokasi Perubahan Iklim Riau beralamat di Jalan Dempo II No 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Gugatan ini bernama gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme gugatan warga Negara (citizen lawsuit),”kata Suryadi, SH. Salah satu dasar gugatan citizen lawsuit Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup pada Bab IV Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan dimana Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/ Actio Popularis) menjadi salah satu hak gugat yang diakui.
Menurut Suryadi tergugat telah telah lalai melaksanakan tanggungjawab sehingga memicu pemanasan global dan perubahan iklim di Provinsi Riau. “Mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil terhadap seluruh warga Provinsi Riau yang terkena dampak perubahan iklim. Presiden RI ikut bertanggungjawab atas perbuatan Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Riau yang memberikan izin serampangan,” kata Suryadi.
Penggugat menilai Presiden RI, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Riau telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa menerbitkan izin usaha untuk tanaman industri atau IUPHHKHT di atas hutan alam dan di atas lahan gambut.
Menhut mengeluarkan IPUHHK-HT bukan di kawasan hutan produksi, melainkan di kawasan hutan alam yang harus dipertahankan keberadaannya, karena termasuk ke dalam kawasan lindung, sebagaimana tercantum pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 jo. PP No. 38 Tahun 2007.
Menteri Kehutanan juga telah melanggar Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 3 jo. Pasal 4 dan Kepmenhut No. SK.101/Menhut-II/2004 jo. Permenhut No. P.23/Menhut-II/2005 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2005 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman Untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu Pasal 4 ayat (5). ” Areal hutan alam yang harus dipertahankan berada di Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 (tiga) meter.”
Salah satu kebijakan IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Menhut terdapat di salah satu kawasan lahan gambut di Riau, yaitu di Semenanjung Kampar. “Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 menyebutkan hutan gambut yang terdapat dalam wilayah Semenanjung Kampar merupakan kawasan lindung gambut yang dilindungi.”
Menteri Lingkungan Hidup dinilai memiliki komitmen rendah dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena tidak segera membentuk pengaturan teknis berupa Peraturan Menteri terkait dengan inventarisasi Gas Rumah Kaca.
Kelalaian Gubernur Riau, tidak menganggarkan Strategi Implementasi Rad-GRK, meski Gubernur telah membuat dokumen RAD-GRK, namun pada BAB V Dokumen RAD-GRK tersebut terkait dengan Strategi Implementasi RAD-GRK tidak dianggarkan di dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2013 Provinsi Riau. “Gubernur Riau tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan peraturan yang telah dibuatnya sendiri yakni Pasal 6 ayat 1 Peraturan Gubernur nomor 77 Tahun 2012 Tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Provinsi Riau,” kata Suryadi.
Delalan warga menuntut agar majelis hakim menunda berlakunya IUPHHK-HT pada lahan gambut di Provinsi Riau, melakukan penataan ulang izin IUPHHK-HT di Provinsi Riau, melakukan inventarisasi Gas Rumah Kaca dan membentuk Peraturan Menteri sebagaimana yang diamanatkan dalam Perpres Inventarisasi GRK ,”serta mengalokasikan dana Strategi Implementasi RAD-GRK oleh Gubernur Provinsi Riau di dalam APBD terhitung tahun anggaran sejak putusan telah memiliki kekuatan hukum tetap,” kata Suryadi.
Agar terwujud peradilan bersih dan jujur,“kami mendorong agar Ketua Pengadilan menetapkan Majelis Hakim yang bersertifikasi lingkungan hidup yang berada di PN Jakarta Pusat dalam menangani perkara lingkungan hidup ini,” kata Suryadi.