Debat Publik Pertama Paslon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau 2024
Pekanbaru, 7 November 2024—Jikalahari menilai debat publik pertama pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau (Cagubri – Cawagubri) 2024 tidak menyentuh persoalan lingkungan hidup dan kehutanan di Riau. “Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Riau tidak memahami pertanyaan, bahkan para kandidat mendebatkan persoalan yang tidak penting,” kata Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari.
Jikalahari bersama jaringan masyarakat sipil, mahasiswa dan media gelar nonton bareng dan diskusi debat Cagubri – Cawagubri pada 29 Oktober 2024 di Sekretariat Jikalahari. Kegiatan ini digelar untuk melihat dan mendengarkan gagasan yang disampaikan oleh para kandidat. “Kita ingin melihat kandidat mana yang memiliki pemahaman terkait isu ekologis di Riau dan apa gagasan yang ditawarkan untuk menyelesaikannya,” kata Okto.
Sebelumnya, pada 21 Oktober 2024, jelang debat perdana, Jikalahari mempublikasikan brief hasil analisis visi, misi dan program kerja ketiga pasangan calon, terutama soal isu ekologis. Hasilnya, tidak ditemukan komitmen nyata dari ketiga kandidat untuk menyelesaikan persoalan ekologis di Riau, seperti; karhutla, banjir, konflik agraria, perluasan ruang kelola serta pengakuan dan perlindungan untuk masyarakat adat[1]. Selain publikasi melalui media, Jikalahari juga serahkan brief ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau.
Sejalan dengan hasil analisis Jikalahari, keniscayaan komitmen ketiga kandidat pada isu ekologis juga terlihat dalam debat perdana ini. Dengan tema Tata Kelola Pemerintahan yang Baik (Good Governance) dan Pembangunan Daerah yang Inklusif, isu ekologis masuk dalam debat kali ini, namun tidak ada satu pun dari kandidat yang memberikan pernyataan konkret untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Berikut beberapa catatan Jikalahari dari debat perdana para kandidat Cagubri – Cawagubri:
Pertama, waktu yang disediakan sangat singkat. Jikalahari menilai format debat yang disusun oleh KPU Riau dan tim panelis tidak mendukung proses debat yang berkualitas dan terkesan hanya main-main. Jikalahari membandingkan durasi debat antara Pilkada Riau dengan Pilkada DKI Jakarta. Memiliki jumlah kandidat yang sama, 3 orang, justru durasi debat publik Pilkada DKI Jakarta lebih panjang.
Provinsi | Pemaparan visi – misi | Cagub jawab pertanyaan | Cawagub jawab pertanyaan | Tanya jawab antar paslon | Closing statement |
Riau | 1 menit 30 detik | 1 menit menjawab 45 detik tanggapi | 1 menit menjawab 45 detik tanggapi | 30 detik bertanya 1 menit 30 detik menjawab 1 menit tanggapi | 2 menit |
DKI Jakarta | 4 menit | 2 menit menjawab 1 menit tanggapi | 2 menit menjawab 1 menit tanggapi | 1 menit bertanya 2 menit menjawab 1 menit tanggapi | 2 menit |
Kedua, sub tema dan pertanyaan yang diberikan tidak nyambung. Isu ekologis dalam debat kali ini masuk dalam sub tema penataan SDA-LH, Reforma Agraria dan mitigasi bencana, pengukuhan masyarakat adat, kelompok marjinal daerah 3T dan wilayah perbatasan. Saat sub tema ini dipilih, pertanyaan yang diberikan justru soal infrastruktur dan jalan berlubang. Tidak adanya korelasi antara sub tema dengan pertanyaan ini menunjukkan tidak siapnya KPU dan tim panelis menyusun pertanyaan sesuai tema.
“Debat perdana Pilkada Riau 2024 ini sangat miris. Format dan metode debat tidak mendukung kandidat untuk mengelaborasi gagasan mereka, para kandidat tidak siap, tidak fokus dan asal menjawab, hingga pertanyaan pun tidak ada korelasi dengan sub tema,” kata Okto, “Melihat jalannya debat perdana ini, menguatkan hasil analisis Jikalahari terhadap visi-misi para kandidat bahwa mereka tidak punya komitmen terhadap isu ekologis. Debat yang diharapkan jadi ajang adu gagasan dan pemaparan lebih dalam, justru mempertontonkan kedangkalan pengetahuan mereka menyikapi persoalan yang ada.”
Ketiga, para kandidat tidak menguasai persoalan di Riau. Saat pertanyaan berkaitan dengan 4 sungai di Riau yang seharusnya dapat dimaksimalkan fungsinya seperti sungai Mekong di Vietnam sebagai lumbung pangan dunia, para kandidat hanya bicara normatif dan tidak menyentuh akar penyebab sungai di Riau rusak. Walau Cawagubri Wardan sempat menyebutkan bahwa sungai harus dijaga, ia hanya menyentil soal tidak membuang sampah ke sungai.
Padahal penyebab dari rusaknya 4 sungai ini adalah kekeringan, pendangkalan dan pencemaran akibat deforestasi dan pembuangan limbah perusahaan. “Tidak ada satu pun kandidat yang menyampaikan fakta ini. Hanya membahas akan memanfaatkan sungai untuk mengaliri sawah dan ladang demi meningkatkan ketahanan pangan. Padahal sungainya saja sudah rusak dan tercemar,”kata Okto.
Keempat, pemaknaan budaya melayu yang digaungkan dalam visi, misi para kandidat absen terhadap pemenuhan hak masyarakat hukum adat. Paslon Nasir-Wahid mendapat pertanyaan soal pemaknaan budaya melayu dan menjelaskan bahwa ini kaitannya erat dengan objek wisata yang harus diberdayakan, serta cerita sejarah yang harus diceritakan ke anak cucu. Walau Cagubri Abdul Wahid sempat menyinggung bahwa adat budaya melayu adalah berpegang teguh menjaga rimba dan menjunjung tinggi adat istiadat, tetap saja keduanya tidak sedikit pun menyebut soal masyarakat hukum adat,kearifan lokal, dan pengelolaan hutan tanah lestari. “Padahal mereka adalah esensi utama dari budaya Melayu itu sendiri,” kata Okto.
Dalam diskusi pasca mendengarkan gagasan-gagasan para kandidat dalam debat publik ini, tanggapan yang diberikan masyarakat sipil menunjukkan keprihatinan akan kondisi ekologis Riau ke depannya. “Kita patut cemas dengan nasib Riau ke depan. Tidak ada perhatian dari para paslon untuk ruang ekologis kita. Saya sampai bingung mau pilih siapa. Ini jadi PR bagi kita, untuk lebih berisik lagi dalam perjuangkan dan mengawal agar terwujudnya keadilan pengelolaan SDA Riau,” kata Besta Junandi Nduru, Direktur Perkumpulan Elang.
Hal senada juga disampaikan Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian WALHI Riau. Tidak terlihatnya komitmen para paslon untuk isu-isu krusial mulai dari masyarakat adat, korupsi, penegakan hukum kejahatan SDA hingga perlindungan SDA di Riau, menunjukkan para kandidat tidak berani menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada hingga saat ini. Bahkan menurut Tarmidzi, Deputi Fitra Riau, “Tidak ada satu pun dari para kandidat yang menyampaikan soal pembangunan inklusif yang jadi muara peningkatan kesejahteraan masyarakat.”
Kunni Masrohati, Founder Rumah Sunting menambahkan, “Para kandidat ini tak paham bahwa lingkungan dan budaya melayu adalah satu kesatuan. Lingkungan rusak, budaya ikut rusak, masyarakat adat pun ikut terdampak. Rusaknya lingkungan, berpengaruh langsung ke satu generasi dan peradaban.”
Sari Indrawati, Founder Green Radioline menyatakan keprihatinan dan rasa frustasi melihat debat yang berlangsung akhirnya tidak menjawab akar persoalan ekologis di Riau. “Generasi muda harus bergerak dengan membuat narasi-narasi apa yang kita inginkan untuk ruang ekologis Riau dan kita sampaikan kepada para paslon ini.”
Ini juga diamini oleh Turangga Lazuardi, Menteri Agraria dan LH BEM UNRI. “Isu lingkungan tidak dibahas, program yang disampaikan tidak jelas arah tujuannya. Namun kita harus memilih, mari kita analisis dan lihat arah pergerakan dari para kandidat. Satu suara kita akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat Riau 5 tahun mendatang.”
Melihat bagaimana debat publik perdana ini berjalan, Jikalahari merekomendasikan kepada KPU Riau dan tim panelis untuk:
- Memperbaiki format debat kedua Pilkada Riau 2024 mendatang, salah satunya dengan menambah durasi baik pemaparan visi-misi maupun menjawab pertanyaan sehingga para kandidat dapat mengelaborasi ide dan gagasan yang akan mereka usung dalam mengembangkan Riau selama 5 tahun mendatang.
- Memastikan dalam debat selanjutnya lebih profesional dan teliti, serta memastikan agar pertanyaan yang diberikan sesuai dengan sub tema dan tak tertukar dengan sub-tema lainnya.
- Memasukkan kembali pembahasan kaitan dengan isu terkait penataan SDA-LH, Reforma Agraria dan mitigasi bencana, pengukuhan masyarakat adat, kelompok marjinal daerah 3T dan wilayah perbatasan dalam debat kedua. Sebab isu penting dan krusial berkaitan dengan ruang ekologis Riau tidak dibahas sedikitpun pada debat pertama dan masyarakat ingin melihat bagaimana komitmen dari para kandidat terkait isu krusial ini.
[1] https://jikalahari.or.id/analisis/komitmen-ekologis-cagub-cawagub-riau-hanya-formalitas-tak-ada-aksi-nyata/