Oleh Emilio Godoy
MEKSIKO (IPS) – SEJUMLAH perusahaan akan mendorong perdagangan bebas produk dan jasa ramah lingkungan (green goods and services) saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20, yang beranggotakan negara-negara maju dan berkembang, di Meksiko.
“Ini akan menjadi agenda para investor,” kata Diana Aguiar, wakil dari Brazilian Network for the Integration of Peoples (REBRIP), kepada IPS. “Idenya, sumberdaya alam tak akan dilindungi jika tak ada sejumlah nilai (monetary value) yang dilekatkan padanya. Ini sungguh premis keliru. Mereka melihatnya sebagai bisnis.”
Sejumlah aktivis menghadiri KTT tandingan, People’s Summit, yang berlangsung 12 hingga 15 Juni di Kota Meksiko sebelum melanjutkannya di kota baratlaut La Paz hingga 19 Juni.
Forum masyarakat sipil ini dihadiri ratusan delegasi dari berbagai lembaga swadaya masyarakat Meksiko dan negara-negara anggota G20 lainnya, sementara para pemimpin mereka bertemu pada 18-19 Juni di Los Cabos, kota turis Pasifik di ujung selatan Semenanjung California Baja, Meksiko, di selatan La Paz.
Mengobarkan perdagangan bebas produk-produk ramah lingkungan atau berkelanjutan merupakan salah satu rekomendasi Korporasi 20 (B20) –perusahaan-perusahaan di blok G20– yang diajukan kepada negara-negara. Isu ini akan dibahas di KTT.
Dalam laporan setebal 102 halaman berisi rekomendasi satuan tugas B20, yang diperoleh IPS, para eksekutif bisnis memaparkan saran tentang ketahanan pangan, model pembangunan ramah lingkungan (green growth), tenaga kerja, perdagangan, investasi, teknologi dan inovasi, serta pembiayaan demi pertumbuhan dan pembangunan.
B20 berargumen, perdagangan bebas untuk produk-produk dan jasa ramah lingkungan akan mempercepat pemakaian teknologi hijau dan menimbulkan daya saing, inovasi, dan penciptaan lapangan kerja.
Dokumen itu juga merekomendasikan agar menaikkan harga karbondioksida (CO2) untuk mengubah pola dan keputusan investasi dan membantu mengurangi gas rumahkaca.
Untuk itu, para pemimpin G20 harus menjamin bahwa tujuan dan kebijakan nasional cukup ambisius guna menciptakan permintaan internasional yang selaras dengan satuan CO2, dan dengan demikian meningkatkan teknologi hijau, pertanian ramah iklim, dan efisiensi energi, demikian laporan itu.
Korporasi multinasional seperti Monsanto, Coca-Cola, dan Wal-Mart dari AS; Unilever dari Belanda; dan Nestle dari Swiss adalah perusahaan-perusahaan yang mewakili B20.
Selain negara-negara maju G8 –Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, Inggris, dan Amerika Serikat– G20 terdiri atas Argentina, Australia, Brazil, China, India, Indonesia, Meksiko, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, dan Uni Eropa.
Di Los Cabos, para presiden akan membahas isu seputar kebijakan terhadap krisis keuangan, ketahanan pangan, pembangunan berwawasan lingkungan, memerangi perubahan iklim, transparansi dan korupsi.
Negara-negara bukan anggota G20 juga diundang seperti Chile, Kolombia, Peru, dan Spanyol.
Sejumlah LSM yang berpartisipasi dalam People’s Summit mempertanyakan legitimasi G20, di mana Meksiko kini mendapat giliran menjabat ketuanya, dan menyatakan G20 mewakili “satu persen” dari tujuh milyar penduduk dunia.
Mereka menolak agenda KTT, yang lebih mendengarkan korporasi dan kepentingan keuangan ketimbang kebutuhan dan keprihatinan penduduk dunia.
“G20 dan B20 berhubungan erat, tapi tidak dengan LSM. Itu mencemaskan,” ujar Nancy Alexander dari Yayasan Heinrich Böll kepas IPS.
Alexander, direktur Program Tata Kelola Ekonomi di kantor Amerika Utara dari Yayasan berbasis di Berlin itu, juga mengatakan G20 tak fokus pada prioritas infrastruktur, model pembangunan ramah lingkungan, dan ketahanan pangan.
Alexander dan Aldo Caliari, direktur Rethinking Bretton Woods Project dari Center of Concern, sebuah lembaga nirlaba AS, dalam sebuah artikel bulan ini berjudul “Selected Highlights of B20 Draft Recommendations to the G20”, menyatakan bahwa “jika diterima oleh G20, banyak dari rekomendasi ini akan memiliki implikasi luas.”
Merujuk rekomendasi untuk menempatkan perdagangan dan investasi sebagai agenda permanen G20, dan mengadakan “pertemuan berkala para menteri perdagangan” yang akan menjadi “dialog berkelanjutan” dengan B20, mereka berkata hal itu akan mengabaikan 173 negara nonanggota G20. “Maka, bila para pemimpin menerima rekomendasi ini, itu akan melembagakan praktik-praktik negosiasi perdagangan yang eksklusif.”
People’s Summit menyelanggarakan seminar dan lokakarya terkait isu jender, energi, dan alternatif lain untuk G20, serta protes jalanan.
LSM-LSM itu menentang kebijakan penghematan yang diterapkan negara-negara industri Utara, yang memaksa pemotongan drastis anggaran pendidikan, kesehatan, dan bidang sosial penting lainnya, serta mendorong peningkatan jumlah pengangguran. Mereka terus mencari solusi mengenai pembangunan yang ramah lingkungan.
“G20 berada dalam krisis,” ujar Susana Sanz dari Gerakan 15 Mei (15M) di Spanyol, yang menggalang protes nasional untuk menentang respon pemerintah terhadap krisis ekonomi tahun lalu, kepada IPS. “G20 tak mewakili kita. Kebijakan publik yang dikembangkan melindungi kepentingan swasta. Kita membutuhkan demokrasi partisipatoris.”
Pemerintahan konservatif Meksiko, di bawah Presiden Felipe Calderón, menggariskan lima poin agenda di Los Cabos. Prioritasnya termasuk stabilitas ekonomi dan reformasi struktural demi pertumbuhan dan pekerjaan; konsolidasi struktur keuangan internasional; penyertaan keuangan untuk pertumbuhan ekonomi; penurunan harga dalam pasar komoditas; dan mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Namun apa yang terus menjadi perdebatan adalah krisis keuangan yang terjadi di AS pada 2007, menjalar ke Uni Eropa tahun lalu, dan sekarang menggilas masa depan euro dalam keraguan.
“Mereka terus mencari-cari ruang baru mengenai paket sistem keuangan, untuk menciptakan komoditas yang spekulatif,” ujar Aguiar dari Jaringan Brazil.
KTT G20 akan mengumumkan pembentukan sebuah blok yang akan mencakup lembaga-lembaga keuangan multilateral, bank swasta dan pembangunan, perusahaan, serta investor swasta dalam agenda B20 selama 36 bulan ke depan.
B20 mengusulkan pelruasan model kemitraan negara-swasta, terutama dalam pembangunan infrastruktur, yang kini sedang dicoba di sejumlah negara G20.
“G20 mempromosikan kebijakan di negara berpendapatan rendah, tapi mereka tidak diwakili maupun belum berkonsultasi dengan benar,” kata Alexander dari Yayasan Heinrich Böll.
Dalam artikel mereka, Alexander dan Caliari berpendapat “keterlibatan formal B20 dalam menilai kebijakan perdagangan dan investasi, sebagaimana diusulkan, akan memberikan akses bagi sektor bisnis transnasional dalam pengambilan keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya, mengabaikan pandangan berlawanan dari aktor-aktor nonpemerintah.”*
Translated by Fahri Salam
Edited by Budi Setiyono
Naskah ini dipublikasikan atas kerjasama Yayasan Pantau dan IPS Asia-Pasifik