TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra M Hamzah mengakui pihaknya menemui hambatan dalam proses penyidikan kasus dugaan korupsi pembalakan liar di provinsi Riau. KPK, kata Chandra, mengalami kesulitan untuk menafsirkan apakah pihak yang menerima keuntungan dalam perbuatan tindak pidana korupsi, dapat dijerat pidana atau tidak.
“Kalau dunia internasional, hal ini dapat dilakukan (penarikan aset). Tetapi di Indonesia, ada masalah hukum yang diperdebatkan, apakah pihak yang diuntungkan dalam perbuatan korupsi dapat dijerat pidana atau nggak,” katanya di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/3/2011).
Inilah, lanjut Chandra, yang menyebabkan KPK belum bisa menjerat pihak korporasi, dalam hal ini PT Riau Andalan Pulp and Paper dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk beserta 17 perusahaan pemasok kayu, dalam kasus pembalakan liar tersebut.
Seperti diketahui, pada putusan tingkat pertama terhadap mantan Bupati Kabupaten Pelalawan Tengku Azmun Jaafar disebutkan bahwa Azmun terbukti bersalah dalam menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) kepada sejumlah perusahaan,
padahal tidak kompeten. Dalam putusan tersebut jika pihak korporasi itu tidak terbukti menyuap, namun hanya diuntungkan.
Diketahui pula, sedikitnya 17 perusahaan pemasok kayu di Provinsi Riau diduga terlibat dalam kasus korupsi pembalakan liar yang dilakukan sejumlah mantan bupati dan kepala Dinas Kehutanan di wilayah tersebut. Para perusahaan itu memasok kayu ke dua korporasi induk yakni PT Riau Andalan dan PT Indah Kiat.
Sementara itu, pada kesempatan terpisah, Direktur Penyidikan KPK Ferry Wibisono mengku pihaknya akan menempuh upaya hukum lain untuk menjerat pihak koorporasi dalam kasus itu. Usaha itu antara lain dengan menggandeng jaksa negara untuk melakukan gugatan perdata terhadap perusahaan yang bersangkutan.
“Memang pihak yang diuntungkan belum tentu dapat dijerat pidana atau melakukan perbuatan melawan hukum. Tetapi upaya hukum tidak hanya itu saja, namun juga melalui gugatan perdata dengan bekerja sama dengan kejaksaan negara,” tuturnya.
Namun menurut Ferry, upaya alternatif itu juga masih mungkin mengalami hambatan. Pasalnya, proses hukum terhadap para tersangka dalam kasus itu belum jua rampung.
Perlu diketahui, dalam putusan Azmun Jaafar Nomor: 06/PID.B/TPK/2008/PN.JKT.PST tersebut memuat dugaan kerugian negara yang ditimbulkan melalui para korporasi itu, yakni PT Riau Andalan Pulp and Paper (Rp 939,029 miliar), PT Merbau Pelalawan Lestari (Rp 7,068 miliar), PT Selaras Abadi Utama (Rp 6,999 miliar), PT Uniseraya (Rp 13,003 miliar), CV Putri Lindung Bulan (Rp 54,048 miliar), CV Tuah Negeri (Rp 4,063 miliar), CV Mutiara Lestari (Rp 282 juta), PT Rimba Mutiara Permai (Rp 7,011 miliar), PT Mitra Tani Nusa Sejati (Rp 16,088 miliar), PT Bhakti Praja Mulia (Rp 10,074 miliar), PT Trio Mas FDI (Rp 13,039 miliar), PT Satria Perkasa Agung (Rp 94,82 miliar), PT Mitra Hutani Jaya (Rp 87,029 miliar), CV Alam Jaya (Rp 12,093 miliar), CV Harapan Jaya (Rp 13,373 miliar), PT Madukoro (Rp 17,006 miliar) dan PT Yos Raya Timber (Rp 6 miliar).
sumber: tribun pekanbaru