TribunPekanbaruNews.com – Jaringan LSM di provinsi Riau meluncurkan rilis media siang ini. Dalam rilis pers kali ini, Jaringan LSM ini mendesak Pemerintah memasukkan 1,2 juta hektar hutan alam tersisa di Riau dalam kesepakatan moratorium dua tahun terhadap konversi hutan alam dan gambut yang merupakan bagian dari Letter of Intent (LoI) REDD+ Indonesia-Norwegia bernilai 1 miliar dolar AS. Usulan ini, jika dimasukkan oleh Pemerintah ke dalam draft Instruksi Presiden (Inpres) yang akan diterbitkan segera, tentu akan membantu mencegah percepatan penebangan hutan alam dan pembukaan gambut tersisa di Sumatera.
TribunPekanbaruNews.com – Jaringan LSM di provinsi Riau meluncurkan rilis media siang ini. Dalam rilis pers kali ini, Jaringan LSM ini mendesak Pemerintah memasukkan 1,2 juta hektar hutan alam tersisa di Riau dalam kesepakatan moratorium dua tahun terhadap konversi hutan alam dan gambut yang merupakan bagian dari Letter of Intent (LoI) REDD+ Indonesia-Norwegia bernilai 1 miliar dolar AS. Usulan ini, jika dimasukkan oleh Pemerintah ke dalam draft Instruksi Presiden (Inpres) yang akan diterbitkan segera, tentu akan membantu mencegah percepatan penebangan hutan alam dan pembukaan gambut tersisa di Sumatera.
Sebuah peta yang memprediksi dampak moratorium di Riau –disampaikan oleh koalisi Eyes on the Forest kepada Gugus Tugas REDD+ kemarin (15/3) – menunjukkan bahwa lebih dari 1,2 juta hektar, hampir separuh hutan alam tersisa di Riau, sebenarnya berada di dalam konsesi yang ada dimana konversi hutan alam dan gambut bisa berlanjut, bahkan dengan berjalannya moratorium itu. Koalisi EoF menguatirkan akan dampak terburuk yang terjadi di kawasan gambut dalam di Riau, dimana hal itu akan menyebabkan emisi gas rumah kaca yang besar, terutama membahayakan komitmen global presiden untuk menguranginya.
Eyes on the Forest menemukan bahwa dua pertiga hutan ini dikuasai oleh Asia Pulp & Paper (APP) dari Sinar Mas Group (SMG) yang bermarkas di Shanghai, China, dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL) dari Royal Golden Eagle Group, bermarkas di Singapura.
“APP/SMG dan APRIL/RGE telah menebang begitu banyak hutan alam serta banyak lahan gambut di Riau yang menjadikan provinsi Riau di posisi teratas sebagai penghasil emisi karbon di Indonesia,” ujar Suhandri dari WWF Indonesia program Riau. “Kami khawatir kalau kedua kelompok bisnis itu akan mempercepat pengambilan kayu mereka di Riau di saat moratorium mencegah perusahaan-perusahaan itu menebangi hutan di tempat lainnya.”
Jika hutan-hutan ini ditebangi dan lahan gambut kaya karbon dibuka untuk perkebunan kayu kertas, dampaknya terhadap iklim akan jauh lebih buruk dibandingkan proyek Satu Juta Lahan Gambut yang terkenal di Kalimantan Tengah. Eyes on the Forest memperkirakan bahwa jika hal tersebut dilaksanakan, dua grup perusahaan tersebut akan mengingkatkan emisi Provinsi Riau per tahun sampai 15% dibandingkan tingkat emisi sebelumnya dan mencapai 0.5 gigaton karbon.
“Eyes on the Forest mengimbau kedua perusahaan itu untuk secara sukarela dan segera menghentikan semua penebangan hutan alam dan pembukaan gambut guna mendukung komitmen Bapak Presiden dalam mengurangi emisi Indonesia sampai 26%. Kami mendesak mereka untuk menjadi bagian solusi daripada sekadar terus jadi kekecewaan,” ujar Susanto Kurniawan dari Jikalahari.
Izin-izin konsesi yang dikeluarkan kepada SMG/APP dan RGE/APRIL dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam soal legalitas dan korupsi. “Sebagian besar kawasan ini dipenuhi gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter yang secara hukum tidak dapat dikonversi,” kata Hariansyah Usman dari WALHI Riau. “Para pejabat pemberi izin kepada sejumlah konsesi ini tengah diusut atas dakwaan korupsi dan dua di antaranya sudah dipidana.” Satuan Gugus Tugas Pemberantasan Mafia Hukum bentukan Presiden baru saja mendesak Kepolisian RI untuk membuka kembali kasus pembalakan liar Riau yang terkenal, melibatkan banyak izin yang “diperoleh” perusahaan kelompok SMG/APP dan RGE/APRIL yang secara mendadak ditutup pada Desember 2008.
”Eyes on the Forest sangat mendukung tindakan Satgas PMH ini dan merekomendasikan bahwa seperti halnya pada tahun-tahun yang lalu ketika investigasi diiringi dengan moratorium penuh pada semua kegiatan konversi hutan alam dan gambut di Riau guna menghindari kehancuran hutan-hutan yang mungkin akhirnya terbukti tidak sah,” ujar Hariansyah. “Kami juga prihatin dengan banyaknya penebangan hutan alam oleh RGE/APRIL yang terjadi di pulau-pulau terdepan dan strategis di pantai timur Riau yang bisa memicu konflik sosial dan hilangnya kekayaan alam kawasan-kawasan tersebut.”
Hari ini, di saat Presiden bersiap mengumumkan moratorium konversi hutan alam dan gambut, RGE/APRIL terlibat dalam penebangan masif hutan alam dan pembukaan gambut dalam di Semenanjung Kampar, ekosistem rawa gambut yang paling menyatu dan terbesar saat ini di Sumatera dengan kemungkinan konsentrasi karbon gambut terbesar di Asia Tenggara.
“Semua hutan alam di Semenanjung Kampar baru saja diidentifikasi sebagai Hutan Bernilai Konservasi Tinggi oleh RGE/APRIL sendiri,” kata Susanto Kurniawan.(*)
sumber: tribun pekanbaru