Pandemi Corona Virus Disease 2019 atau disingkat COVID-19 benar-benar telah mengubah hiruk pikuk kehidupan manusia. Hampir seluruh manusia di dunia dipaksa untuk ikut berpikir dan bertindak untuk menghadapinya. Bagaimana tidak, COVID-19 telah menginfeksi 1.925.179 orang di 210 negara di seluruh dunia, 119.699 diantaranya meninggal dunia (www.worldometers.info: 14 April 2020).
Tempat saya bekerja pun tidak bisa mengabaikannya. Per 19 Maret 2020, kantor mengambil kebijakan manajemen dan staf bekerja di rumah. Bagi staf yang harus ke kantor, wajib mengikuti protokol kesehatan pencegahan COVID-19.
Di balik kepanikan manusia yang terus dipupuk dengan informasi menyeramkan di media sosial dan media konvensional, terdapat kabar baik. Ada pemulihan lingkungan semasa pandemi COVID-19.
Menurut Antara Banerjee, seorang peneliti di Universitas Colorado Boulder, lapisan ozon mengalami pemulihan. Hal ini diketahui berdasarkan data dari pengamatan satelit dan simulasi iklim, terkait temperatur atmosfer, cuaca dan tingkat curah hujan. Pihaknya menemukan tanda-tanda adanya perubahan iklim di belahan Bumi selatan, khususnya dalam pola sirkulasi udara. Kondisi ini terjadi karena berkurangnya penggunaan zat kimia chlorofluorocarbon (CFC) secara global, terlebih tak adanya aktivitas industri selama pandemi corona.[1]
Begitu juga yang dikatakan Wade McGilis, profesor bidang teknik lingkungan Columbia University. Setidaknya, menurut dia, ada 3 perubahan positif terjadi. Pertama, polusi udara berkurang, kedua emisi karbon turun dan ketiga, bumi jadi lebih indah dengan flora dan fauna. Namun McGilis khawatir manusia akan lupa begitu saja dengan keajaiban alam yang memulihkan diri. Begitu wabah COVID-19 berlalu, mereka akan kembali membabi buta mengeksploitasi dan merusak alam.[2]
Dari dua studi di atas dapat disimpulkan perubahan positif berangsur pulihnya lapisan ozon sebagai pelindung bumi dan meningkatnya keanekaragaman hayati, diakibatkan berhentinya tindakan manusia merusak dan mencemari lingkungan.
Penghentian sebagian besar industri secara serentak akibat pandemic COVID-19 menyebabkan pencemaran udara menurun, begitupun pencemaran udara dari transportasi manusia berkurang secara nyata akibat banyak negara menerapkan lockdown dan pembatasan sosial lainnya, barangkali termasuk kebijakan di tempat kerja saya.
Hal tersebut secara terang menjelaskan bahwa penghentian perusakan dan pencemaran jauh lebih efektif dibandingkan upaya dan kebijakan pemulihan yang digaungkan oleh para pemerintahan negara-negara di dunia. Misalnya saja Paris Agreement atau Kesepakatan Paris yang diadopsi di Conference of Party (COP) 21. Paris Agreement yang bertujuan untuk membatasi kenaikan temperatur global di bawah 2°C dan disepakati oleh 195 negara.
Indonesia meratifikasi Paris Agreement COP 21 ke dalam UU 6 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim)
Dalam UU tersebut, Indonesia pada periode pertama, target NDC Indonesia adalah mengurangi emisi sebesar 29 % dengan upaya sendiri dan menjadi 41 % jika ada kerja sama internasional dari kondisi tanpa ada aksi (business as usual) pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, dan pertanian.
Di Indonesia, pada 2019 malah terjadi kebakaran hutan dan lahan yang mengakibatkan bencana kabut asap di sebagian wilayah indoneisa. Dampaknya terjadi pelepasan carbon ke udara sebesar 709 juta ton menurut Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) Uni Eropa. Jumlah ini setara dengan emisi buangan karbon dioksida tahunan negara Kanada juga 22 persen lebih tinggi dibanding emisi karbon dioksida yang dihasilkan dari kebakaran hutan Amazon, yakni 579 juta ton karbon dioksida.
Kegagalan upaya manusia menekan pemanasan global, khususnya di Indonesia disebabkan kebijakan yang diambil masih sebatas upaya kecil berdampak kecil pula, namun disisi lain perusakan yang dilakukan oleh industri tetap berjalan. Bahkan dengan perjanjian yang disepakati oleh 195 negara dan diratifikasi menjadi Undang-undang di 141 negara termasuk Indonesia, selama 4 tahun terakhir belum menunjukan perubahan yang signifikan.
Pada 2019 saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menyegel 90 korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan HGU pelaku karhutla di seluruh Indonesia. Sayangnya, pelaku perusakan tetap saja bebas dari hukuman dan kepentingan bisnisnya terus difasilitasi oleh negara.
Lihat saja di Riau pada 2016, Polda Riau menerbitkan SP3 untuk 15 korporasi pelaku karhutla 2015 terdiri 11 perusahaan HTI dan 4 perkebunan kelapa sawit. Padahal asap yang ditimbulkannya begitu hebat. Ada 5 warga Riau meninggal dan lebih dari 90 ribu warga menderita ISPA.
Artinya, pemulihan fungsi lingkungan hidup dan penurunan pemanasan global tidak akan terwujud hanya dengan upaya-upaya pemulihan seremonial, perjanjian-perjanjian namun harus secara tegas menghentikan perusakan dan pencemaran lingkungan oleh para korporasi pelaku industri.
Negara harus berani mengakui kegagalan dari upaya pemulihan lingkungan hidup dan menjadikan fenomena pandemic sebagai peajaran serta harus berani menjalankan peran “COVID-19” dalam menghentikan perusakan dan pencemaran lingkungan untuk menjamin keselamatan generasi sekarang dan yang akan datang.
*Catatan ini ditulis oleh Okto Yugo Setyo
Wakil Koordinator Jikalahari dan dipublikasikan di blog pribadinya.
Catatan ini ditulis pada Senin, 13 April 2020.