Pekanbaru, 3 Juli 2019— Jelang penabalan pemberian gelar Adat Datuk Sri Setia Amanah untuk Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Jikalahari merekomendasikan kepada LAM Riau agar menitahkan Gubri mempercepat menerbitkan kebijakan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, mempercepat hutan adat dan merevisi kebijakan terkait masyarakat adat. “Ruang masyarakat hukum adat juga harus masuk dalam RPJMD perubahan dan Konsep Riau Hijau yang sedang dicanangkan oleh Gubri Syamsuar. Oleh karenanya perlu koreksi kebijakan dan terobosan cepat yang musti dilakukan Gubri,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Pertama, bersama masyarakat hukum adat mengusulkan penambahan hutan adat di Propinsi Riau dari yang dialokasikan oleh Menteri LHK seluas 251,75 hektar. Per 29 April 2019, Menteri LHK menerbitkan PermenLHK Nomor P.21/Menlhk/Setjen/Kum.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Permen ini memberi ruang pada masyarakat hukum adat untuk mengusulkan peta indikatif hutan adat.
”Ini terobosan yang dilakukan KLHK berupa mengakui peta indikatif yang belum definitif. Masyarakat hukum adat segera siapkan peta wilayah indikatif hutan adat, mumpung peta indikatif diakui oleh pemerintah, meski akan diverifikasi sebelum menjadi definitif peta wilayah hutan adat. Wilayah ada yang selama ini dituturkan secara lisan atau bahkan ada yang sudah terhimpun dalam bentuk tulisan, segera diinventarisir untuk diajukan menjadi peta indikatif,” kata Made Ali.
Namun, Perda ini perlu gerak cepat, sebab mesti ada Perda pengakuan masyarakat hukum adat yang di dalamnya melampirkan peta wilayah adat. “Karena membuat Perda butuh proses lama, Gubernur Riau punya cara cepat, yaitu menerbitkan Pergub sebagai peraturan pelaksana dari Perda No 14 Tahun 2018,” kata Made Ali.
Kedua, Gubernur Riau segera menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) atas perintah Perda No Perda Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pedoman Pengakuan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), berupa, pertama Pergub tentang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat dalam PPLH[1]. Kedua, Pergub tentang mekanisme mencegah hilangnya, bentuk pemindahan dan konflik masyarakat hukum adat[2]. Ketiga, Pergub mekanisme penyelesaian sengketa melalui musyawarah adat[3].
Perda 14/2018 terbit pada 22 Mei 2018 dan memerintahkan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan propinsi Riau menyusun peraturan pelaksana sejak Perda diundangkan. “Lebih dari setahun Dinas LHK tidak bekerja menyiapkan peraturannya. Gubernur Riau perlu mereformasi birokrasi di Dinas LHK sebagai salah satu 10 program kerja dalam 100 hari,” kata Made Ali. “Yang pertama harus diterbitkan adalah Pergub tentang pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Kalau Pergub ini terbit lengkap dengan lampiran wilayah adatnya, proses hutan adat bisa cepat terealisasi.”
Ketiga, Gubernur Riau segera merevisi Perda 10 tahun 2018 tantang RTRWP Riau 2018-2038 karena Pola Ruang budidaya hutan adat hanya mengalokasikan 470,63 hektar. “Sejauhmana komitmen Gubernur Riau bersedia merevisi Perda RTRWP Riau? Jalan ini harus ditempuh untuk memberi ruang pada masyarakat hukum adat,” kata Made Ali.
Temuan Jikalahari, masyarakat di 7 kenegerian di Kabupaten Kampar telah mengusulkan hutan adat seluas 10.318,5 hektar yang terdiri dari 641 hektar hutan adat di Desa Batu Songgan, 4.414 hektar di Desa Gajah Bertalut, 251 hektar di Desa Petapahan, 1827 hektar di Desa Aur Kuning, 767 hektar di Desa Terusan, 156,8 hektar di Desa Kampa dan Desa Koto Perambahan serta 1871,7 hektar di Desa Bukit Melintang.
Penabalan gelar adat ini ditaja pada 6 Juli 2019 pukul 09.00 di Balairung Tennas Effendi Balai Adat Melayu Riau. Kegiatan penabalan gelar adat tahun ini dilaksanakan bersamaan dengan delapan kegiatan lainnya bersamaan Milad ke 49 tahun LAM Riau[4].
“Kerusakan dan pencemaran hutan tanah wilayah masyarakat adat di Riau yang dilakukan oleh korporasi Hutan Tanaman Industri, Perkebunan kelapa sawit dan tambang penyebab utama perubahan iklim. Masyarakat adat salah satu aktor yang dapat mengurangi emisi dari perubahan iklim. Dan itu perintah konstitusi,” kata Made Ali merujuk UU No 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris atas konvensi kerja PBB bidang perubahan iklim pada, komitmen nasional untuk menurunkan emisi bersumber dari pelestarian hutan, energi terbarukan, dan peran serta masyarakat lokal dan masyarakat adat dalam pengendalian perubahan iklim yang selama ini diperjuangkan oleh Indonesia.
Narahubung:
Made Ali, Koordinator Jikalahari 081275311009
Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 634
[1] Pasal 4
[2] Pasal 10
[3] Pasal 12
[4] http://harian.analisadaily.com/riau/news/gubri-dan-wakil-akan-terima-gelar-adat/751673/2019/06/18