Analisis Kebijakan Bebas Deforestasi danKomitmen NDPE dalam Rantai Nilai Pulpdan Kertas Indonesia
Kata Pengantar
Perlakuan Istimewa atas Nama Investasi Komoditas Pulp dan Kertas
Suatu hari di penghujung 2019, Bongku bin Jelodan menebang 20 batang kayu akasia di dalam konsesi PT Arara Abadi. Saat Bongku menebang pohon akasia, karyawan PT Arara Abadi melaporkan Bongku ke Polisi. Polisi menetapkan Bongku sebagai tersangka. Tak lama berselang, Jaksa Penuntut Umum melimpahkan berkas kasus Bongku ke Pengadilan.
Bongku dijadikan terdakwa. 18 Mei 2020, Majelis Hakim PN Bengkalis menghukum Bongku setahun penjara dan denda Rp 200 Juta. Bongku menebang akasia itu untuk ditanami ubi menggalo. Areal yang ditebang oleh Bongku adalah milik masyarakat adat Sakai, termasuk yang ada dalam areal konsesi PT Arara Abadi; Bongku adalah masyarakat adat Sakai.
Keterangan Usman Marzuki dan Sudarta sebagai saksi dalam perkara Bongku menyatakan bahwa di lokasi atau areal yang dikuasai oleh Bongku saat itu tidak ada hak ulayat, tidak ada peta lahan ulayat dengan lokasi itu tidak terdaftar pada Dinas Kehutanan Bengkalis maupun di peta lahan milik PT Arara Abadi. Marzuki adalah anggota pengamanan dan Sudarta adalah Koordinator Planning Survei PT Arara Abadi Distrik Duri II.
Keterangan saksi ini bertentangan dengan fakta bahwa keberadaan wilayah adat masyarakat Sakai telah diakui di dalam Rencana Program Jangka Panjang (RPJP) Kabupaten Bengkalis Tahun 2005-2025 pada poin “2.1.4.4. Kebudayaan” yang menerangkan bahwa di Kabupaten Bengkalis terdapat suku asli yang mendiami pesisir pantai dan kawasan hutan yang kehidupannya masih sederhana, seperti Suku Sakai, Suku Laut, Suku Akit, Suku Bonai dan Suku Hutan dan dalam hal ini Pemerintah Bengkalis telah melakukan pembinaan setiap tahunnya.
Keterangan saksi Usman dan Sudarta itu bertentangan dengan RPJP Bengkalis 20052025; Perda 10/2015 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya; Perda 10/2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Permen LHK P21/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak termasuk Putusan MK 35/PUU-X/2012 dan Putusan MK 95/PUU-XII/2014 secara gamblang menyebut, hukum telah mengakui keberadaan hak ulayat maupun wilayah masyarakat hukum adat.
Secepat kilat proses peradilan Bongku diputuskan oleh penegak hukum. Polisi, jaksa dan majelis hakim tidak memperhatikan fakta bahwa Bongku adalah masyarakat adat; di saat putusan Mahkamah Konstitusi dan produk hukum lainnya, termasuk Permen dan Perda telah hadir mengakui dan melindungi masyarakat adat. Penegak hukum selalu memberi perlakuan khusus kepada korporasi yang punya investasi besar.
Kriminalisasi terhadap Bongku menjadi salah satu perhatian Prof Hariadi Kartodihardjo. Beliau melakukan protes melalui tulisan, bahkan berkalikali mengkritik secara luas kebijakan pemerintah yang memberi keistimewaan kepada korporasi dibanding kepada masyarakat adat, atas nama investasi. “Membunuh serangga itu terlarang karena menghilangkan nyawa makhluk yang punya hak hidup. Tapi jika membunuh serangga memakai insektisida yang masif dengan tujuan melindungi tanaman, justru akan dilindungi undang-undang. Maka, hukum formal membolehkan menghukum masyarakat adat yang menebang satu pohon untuk hidup mereka, perusahaan yang menebang ribuan pohon dilindungi karena punya tujuan investasi.”
Investasi atas nama korporasi di sektor kehutanan selalu mendapat perlakuan khusus dari Pemerintah melalui proses legalitas saat pemberian izin konsesi tanaman industri untuk pulp and kertas. Di balik penerbitan dokumen legal perizinan tersebut ada deforestasi yang berkelindan dengan korupsi, pencucian uang, pengemplangan pajak, perusakan dan pencemaran lingkungan hidup, pembabatan hutan alam, perusakan dan perampasan hutan, tanah gambut, konflik sosial hingga penghancuran habitat satwa dan flora.
Kemudahan dan perlakuan khusus tak sampai di situ, kajian ini juga menemukan kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah atas komoditas pulp and kertas berupa pembebasan pajak pajak hingga pembebasan bea ekspor. Dalam rantai yang lain, industri pulp dan kertas juga mendapat pembiayaan cukup besar dari berbagai lembaga keuangan, baik dalam bentuk kredit maupun investasi, dari dalam maupun luar negeri.
Tanah air kita telah menyediakan modal sangat besar dan murah bagi tercukupinya kebutuhan dunia atas pulp dan kertas: lahan yang luas, hutan yang makin terancam keberadaannya; namun para penyandang dana pada sektor inipun masih buruk kebijakannya dari sisi lingkungan, sosial dan tata kelola.
Kajian ini awalnya hendak melihat rantai perizinan konsesi PBPHT dari hulu hingga hilir (rantai perizinan) yang selalu mendapat perlakuan khusus oleh pemerintah. Dalam perkembangannya, berdasarkan beberapa saran dan masukan dari berbagai pihak; dirasa perlu memperluas cakupan pembahasannya hingga membahas ekspor dan pembiayaan; seiring dengan satu dekade usia Deklarasi Hutan New York; di mana Pemerintah, beberapa perusahaan dan lembaga adat serta organisasi masyarakat sipil Indonesia menjadi pendukungnya.
Ada peluang baru dari akan berlakunya Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Secara umum kajian ini telah memotret problem koordinasi antar kementerian, terutama dalam memaknai keberlanjutan yang dapat dibuktikan ketertelusurannya, terutama yang dapat menjadi wilayah kewenangan masing-masing kementerian tersebut.
Saya menghaturkan terima kasih kepada peneliti dalam kajian ini: Rahmawati Retno Winarni, Larasati Prawitasari dan Ahmad Mubarok serta Aurel Leia Dewi. Terkhusus dan teristimewa, apresiasi yang tertinggi saya sampaikan untuk almarhum Prof. Hariadi Kartodiharjo (Prof. HK) melalui yang memberikan kritik dan catatan bagi kajian ini. Hingga saat ini saya belum sanggup memberikan penghormatan terakhir untuk beliau. Entah mengapa, saya masih merasa dapat bertemu dengan beliau untuk berdiskusi, mengkritik kebijakan pemerintah, bercanda sambil sesekali minum kopi – meski setahun terakhir ini sudah jarang dilakukan – lantas saya akan menikmati tulisan beliau di Forest Digest.
Barangkali, hadirnya kajian ini dapat menjadi penghormatan kecil bagi Prof. HK.