Gubernur Wahid Tak Pantas Bawa Tagline Merawat Tuah, Menjaga Marwah

Ironi relasi pemerintah Provinsi Riau dan korporasi perusak “tuah” hutan dan lingkungan hidup

Pekanbaru, 7 Agustus 2025 – Jikalahari mendesak Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid untuk menghentikan budaya memasang balon raksasa berlogo APR dan APRIL Grup di halaman Kantor Gubernur Riau dan segera menurunkannya. Pemasangan balon tersebut jelang HUT Riau ke 68 tahun pada 9 Agustus 2025 sangat tidak selaras dengan tagline Merawat Tuah, Menjaga Marwah.

Tindakan Gubri yang tetap memasang balon tersebut menunjukkan sikap abai terhadap keselamatan warga dan kerusakan lingkungan yang tengah terjadi. Sebab, PT Selaras Abadi Utama, anak usaha dari APRIL Grup, saat ini tengah diproses hukum karena karhutla yang terjadi di konsesinya seluas 60 ha dan menyebabkan polusi asap.

“Gubri harus menunjukkan sikap tegas terhadap korporasi yang merusak lingkungan dan tidak memberi panggung istimewa. Bagaimana mungkin Gubri malah memasang balon udara berlogo APRIL dan APR saat PT SAU disegel oleh Gakkum Kemenhut karena arealnya terbakar?” kata Arpiyan Sargita, Wakil Koordinator Jikalahari.

Seperti yang hampir selalu disampaikan Gubri dalam pertemuan-pertemuan resmi; “Kata orang Melayu, tuah hutan ada pada rimbanya, tuah sungai ada pada ikannya, tuah manusia ada pada budinya. Sebagaimana kita tahu, di negeri Melayu Riau ini tuahnya itu adalah kekayaan alamnya.”

Faktanya, dari catatan Jikalahari, bukan saja karhutla yang baru-baru ini terjadi di konsesi PT SAU, namun APRIL Group sudah lama terus menjadi perusak tuah Melayu karena;

Pertama, selama 20 tahun terakhir, APRIL Grup dan perusahaan afiliasinya telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan alam seluas 334.955 ha di Riau. Dari hasil analisis Jikalahari melalui citra Mosaic API Planet 2004 – 2024, deforestasi di 27 perusahaan afiliasi APRIL Grup ini berkontribusi terhadap 20% deforestasi yang terjadi di Riau. Dari total 1.762.911 ha hutan alam yang hilang di Riau selama 2 dekade, PT RAPP dan PT Sumatera Riang Lestari menjadi kontributor deforestasi tertinggi mencapai 5 persen dari konsesi mereka.

Kedua, pada 2001 – 2006, Kapolda Riau Brigjen Sutjiptadi membongkar kasus tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan (illegal logging) di Riau. Pada Juni 2007, Polda Riau memeriksa puluhan saksi, pelapor (masyarakat), menyita dan mengamankan 133 eksavator (alat berat) dan ribuan log kayu, menetapkan sekitar 200 termasuk 14 perusahaan kayu di Riau milik dua pabrik pulp dan kertas terbesar di Asia Tenggara tersebut, APP dan APRIL Grup.

Korporasi tersebut:  PT Mitra Kembang Selaras, PT Riau Andalan Pulp & Paper, PT Arara Abadi, PT Suntara Gajah Pati, PT Wana Rokan Bonai Perkasa, PT Anugerah Bumi Sentosa, PT Madukoro, PT Citra Sumber Sejahtera, PT. Bukit Betabuh Sei Indah, PT. Bina Duta Laksana, PT Rimba Mandau Lestari, PT Inhil Hutan Pratama, dan PT Nusa Prima Manunggal. Total nilai kerugian negara akibat illegal logging 14 korporasi mencapai lebih Rp 2 ribu triliun.

Ketiga, APRIL Grup terlibat korupsi perizinan kehutanan yang melibatkan Bupati Siak dan Pelalawan, tiga Kepala Dinas Kehutanan Riau, serta Gubernur Riau. Ada 16 korporasi afiliasi APRIL Grup menyuap para terpidana untuk mendapatkan izin IUPHHK-HT dan RKT periode 2002 – 2009. Melalui Ir Rosman karyawan PT RAPP, proses take over perusahaan-perusahaan yang peroleh izin dari cara korup ini berlangsung untuk menyuplai kayu hutan alam yang ditebang ke PT RAPP. Akibat perbuatannya menebang hutan alam, telah merugikan perekonomian negara senilai Rp 1,3 triliun.

Dari 20 korporasi, ke 16 perusahaan APRIL Grup di antaranya: PT Selaras Abadi Utama, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Triomas FDI, PT National Timber and Forest Product, PT Madukoro, CV Alam Lestari, CV Tuah Negeri, CV Putri Lindung Bulan, CV Harapan Jaya, CV Bhakti Praja Mulia, CV Mutiara Lestari

Keempat, pada 2015 karhutla besar juga terjadi di 7 areal konsesi perusahaan yang terafiliasi dengan APRIL Grup. Perusahaan seperti PT Siak Raya Timber, dan PT Sumatera Riang Lestari, PT Bukit Raya Pelalawan, PT Hutani Sola Lestari, KUD Bina Jaya Langgam, PT Rimba Lazuardi dan PT PAN United menyumbangkan asap yang sebabkan warga Riau berbulan-bulan menghirup asap. Polda Riau telah menetapkan 7 perusahaan sebagai tersangka, namun di SP3. Publik hingga saat ini mendorong agar SP3 dicabut dan Perusahaan diproses untuk mewujudkan keadilan bagi korban karhutla.

Kelima, pada akhir 2017 PT RAPP tidak mematuhi kebijakan PP 57 tahun 2016 dan menggugat pemerintah Indonesia—Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta[1]. KLHK membatalkan RKU milik PT RAPP periode 2010 – 2019 karena tidak direvisi sesuai ketentuan bahwa areal bekas terbakar di lahan gambut tidak boleh ditanami kembali dan dijadikan fungsi lindung. PT RAPP mangkir perintah untuk perbaikan RKU dan akhirnya memutuskan untuk membatalkan RKU. Namun Ketua Majelis Hakim menolak gugatan PT RAPP karena tidak memenuhi syarat formal.

Keenam, pada 2016, Nazir Foead, Kepala Badan Restorasi Gambut dihadang dan diusir oleh tujuh orang karyawan PT RAPP di Desa Bagan Melibur, Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti[2]. Nazir sedang sidak terkait laporan warga bahwa PT RAPP merusak gambut dalam dengan cara mengeruk tanahnya untuk dijadikan kanal.

Ketujuh, perusahaan afiliasi APRIL Grup kerap berkonflik dengan masyarakat. Salah satu konflik lahan antara warga Desa Mumpa di Indragiri Hilir dengan PT Sumatera Riang Lestari (SRL). Mitra pemasok serat kayu ke APRIL Grup yang terafiliasi dengan Royal Golden Eagle (RGE) milik taipan Sukanto Tanoto, itu menggusur lahan warga dengan mengkavling lahan dengan pembuatan kanal. Konflik lainnya antara masyarakat di Kampung Tumang dan Merempan Hulu dengan PT Seraya Sumber Lestari (SSL).

Selain itu juga ada upaya kriminalisasi yang dilakukan PT SRL di blok Rangsang terhadap 4 warga di Pulau Rangsang yang menghentikan aktivitas perusahaan untuk melakukan penanaman di areal kebun masyarakat. Kini ke empat warga sedang dalam proses pemeriksaan oleh Polda Riau.

Kedelapan, APRILGrup telah merugikan keuangan negara; penelusuran Tempo[3], diketahui Sukanto Tanoto, pemilik APRIL Group dan APR melakukan pengemplangan pajak melalui perusahaannya, PT Asian Agri sebesar Rp 2,5 triliun dan PT TPL sebesar Rp 1,9 triliun.

Tak hanya itu, hasil temuan Pansus Monitoring Evaluasi Perizinan DPRD Riau pada 2015 menemukan potensi kerugian Negara dari pajak yang tidak disetor APRIL senilai Rp 6,5 Triliun. Potensi kerugian negara dari pajak (PPH, PPN DN dan PBB P3) Rp 6,4 Triliun pertahun dan Pajak PSDH DR yang tak disetor Rp 14,9 miliar tahun 2010-2014.

APRIL telah merampok Sumber Daya Alam sebagai Tuah negeri melayu Riau, sudah semestinya dievaluasi keberadaannya di negeri melayu yang kita cintai ini. “Alih-alih memasang balon raksasa berlogo APRIL, Gubernur mestinya fokus mendorong penegakkan hukum terhadap PT SAU dan APRIL Grup atas karhutla yang terjadi, dengan mereview izin dan audit kepatuhan PT SAU dan APRIL Grup tersebut, sesuai mandat Perda Provinsi Riau Nomor 1 Tahun 2019,” kata Arpiyan

Jikalahari mendesak Gubernur Riau untuk segera menurunkan balon berlogo APRIL dan APR dan tidak memberi ruang istimewa Grup jelang puncak perayaan hari jadi Provinsi Riau, agar Tuah benar-benar bermarwah.

Narahubung:

Arpiyan Sargita, Wakil Koordinator Jikalahari, 0812 6111 6340

Nurul Fitria, Manajer Riset dan Media, 085265717699


[1] https://mongabay.co.id/2017/11/27/protes-aturan-gambut-rapp-gugat-kementerian-lingkungan-ke-pengadilan/

[2] https://www.riauonline.co.id/riau-pesisir/read/2016/09/06/kepala-brg-dihadang-sekuriti-pt-rapp-tak-diperbolehkan-masuk

[3] https://www.tempo.co/ekonomi/penagihan-pajak-asian-agri-dinilai-masih-alot-nbsp–1584894

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *