PEKANBARU, TRIBUN – Hutan Indonesia dirusak secara sistematis dan terorganisir oleh para pejabat dan investor nakal. Aksi mafia kehutanan ini terorganisir dan terjadi di seluruh Indonesia. Praktek ini tidak hanya illegal logging, tapi juga korupsi perizinan yang mengakibatkan hilangnya hutan (deforestasi).
Dalam rilis yang diterima Tribun, Kamis (4/2), Koalisi Pemantau Mafia Kehutanan
Teguh Surya (WALHI), Susanto Kurniawan (JIKALAHARI), Luluk Uliyah (JATAM), Leonard Hasugian (FWI), Emerson Yuntho (ICW), Abetnego T (Sawit Watch), M. Lutharif (Kontak Rakyat Borneo) dan Timer Manurung (SILVAGAMA) mengungkapkan, deforestasi terjadi terutama karena praktek konversi dan alih fungsi kawasan hutan yang melanggar aturan (illegal). Konversi dilakukan dengan merubah hutan menjadi perkebunan dan pertambangan.
Di Kalimantan Tengah, 7,8 juta hektar hutan telah berubah menjadi perkebunan sawit, areal tambang, dan bentang alam lainnya yang bukan hutan (Laporan Tim Terpadu Revisi RTRWP Kalteng, 2009). Bappeda Propinsi Lampung menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen hutan lindung, 67,5 persen hutan produksi terbatas, dan 76 persen hutan produksi di propinsi tersebut telah rusak pada tahun 2007 (www.koran-jakarta.com).
Secara keseluruhan, deforestasi terjadi seluas 1.08 juta ha per tahun di Indonesia (Dephut, 2007). Selain perubahan hutan menjadi perkebunan dan pertambangan, ada juga alokasi hutan gambut menjadi hutan produksi (HP) yang memberikan dampak ekologis yang luar biasa. Pemberian izin HTI kepada PT RAPP (RGM group) yang berada di hutan rawa gambut semenanjung Kampar jelas dilakukan dengan praktek pengeluaran izin yang tidak prosedural.
Dampak dan kerugian akibat perusakan hutan sungguh luar biasa. Illegal logging mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 30 triliun per tahun (data Dephut). Kerugian negara akibat korupsi perizinan Azmun Jafar, mantan Bupati Pelalawan Propinsi Riau, mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 trilyun. Praktek korupsi Surya Dumai Group dalam konversi hutan di Kalimantan Timur merugikan negara sebesar Rp 346,823 milyar.
Banjir, kekeringan, dan bencara ekologis semakin kerap melanda daerah-daerah di Indonesia. Konversi hutan ini pun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian 48,8 juta penduduk yang tinggal di sekitar hutan Indonesia (Dephut,2004).
Selain itu juga muncul tumpang tindih otoritas dan konversi hutan. Hal ini dibuktikan dengan tidak harmonis dan tidak sinkronnya hukum dan kebijakan. Disharmonis kebijakan perundang-undangan (perkebunan, kehutanan, Lingkungan, Tata Ruang, Otonomi Daerah) menghasilkan tumpang tindih otoritas. Sehingga pemerintah sulit untuk melakukan perlindungan, perencanaan, Pengelolaan, pengawasan, penegakan hukum dan Pemulihan.
Euforia otonomi daerah mengakibatkan pemerintah daerah kebablasan mengeluarkan izin-izin perkebunan dan pertambangan. Data Save Our Borneo dan Silvagama menunjukkan adanya pelanggaran izin perkebunan dan atau pertambangan yang dikeluarkan oleh seluruh Bupati di Kalimantan Tengah. Bahkan di konsesi HPH Austral Byna di Barito Utara, Kalimantan Tengah juga diberikan 23 izin usaha perkebunan dan 47 kuasa pertambangan oleh Bupati setempat. Di Riau, 4 bupati mengeluarkan 37 izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (dulu bernama HTI) yang melanggar ketentuan.
Seakan tak mau ketinggalan menabrak aturan, Menteri Kehutanan melegalkan izin yang telah dikeluarkan oleh Bupati tersebut termasuk memberikan dispensasi terhadap perusahaan di Riau tanpa melalui proses verifikasi yang dipersyaratkan dalam aturannya. Kasus lain, Menteri Kehutanan juga ikut melegalisasi perusakan hutan dengan menerbitkan izin hutan kemasyarakatan (HKm) seluas 12.000 hektar dalam hutan lindung di Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Paparan di atas menunjukkan bahwa komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi sebesar 26% yang diyakini berperan penting dalam menurunkan suhu bumi, telah di khianati setidaknya oleh Kementerian Kehutanan dan Kementerian ESDM . Terbukti, hingga 100 hari pertama periode SBY – Boediono, tidak ada satu pun perusahaan perusak hutan yang ditindak secara hukum. Padahal, sebagai negara peng-emisi (emiten) ke-3 terbesar di dunia, emisi tersebut berasal dari praktek konversi lahan baik hutan alam maupun hutan rawa gambut untuk kepentingan investasi.
Pada sisi lain disinyalir kuat, bahwa lemahnya penerapan dan penegakan hukum erat kaitannya dengan pungutan liar (Korupsi). Data Sawit Watch menyebutkan bahwa biaya penerbitan izin lokasi untuk setiap hektarnya sebesar Rp. 500.000- Rp. 1 juta/ha (rata-rata Rp. 750 jt untuk izin lokasi seluas 1.000 ha). Bahkan dalam temuan lain, untuk menerbitkan izin lokasi seluas 1.000 ha berbiaya sampai Rp. 3 Milyar.
Fakta lain, aparat penegak hukum yang lebih berpihak ke Perusahaan perkebunan sawit dalam menindak lanjuti laporan pengaduan. Kepolisian lebih melayani laporan Perusahaan sawit. Keberpihakan yang sama juga di perpraktekan oleh pengadilan yang dicerminkan melalui putusan-putusannya. Bahkan Laporan pemerintah atas kejahatan perusahaanpun dikalahkan oleh pengadilan. Selain aparat penegak hukum, aparatur negara yang lain juga terbukti melanggengakan pelanggaran yang ada. Ini dapat di buktikan salah satunya dengan ketelibatan oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional yang merangkap sebagai Karyawan Perusahaan .
Oleh karena itu, tidak ada pilihan selain menindak tegas master mind mafia kehutanan, yang diduga terdiri dari: Korporasi, pejabat yang mengeluarkan izin tingkat nasional dan daerah yang melakukan pensiasatan hukum untuk meloloskan izin/konsensi hutan tertentu, atau aktor penegak hukum yang bermain dengan koorporasi dan pejabat negara/daerah. (rls)
sumber: Tribun Pekanbaru Kamis, 4 Februari 2010 |