Tuntutan KPK atas Petinggi Sinarmas Grup dalam OTT Kalteng Tidak Maksimal, Mengindikasikan KPK Setengah Hati Melawan Korporasi

PEKANBARU, 1 Maret 2019—Tuntutan 2,5 tahun Jaksa KPK terhadap petinggi Sinarmas Grup terdakwa Edy Saputra Suradja[1], Willy Agung Adipradhana[2] dan Teguh Dudy Syamsuri Zaldy[3] membuktikan KPK tidak berani melawan kejahatan korporasi korupsi sumberdaya alam.

“KPK mestinya menuntut maksimal. Namun, mengapa tuntutannya hanya 2,5 tahun, seolah-olah KPK hendak bertindak adil pada terdakwa. Siapa yang mengusulkan tuntutan 2,5 tahun? tentu saja komisioner KPK!” kata Made Ali. “Komisioner KPK kelihatan malu-malu, segan dan tidak serius menuntut maksimal pada petinggi korporasi. Padahal Komisioner KPK getol kampanye melawan kejahatan korporasi,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.

Pada 27 Februari 2019 JPU KPK menuntut para terdakwa di PN Tipikor Jakarta. Para terdakwa terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Pasal ini menyebut pidana penjara paling singkat satu tahun, maksimal lima tahun, pidana denda paling sedikit Rp 50 juta, maksimal Rp 250 juta.

Dalam dakwaan No: 04/TUT.01.04/24/01/2019 dengan terdakwa Edy Saputra Suradja dan dakwaan No: 03/TUT.01.04/24/01/2019 dengan terdakwa I Willy Agung Adipradhana dan terdakwa II Teguh Dudy Syamsuri Zaldy, ketiganya terlibat menyuap komisi B DPRD Prov. Kalteng supaya Borak Milton, Punding Ladewiq H. Bangkan, Edy Rosada, Arisavanah dan anggota Komisi B DPRD Propinsi Kalimantan Tengah lainnya tidak melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait dugaan pencemaran limbah sawit di Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan, Propinsi Kalimantan Tengah, tidak adanya izin Hak Guna Usaha (HGU), tidak memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPH) dan belum ada plasma yang dilakukan oleh PT Binasawit Abadi Pratama (BAP). Para terdakwa menyuap senilai Rp 240 juta kepada Borak Milton. Angka itu sesuai permintaan Borak Milton untuk 12 anggota komisi B DPRD Kalteng, masing-masing Rp 20 juta.

Selain itu, para terdakwa juga meminta Borak Milton untuk meluruskan pemberitaan tentang temuan anggota laporan anggota DPRD yang berasal dari Dapil II yaitu Kabupaten Kota Waringin Timur dan Kabupaten Seruyan serta adanya pemberitaan di media massa mengenai 7 (tujuh) perusahaan sawit yang diduga melakukan pencemaran di Danau Sembuluh Kabupaten Seruyan.

Tidak masksimalnya tuntutan JPU KPK terhadap para terdakwa, menunjukkan KPK tidak peka terhadap rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat dan ekologis Kalteng yang kehadiran Sinarmas Grup telah merusak lingkungan hidup dan merampas lahan masyarakat.

“Jika tuntutan KPK terhadap para terdakwa maksimal, tentu saja ini semangat baru bagi masyarakat Riau yang juga hutan tanah dan ruang hidupnya dirampas dan dirusak oleh Sinarmas Grup dan korporasi sawit lainnya,” kata Made Ali.

KPK periode 2015-2019 kelihatan malu-malu, segan dan tidak berani melawan kejahatan korporasi, terlihat dalam kasus korupsi alih fungsi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dalam usulan Ranperda RTRWP Riau 2014-2034.

“KPK hingga detik ini belum menetapkan Direktur Utama dan Korporasi Darmex Agro Grup, padahal dalam putusan terpidana Gulat Manurung dan Annas Mamun, terbukti Darmex Agro menyuap Anas Mamun melalui Gulat Manurung,” kata Made Ali.

Pada 2014, Annas Maamun menerima uang dalam bentuk Dollar Singapura setara Rp 3 Miliar dari PT Duta Palma melalui Suheri Tirta, Humas PT Duta Palma. Surya Darmadi, Komisaris PT Duta Palma menjanjikan uang Rp 8 Miliar kepada Gubernur Riau jika berhasil mendorong Menteri Kehutanan menyetujui usulan revisi RTRW Riau dimana lahan PT Duta Palma seluas 18.000 hektar dimasukkan ke dalam usulan revisi tersebut.

Jejak KPK melawan kejahatan korporasi sawit yang melibatkan petinggi korporasi sudah dimulai pada 2007 dengan menetapkan Martias alias Pung Kian Hwa (pemilik Surya Dumai Grup—kini First Resources. Martias divonis Mahkamah Agung pidana penjara 1,6 tahun, denda Rp 500 juta, pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 346 Milyar karena merugikan keuangan negara bersama Suwarna Abdul Fatah atas penerbitan Izin Pemanfaatan Kayu dari areal 11 korporasi sawit di Kalimantan Timur.

“KPK periode 2015-2019 perlu mengevaluasi praktek OTT. KPK perlu kembali mencontoh komisioner sebelumnya, yang membongkar kasus lalu merekonstruksinya menjadi dakwaan yang berhasil mengembalikan keuangan negara dengan jumlah milyaran, dibanding OTT Kalteng yang “terpenjara” oleh dakwaan,” kata Made Ali.

Jikalahari mendesak KPK agar perkaran ini tidak hanya sampai pada para terdakwa. “Menelusuri hingga sampai pada komisaris dan ownernya. Jangan-jangan para terdakwa melakukan suap atas persetujuan pemilik Sinarmas Grup.”

 

Narahubung:

Made Ali, Koordinator Jikalahari 0812 7531 1009

Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 6340

[1] Wakil Direktur Utama PT SMART Tbk dan Direktur/Managing Director PT Binasawit Abadi Pratama (PT BAP)

[2] Direktur Operasional Sinar Mas Wilayah Kalimantan Tengah IV, V dan Gunungmas/Chief Executive Officer (CEO) Perkebunan Sinar Mas 6A Kalimantan Tengah-Utara

[3] Department Head Document and License Perkebunan Sinar Mas untuk wilayah Kalimantan Tengah-Utara

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *