JAKARTA, KOMPAS.com — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan adanya dugaan kerugian negara di empat provinsi di Kalimantan yang mencapai Rp 15,9 triliun akibat tidak segera ditertibkannya pertambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan.
Temuan ini disampaikan KPK seusai memaparkan hasil “Kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan dan Kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Dirjen Planologi Kehutanan”, Kementerian Kehutanan.
“Menteri Kehutanan setuju kalau ada pelanggaran di hutan, silakan diproses hukum. Misal, pinjam pakai di Kalimantan ada potensi kerugian negara 15,9 triliun. Ini tidak bisa dibiarkan,” ucap Wakil Ketua KPK M Jasin dalam jumpa pers seusai melakukan pertemuan dengan Menhut Zulkifli Hasan, Jumat (3/12/2010) di Gedung KPK.
KPK menemukan di empat provinsi di Kalimantan, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur, ada kerugian negara akibat tidak segera diterbitkannya pertambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan.
Akibatnya, negara diduga rugi Rp 15,9 triliun per tahun dari potensi PNBP. Angka itu di luar kompensasi lahan yang tidak diserahkan, biaya reklamasi yang tidak disetorkan dan denda kerusakan kawasan hutan konservasi mencapai Rp 255 miliar.
Tidak hanya itu, selama enam bulan KPK melakukan kajian pada kawasan hutan, KPK menemukan 17 titik kelemahan sistemik dalam aspek regulasi sembilan buah, aspek kelembagaan tiga buah, aspek tata laksana empat temuan, dan aspek manajemen satu temuan.
Sebagian besar kelemahan ini dikarenakan adanya ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam UU Nomor 41 Tahun 2009, PP Nomor 44 Tahun 2004, SK Menhut Nomor 32 Tahun 2001, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009. Akibatnya, banyak oknum yang memanfaatkan untuk meloloskan diri dari tindakan pelanggaran hukum illegal logging dan illegal mining. “Banyak yang maju ke persidangan dan akhirnya kalah. KPK tidak kehilangan akal, kami cari unsur korupsinya,” ungkap Jasin.
KPK mendata bahwa ada inefisiensi keuangan negara sebesar Rp 452,4 miliar dan potensi inefisiensi sebesar Rp 339,2 miliar dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan akibat perubahan batas-batas kawasan hutan secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari ketentuan-ketentuan SK Menhut Nomor 32 Tahun 2001.
“Ada juga penerbitan 79 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam/tanaman di luar peruntukannya menurut tata guna hutan kesepakatan Provinsi Riau dengan total luas kawasan yang dilanggar mencapai 3,7 hektar. Hal ini karena lemahnya prosedur dan evaluasi kinerja daerah dalam perlindungan dan pengawasan hutan,” ucap Jasin.
Oleh karena itu, KPK merekomendasikan kepada Menteri Kehutanan untuk mencabut Permenhut 50 Tahun 2009 dan SK Menhut 32 Tahun 2001 serta meminta Menhut untuk menyerahkan action plan terkait rekomendasi KPK paling lambat tanggal 24 Desember 2010.
Menanggapi hal ini, Menhut Zulkifli Hasan akan segera memenuhi permintaan KPK. “Bagi kami, ini sangat baik dan hutan harus dilindungi karena ini penting tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga sebagai paru-paru dunia. Jadi, kami akan segera buat action plan dan kalau perlu mengundang KPK untuk bicara temuan-temuannya dengan lebih detail,” ucap Zulkifli.
Sumber: Kompas: Jumat, 3 Desember 2010 |