Pekanbaru—Senin 6 Mei 2013. JKPP, Jikalahari, LBH Pekanbaru, STR, riaucorruptiontrial dan Narasi Pokja Riau tergabung dalam SAKSI menilai Menhut RI dan PT RAPP telah melakukan perbuatan melawan hukum, mengintimidasi masyarakat, dan mengkriminalisasi petani aktifis lingkungan dan agraria di Pulau Padang, Kabuparen Kepulauan Meranti, Propinsi Riau, empat tahun terakhir ini.
Konflik antara masyarakat dengan PT RAPP terjadi sejak Menhut menberitkan SK 327 tahun 2009. SK 327 tahun 2009 memberi tambahan areal seluas 115.025 hektar kepada PT RAPP, seluas 45.205 hektar di antaranya ada di Pulau Padang– Izin itu tersebar di Kubupaten Kampar, Singingi, Siak, Pelalawan dan Bengkalis. Izin itu diberikan oleh Menhut MS Kaban detik-detik dirinya lepas dari Kabinet SBY periode pertama. SK ini kemudian berbuntut panjang dengan pecahnya konflik antara masyarakat dengan PT RAPP.
Sudah 64 kali masyarakat melakukan aksi protes kepada Menhut agar mengeluarkan PT RAPP di Pulau Padang, “Lantaran tanah, kebun pertanian, rumah masyarakat dan desa masuk dalam konsesi PT RAPP,” kata Pairan.
Sejak dua pekan ini, warga Pulau Padang melaporkan: setidaknya 40 unit alat berat milik PT RAPP sudah beroperasi di Sungai Hiu Desa Tanjung Padang, dan 3 unit alat berat di Desa Lukit, Senalit, Kecamatan Merbau. Tiga ponton berisi kayu alam hasil tebangan juga berada di Senalit. (lihat video: http://www.youtube.com/watch?v=2XeD6PFsT-U).
Fakta di atas menunjukkan PT RAPP sudah diberi izin oleh Menhut untuk kembali beroperasi. Sejak 3 Januari 2012 Menhut menghentikan sementara seluruh kegiatan pemanfaatan hutan oleh perusahaan di Pulau Padang sampai dengan adanya pemberitahuan lebih lanjut.
“Namun belum ada surat pemberitahuan lebih lanjut dari Menhut RI bahwa PT RAPP di Pulau Padang boleh beroperasi,” kata Pairan, Ketua STR Pulau Padang. “Kalau pun Menhut sudah mengizinkan PT RAPP beroperasi, itu berarti Menhut telah melanggar salah satu tahapan penyelesaian Konflik Pulau Padang yang menjadi solusi Menhut. Salah satunya masyarakat sedang melakukan pemetaan wilayah kelola yang masuk dalam konsesi PT RAPP. Hasil petanya belum selesai. Inti pemetaan, kebun dan rumah masyarakat yang masuk dalam konsesi wajib dikeluarkan,” kata Akhwan Binawan dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), yang mendampingi masyarakat Pulau Padang melakukan pemetaan sejak PT RAPP berhenti beroperasi.
Pada 2011 Tim bentukan Menhut bernama Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau ( SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011) memberikan dua opsi rekomendasi Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari area konsesi atau Revisi Keputusan Menteri Kehutanan No 327/Menhut-II/2009 dengan mengurangi luasan IUPHHK-HTI blok Pulau Padang.
Menhut memilih opsi mengurangi luasan PT RAPP di Pulau Padang. Khusus opsi pilihan Menhut ada 10 detail kegiatan atau tahapan yang harus dilakukan oleh Menhut dan PT RAPP. Atas dasar itu Menhut lantas membentuk tim mediasi dan kerentanan gambut. “Setelah semua tahapan selesai, Menhut baru bisa merevisi SK 327 tahun 2009. Jika salah satu tahapan tidak selesai dilakukan, Menhut telah melanggar keputusannya sendiri,” kata Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari.
Sejak alat berat PT RAPP masuk di Pulau Padang, masyarakat resah lantaran kabar tersiar polisi akan memenjarakan masyarakat yang selama ini terlibat aksi menolak kehadiran PT RAPP.
Selain itu, juga mengkriminalisasi Petani dan aktifis lingkungan dan agraria. PT RAPP melaporkan ke Polisi dengan tuduhan M Ridwan “membunuh” subkontraktor PT RAPP pada 2011, namun Ridwan ditangkap penyidik sejak April 2013 jelang PT RAPP beroperasi.”Kenapa saat alat berat masuk ke Pulau Padang, penyidik tiba tiba saja mengkriminalkan aktifis Agraria dan Lingkungan Hidup? Kenapa tidak tahun 2011 lalu?” kata Suryadi, Direktur LBH Pekanbaru, yang juga Penasehat Hukum M Ridwan.
“Ingat tidak akan ada korban meninggal dan retaknya kerukunan masyarakat Pulau Padang kalau PT RAPP tidak masuk di Pulau Padang. Konflik terjadi di Pulau Padang karena kehadiran PT RAPP,” kata Pairan.
“Pembela Lingkungan Hidup tidak bisa dipidana. Itu perintah undang-undang,” kata Suryadi. UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 66 menyebut,”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secaca perdata.”
“Solusi terbaik saat ini agar masyarakat dan hutan terselamatkan, Presiden SBY harus segera memasukkan Pulau Padang dalam peta moratorium. Ini juga sesuai dengan komitmen SBY menurunkan emisi sebesar 26 persen,” kata Muslim.
Atas dasar penilaian SAKSI terhadap fakta di atas, SAKSI menuntut: Pertama, SBY mencabut SK 327 tahun 2009 atau mengeluarkan PT RAPP dari Pulau Padang. Kedua,PT RAPP dan Polisi menghentikan kriminalisasi terhadap pejuang agrarian dan lingkungan. Ketiga, Presiden SBY memperpanjang moratorium hutan alam. Keempat,Presiden SBY dan Satgas REDD+ memasukkan Pulau Padang dalam peta moratorium.
Kontak Person:
Pairan, Ketua STR Meranti. (085284320484)
Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari. (08127637233)
Suryadi, Direktur LBH Pekanbaru. (081268600253)
Akhwan Binawan, Direktur Hakiki-JKPP. (081277072909)