100 Hari Kerja Gubernur-Wakil Gubernur Riau: Seremoni Isu Ekologis

Pekanbaru, 5 Juni 2025 –100 hari kerja Gubernur dan Wakil Gubernur Riau, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), banjir serta rusaknya habitat satwa terus terjadi. Jikalahari menilai Abdul Wahid-SF Hariyanto, lebih banyak lakukan kegiatan seremoni dibanding aksi nyata dalam upaya pemulihan lingkungan hidup dan kehutanan (LHK) di Riau. “Kami belum melihat kerja nyata untuk perbaikan tata kelola LHK selama 100 hari, baik dalam tindakan maupun rencana pembangunannya. Padahal dalam visi-misi saat maju, Abdul Wahid mencantumkan isu ekologis,” kata Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari.

Pada 2 Juni 2025,  Gubernur Riau, Abdul Wahid, menyampaikan rencana program 100 hari kerja. Ada tujuh sektor yang digesa: akses dan layanan pendidikan, akses dan layanan kesehatan, dukungan peningkatan pengamalan keagamaan, ketahanan pangan daerah, layanan infrastruktur dasar dan konektivitas daerah, layanan publik, dan pembangunan daerah.

Pada 3 Juni 2025, melalui akun Instagramnya, Abdul Wahid juga memamerkan capaian 100 hari kerja, salah satunya keberhasilan menjaga hutan dengan sinergi karhutla bersama TNI dan Polri.

Kebijakan Abdul Wahid-SF Hariyanto Isu Ekologis:

Pada 27 Maret 2025, Abdul Wahid, bersama SF Hariyanto dan Kapolda Riau Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, memimpin acara penanaman sepuluh ribu pohon di Bandara Pinang Kampai. Acara yang diselenggarakan oleh Polda Riau dengan tema “Melindungi Tuah, Menjaga Marwah”.

Pada 25-27 April 2025, Gubernur Riau bekerja sama dengan Polda Riau menyelenggarakan Jambore Karhutla 2025. Abdul Wahid mengklaim bahwa Jambore Karhutla sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, khususnya generasi muda. Tujuannya agar lebih peduli terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan, serta lebih peduli terhadap alam.

Pada 28 April 2025, Abdul Wahid, menyampaikan bahwa status siaga karhutla telah ditetapkan sejak 1 April 2025. Hal ini sebagai langkah antisipasi dini berdasarkan informasi dari BMKG yang memprediksi musim kemarau akan tiba lebih awal dibandingkan biasanya.

Pada 8 Mei 2025, Gubernur Riau mendeklarasikan program GREEN (Growing Resilience through Emissions Reductions, Community Empowerment and Ecosystem Restoration for a Nurturing Future) for Riau atau Riau Hijau. Tujuannya sebagai upaya strategis untuk menekan dan menurunkan emisi gas rumah kaca di Bumi Lancang Kuning. Abdul Wahid menyampaikan hal emisi gas rumah kaca kita tekan dan turunkan supaya lingkungan sehat, ketersediaan oksigen semakin bagus. Kita berkomitmen tinggi untuk menyediakan lingkungan yang terbaik dan sehat dan juga menjaga alam.[1]

“Klaim capaian dan kebijakan 100 hari Gubernur Riau khususnya pada isu lingkungan masih bersifat seremonial. Misalnya dalam hal pengendalian karhutla, Abdul Wahid masih berfokus pada kegiatan yang sifatnya seremoni, seperti Jambore Karhutla dan penetapan status siaga darurat karhutla. Alih-alih mereview izin korporasi di areal gambut, mengaudit sarpras pencegahan karhutla korporasi. Begitu juga Green for Riau, kita belum melihat konsepnya ke depan,” kata Okto.

Kebijakan Gubernur mengancam Lingkungan:

Bukan hanya terkesan masih seremonial dalam kebijakan lingkungan hidup, bahkan Abdul Wahid juga membuat kebijakan yang berpotensi mengancam lingkungan dan masyarakat. Salah satunya adalah pengembangan Kawasan Industri Bukit Batu (KIBB) yang terletak di Desa Buruk Bakul, Kabupaten Bengkalis. Ia menegaskan dukungannya terhadap dan memberikan kemudahan bagi para investor. Dukungan ini diberikan karena potensi besar yang dimiliki Riau dalam pengembangan industri hilirisasi.[2]

Pengembangan KIBB dinilai akan mengancam Hutan mangrove seluas 200 hektar di Desa Buruk Bakul, sebab berada di dalam zona KIBB tersebut. “Selain itu, ada potensi Desa Buruk Bakul akan di “Rempangkan” karena KIBB berada di atas pemukiman, fasos, fasum hingga lahan Garapan masyarakat Buruk Bakul,” kata Okto.

Catatan Jikalahari permasalahan lingkungan hidup dan kehutanan terjadi di Riau:

Pertama, karhutla masih terjadi di Riau. Berdasarkan data BPBD, hingga Juni 2025 luas karhutla di Riau mencapai 113,68 hektar yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Riau. Sebelumnya, titik-titik api terpantau di Bengkalis, Kepulauan Meranti, Indragiri Hilir, Siak, dan Dumai. Namun belum ada kebijakan pencegahan dini, meski Riau dikenal sebagai provinsi dengan sejarah karhutla terburuk secara nasional. Hotspot di Riau selama 100 hari kerja Gubernur berjumlah 246 titik. Hotspot Riau sejak Februari Hingga Mei mengalami tren peningkatan setiap bulannya. sebanyak 12% (29 titik) hotspot berada di lahan gambut dengan kedalaman 0,5 hingga lebih dari 4 meter.

Hotspot juga terdapat di kawasan korporasi baik HTI, HPH maupun perkebunan sawit, jumlah hotspot yang berada di kawasan perusahaan mencapai 17% (42 titik) dari jumlah hotspot Riau. Sebanyak 7 titik berada di konsesi HTI/HPH dan 35 titik berada di perkebunan sawit. Salah satu korporasi yang terjadi kebakaran dalam kawasan perkebunan PT ASL. Jika dilihat dari Citra Sentinel, hotspot yang muncul merupakan titik panas dalam 1 bulan belakangan dan memperlihatkan area poligon diperkirakan sebagai lokasi terbakar dengan luasan sekitar 5 hektar.

Kedua, praktik illegal logging terus terjadi. Teranyar, di Kabupaten Kepulauan Meranti, aparat berhasil menyita 500 batang atau sekitar 20 ton kayu hasil pembalakan liar. Di Dumai, pelaku pembalakan justru dilindungi oknum aparat yang diduga menerima setoran rutin dari aktivitas ilegal tersebut.

Ketiga, banjir yang semakin masif. Banjir terjadi di lima kabupaten sejak 1 Januari hingga 4 Maret 2025: Kampar, Rokan Hulu, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, dan Pelalawan. Banjir melanda 18 kecamatan dan 39 desa/kelurahan, berdampak pada lebih dari 7.000 kepala keluarga. Namun alih-alih memperbaiki tata kelola lingkungan, Wahid hanya membagikan sembako sebagai respon.

Keempat, konflik satwa dan manusia terus meningkat. 1) Pada Maret 2025, pria di Pelalawan berusia 50 tahun tewas diserang harimau. 2) Terbaru, pada Juni 2025, harimau Sumatera memasuki pemukiman warga di Kecamatan Teluk Bengkong, Indragiri Hilir. Ini menambah daftar panjang korban akibat konflik satwa dan manusia. Sebelumnya data 2018-2024 tercatat korban jiwa meninggal hingga 13 orang dan 2 luka-luka.

Kelima, konflik korporasi dengan masyarakat dan Perhutanan Sosial. konflik korporasi dengan masyarakat masih terjadi hingga saat ini, salah satunya PT Sumatera Riang Lestari Blok V Rangsang dengan masyarakat Desa Citra Damai, masyarakat dilaporkan ke Polda Riau dengan tuduhan Tindak Pidana Perusakan. Selain itu konflik lahan juga terjadi di Desa Pangkalan Gondai antara masyarakat Desa Pangkalan Gondai dengan korporasi HTI KUD Bina Jaya Langgam yang terafiliasi dengan APRIL GRUP.

Di sisi lain, program perhutanan sosial sebagai salah satu solusi konflik lahan, belum ada kebijakan dari Gubernur, baik berupa program mupun aksi di lapangan. Belum ada tambahan izin PS bari selama Abdul Wahid memimpin.

Keenam, pada 21 April 2025, Jikalahari bersama Koalisi Masyarakat Sipil Riau telah menyerahkan brief berjudul “Ruang Ekologis Riau Semakin Rusak”. Brief berisi fakta persoalan yang terjadi di Riau: El Nino dan karhutla Riau, analisis hotspot hingga deforestasi, banjir, konflik satwa, lambannya realisasi perhutanan sosial, illegal logging, konflik sosial masyarakat dengan perusahaan, pengakuan hak masyarakat adat, minimnya partisipasi publik, penegakan hukum kasus SDA Riau, dan pemberantasan korupsi SDA. Harapannya di awal kepemimpinan Abdul Wahid-SF Hariyanto, berani untuk memimpin untuk memperbaiki dan menyelesaikan persoalan LHK tersebut.

“Persoalan ekologis masih terjadi berulang di Riau yang disebabkan akibat rusaknya ruang ekologis di Riau. Karhutla, banjir, illegal logging, konflik lahan serta konflik satwa dan manusia merupakan dampak dari eksistensi perizinan berusaha HTI dan sawit yang tidak taat aturan dan abai dengan kondisi lingkungan,” kata Okto.

100 hari kerja Abdul Wahid-SF Haryanto masih jauh dari harapan pemulihan ekologis. “Kami mendorong Gubernur Riau untuk mengevaluasi kinerja 100 hari kerja dan serius mengimplementasikan visi ekologis dengan tindakan dan program kerja yang nyata untuk menghentikan bencana ekologis, termasuk menghentikan rencana pengembangan KIBB” kata Okto.

Oleh sebab itu, Jikalahari merekomendasikan Gubernur Riau untuk:

  1. Mereview izin korporasi di areal gambut, mengaudit sarpras pencegahan karhutla korporasi.
  2. Mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk melakukan penataan perizinan kehutanan berupa review perizinan korporasi yang beroperasi di atas lahan gambut, lahan masyarakat hukum adat – tempatan, serta korporasi yang tidak memiliki kemampuan dalam menjaga areal konsesinya dari kerusakan baik karhutla maupun perambahan
  3. Mempercepat penyelesaian konflik antara masyarakat adat – tempatan dengan korporasi, konflik satwa yang telah kehilangan habitatnya karena ekspansi korporasi yang merusak habitat satwa, serta mempercepat izin dan pengelolaan PS.
  4. Membuka ruang partisipatif bagi masyarakat sipil, akademisi dan masyarakat luas dalam Menyusun rencana pembangunan Provinsi Riau.

Narahubung:

Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari: +62 853-7485-6435

Nurul Fitria, Manajer Riset dan Advokasi:  +62 852-6571-7699


[1] https://smtp3.halloriau.com/read-otonomi-14607289-2025-05-08-gubri-abdul-wahid-deklarasikan-green-for-riau-komitmen-tekan-emisi-gas-rumah-kaca-demi-lingkungan-sehat.html

[2] https://mediacenter.riau.go.id/read/90577/abdul-wahid-janjikan-kemudahan-bagi-investor-.html

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *