Oleh Okto Yugo Setyo dan Nurul Fitria
KETEGANGAN Menguar di udara. Sekitar 200 pria berseragam lengkap—memakai helm, pentungan, perisai dan tertulis satuan Polisi Resor Indragiri Hilir (Polres Inhil)— melangkah masuk ke rumah-rumah dan mendobrak pintu. Laras panjang di tangan tak lepas dan tak segan untuk ditodongkan kearah siapa saja yang menghalangi jalan mereka. Satu persatu pintu dibuka—secara paksa—dan menyuruh penghuni di dalamnya keluar—ditarik paksa—menuju lapangan terbuka. Teriakan dan tangisan menghiasi hari mereka. Warga Desa Pungkat.
Satu persatu nama warga dicek. Jika nama yang dicari tak ditemukan, pasukan berseragam mendatangi kediaman nama yang tengah dicari. Ancaman dari pasukan berseragam ini terngiang-ngiang di telinga warga. Jika orang-orang yang mereka cari tak segera menyerahkan diri, akan lebih banyak aparat yang mendatangi Pungkat. Para istri dari orang yang tak ditemukan hari itu menerima ancaman, jika suaminya tak menyerahkan diri, istrinyalah yang akan dibawa ke kantor polisi. Hari itu menjadi hari tak terlupakan bagi seluruh warga Pungkat, 6 Agustus 2014.
Begitulah gambaran suasana yang dikisahkan oleh seorang perempuan warga Desa Pungkat, Kecamatan Gaung Kabupaten Indragiri Hilir. Menggunakan kerudung, perempuan berusia 47 tahun ini berkisah tentang keributan yang terjadi di kampung halamannya.
MASNIAR seperti perempuan kampung kebanyakan. Ia seorang ibu rumah tangga yang punya usaha kecil—membuka warung menjual kebutuhan harian—di rumah dan juga bekerja sebagai petani. Pinang dan kelapa jadi komoditas utama warga Pungkat untuk dikelola dan diolah. Suaminya, Very Azhary bekerja menjual hasil bertani mereka serta membuka bengkel. Hasil penjualan ia simpan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari serta sekolah anaknya, Dalvi Aprianisma yang kini jadi mahasiswa di Universitas Islam Indragiri Hilir.
Kehidupan warga Pungkat mulai berubah pada 2013. Ketika mereka tahu ada aktifitas perusahan sawit yang tergabung dalam First Resources Group, PT Setia Agrindo Lestari (SAL) di kampung halaman mereka.
PT SAL memperoleh izin lokasi dari Bupati Indragiri Hilir, Indra Mukhlis Adnan pada 2013 seluas 17.095 hektar. Persoalannya, perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Perihal penyusunan AMDAL yang seharusnya melibatkan masyarakat pun tak pernah dilakukan. Saat perusahaan mulai melakukan aktifitas, barulah masyarakat tahu. Setelahnya masyarakat serempak melakukan penolakan.
Penolakan dilakukan karena kebun kelapa, pinang serta hutan Desa Pungkat masuk dalam areal PT SAL. Padahal kebun serta hutan tersebut menajdi sumber penghidupan warga, terutama kayu di hutan diambil untuk dijadikan bahan pembuatan kapal. Ratusan warga Pungkat protes. Mereka meminta perusahaan menghentikan aktifitas dan menyelesaikan persoalan dengan warga terlebih dahulu. Namun tak ada tanggapan positif dari perusahaan.
Menurut Masniar, banyak persoalan yang muncul dengan adanya PT SAL di kampung halamannya. Selain menyebabkan hilangnya lahan perkebunan mereka, kehadiran perusahaan juga menyebabkan kualitas perkebunan kelapa menurun. Hal ini karena pembuatan kanal PT SAL yang tak dikelola dengan baik membuat air sungai yang menjadi sumber pengairan untuk kebun kelapa serta memenuhi kebutuhan sehari-hari warga—terutama untuk minum—menjadi kering. Warga terpaksa membeli air galon untuk minum setiap hari seharga Rp 20 ribu. “Perusahaan ini juga tumbang hutan-hutan alam tempat kumbang hidup, sekarang kumbang ini menyerang kebun kelapa kami,” keluh anak bungsu kedua dari 12 bersaudara ini. Akibat tindakan PT SAL, kumbang menjadi hama bagi warga yang bertani kelapa. Warga Pungkat semakin gencar menolak kehadiran perusahaan.
Warga tak putus asa. Mereka mengadu ke DPRD Inhil, Bupati, Komandan Rayon Militer (Dandramil) bahkan ke Polres Inhil. Beberapa kali pertemuan diadakan untuk memperoleh penyelesaian dengan PT SAL. “Saya dan ibu-ibu lainnya juga ikut demo ke Bupati. Minta supaya perusahaan izinnya dicabut saja,” ujar anak dari pasangan Dahlan MS dan Esah ini. Hasilnya, DPRD, Bupati dan Babinsa Pungkat menandatangani kesepakatan dengan warga bahwa aktifitas perusahaan akan dihentikan sementara hingga konflik terselesaikan. Namun perusahaan melanggar kesepakatan tersebut dan tetap melakukan aktifitas.
Warga berang. Persoalan belum selesai. Kesepakatan untuk menghentikan sementara aktifitas tak dihiraukan PT SAL. Hasilnya pada 17 Juni 2014, duapuluh satu warga Pungkat—para pemuda serta lelaki dewasa Desa Pungkat—mengambil tindakan. Mereka membakar alat berat PT SAL di Parit 9 dan Parit 10 Pinang Seribu, Desa Belantaraya. Ada 9 eskavator, dua pondok dan satu unit mesin las yang mereka bakar. Tak ada korban jiwa. Namun dari sinilah teror bagi warga Pungkat dimulai.
Duapuluh satu warga Pungkat dicari oleh aparat. Sayangnya tindakan yang dilakukan aparat dalam menangkap warga dinilai tidak sesuai prosedur. P
asalnya tidak ada surat perintah penangkapan yang ditunjukkan serta tindakan yang dilakukan menimbulkan berbagai dampak negatif bagi warga. Terutama tekanan psikologis. Koalisi untuk Keadilan Ekologis—gabungan Masyarakat Peduli Inhil, WALHI Riau, Jikalahari dan Riau Corruption Trial—bahkan melaporkan tindakan aparat ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Dua dari 21 orang yang ditangkap merupakan keponakan Masniar, Handales dan Jumarli, anak dari kakak perempuannya, Asmidar. Keduapuluh satu warga Pungkat telah menjalani masa hukumannya. Pada 18 Desember 2014 Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Tembilahan memutuskan para terdakwa divonis penjara selama 6 bulan.
Masniar merasa prihatin dengan keadaan keponakan serta warga Pungkat lainnya yang harus menjalani hukuman demi membela hak mereka. Ia meneguhkan hatinya untuk berjuang membela hak-hak warganya. “Saya tak mau kalau sumber nafkah warga Pungkat ini dirampas,” katanya. Ia juga menekankan agar masyarakat jangan mau bekerja untuk perusahaan, “jangan sampai kita jadi kuli di kampung kelahiran kita sendiri.”
Masniar membuat gerakan untuk memberdayakan para perempuan Pungkat. Ia membuat Kelompok Perempuan Pungkat Bersatu. Tujuannya untuk mengatasi ketakutan pasca ‘kehadiran’ para aparat. “Banyak yang trauma karena kejadian itu, karena itu kelompok ini dibuat agar me
reka ‘kembali beraktifitas seperti semula’ seperti sebelum kejadian,” ungkap Masniar.
Kegiatan kelompok ini beragam, mulai dari membuat kerajinan yang dapat dijual untuk membantu perekonomian keluarga serta penyuluhan-penyuluhan untuk meningkatkan rasa peduli terhadap kesehatan dan keluarga. Hingga saat ini, Kelompok Perempuan Pungkat Bersatu rutin melakukan pertemuan sekali seminggu dan berbagai kegiatan yang dinilai dapat memberikan manfaat pada masyarakat.
Masniar berharap agar izin PT SAL dapat segera dicabut. Sehingga masyarakat dapat hidup tenang tanpa dihantui rasa cemas. Tidak lagi ada konflik dan ancaman dari pihak perusahaan kepada warga, sehingga warga bisa menyekolahkan anak-anaknya dengan tenang. “Kami senang hidup di kampung ini. Walaupun tak kaya, kami sangat nyaman. PT SAL datang kesini justru membuat masyarakat dihantui trauma, ketakutan serta perpecahan.”#
Perlawanan rakyat atas kesewenangan pengelolaan sumberdaya alam seringkali dianggap sebagai ancaman stabilltas negara, sehingga rakyat kerap menjadi pihak yg mudah di kriminalisasikan dan pihak yg bersalah.