๐๐ž๐ฆ๐ค๐š๐› ๐“๐จ๐›๐š ๐‡๐š๐ซ๐ฎ๐ฌ ๐๐ž๐ซ๐ญ๐š๐ง๐ ๐ ๐ฎ๐ง๐  ๐‰๐š๐ฐ๐š๐› ๐š๐ญ๐š๐ฌ ๐Š๐ž๐ค๐ž๐ซ๐š๐ฌ๐š๐ง ๐๐ž๐ซ๐ฎ๐ฅ๐š๐ง๐  ๐ญ๐ž๐ซ๐ก๐š๐๐š๐ฉ ๐Œ๐š๐ฌ๐ฒ๐š๐ซ๐š๐ค๐š๐ญ ๐€๐๐š๐ญ ๐๐š๐ญ๐ข๐ง๐ ๐ ๐ข๐ซ.

Rilis KSPPM

Pemerintah Kabupaten Toba tidak bisa terus-menerus menghindari tanggung jawab atas kekerasan yang terus berulang terhadap masyarakat adat, khususnya terhadap masyarakat adat Natinggir hari ini. Kekerasan yang terjadi hari ini bukanlah insiden tunggal atau kebetulan belaka, melainkan konsekuensi dari pembiaran struktural yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap hak-hak masyarakat adat yang telah lama terabaikan.

Sejak tahun 2019, masyarakat adat Pomparan Ompu Raja Naso Malo Marhohos Pasaribu di Natinggir, telah menyampaikan permohonan resmi kepada Pemerintah Kabupaten Toba untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas identitas dan wilayah adat mereka. Namun hingga kini, tidak ada satu pun keputusan atau langkah konkret yang diambil oleh pemerintah daerah untuk merespons permohonan tersebut. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya: masyarakat terus-menerus dihadapkan pada intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan dari pihak perusahaan, yaitu PT Toba Pulp Lestari (TPL), yang mengklaim sepihak wilayah adat sebagai konsesi mereka.

Upaya masyarakat tidak berhenti hanya pada surat permohonan. Pada tahun 2021, pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bersama Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sumatera, Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH), Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, dan Pemerintah Kabupaten Toba sendiri telah membentuk tim terpadu untuk melakukan verifikasi dan identifikasi terhadap 18 komunitas adat, termasuk masyarakat adat Natinggir. Hasil verifikasi menyatakan bahwa masyarakat Natinggir memang memenuhi syarat sebagai masyarakat hukum adat dan direkomendasikan untuk melakukan penyelesaian batas wilayah dengan Desa Simare.

Rekomendasi ini langsung ditindaklanjuti oleh masyarakat. Dalam waktu satu minggu setelah verifikasi, masyarakat adat Natinggir dan Desa Simare telah mencapai kesepakatan mengenai batas wilayah adat, yang dituangkan dalam Berita Acara (BAP). Dokumen ini telah diserahkan kembali kepada tim terpadu dan kepada Pemerintah Kabupaten Toba.

Namun, alih-alih menindaklanjuti hasil kerja tim yang justru melibatkan lembaga negara dan kementerian teknis, Pemerintah Kabupaten Toba justru terkesan mengabaikannya. Tidak ada kejelasan, tidak ada tindak lanjut, tidak ada keputusan. Pemerintah daerah seolah menutup mata dan telinga atas proses panjang yang telah ditempuh masyarakat dan lembaga negara, serta atas risiko kekerasan yang terus dialami masyarakat di lapangan.

Padahal, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, khususnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah kabupaten memiliki kewenangan dan tanggung jawab penuh untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adatnya. Dalam praktiknya, banyak pemerintah daerah lain yang sudah menjalankan mandat ini, seperti Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan yang telah mengakui masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta, serta Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara yang telah menerbitkan SK pengakuan terhadap beberapa komunitas adat lainnya.

SK pengakuan dari pemerintah kabupaten adalah syarat utama agar Kementerian LHK dapat menetapkan wilayah tersebut sebagai hutan adat. Tanpa SK ini, wilayah adat masyarakat adat Natinggir tetap berada dalam status “kawasan hutan negara”, yang mempermudah perusahaan seperti TPL masuk dan mengeksploitasi lahan tanpa izin dan persetujuan dari masyarakat.

Kegagalan Pemkab Toba untuk menerbitkan SK pengakuan ini bukan hanya bentuk kelalaian administratif, tetapi bisa disebut sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, karena telah membiarkan masyarakat hidup dalam situasi yang penuh ancaman dan kekerasan. Kekerasan yang terjadi di Natinggir hari ini merupakan akibat langsung dari ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri, dan bentuk pembiaran terhadap praktik-praktik kolonial yang terus dilakukan oleh perusahaan atas nama โ€œpembangunanโ€ dan โ€œkonsesi negaraโ€.

Sudah terlalu lama masyarakat adat menjadi korban dalam diam. Sudah terlalu lama pemerintah daerah bersembunyi di balik birokrasi tanpa keberpihakan nyata. Saatnya Pemerintah Kabupaten Toba menghentikan praktik pembiaran ini dan menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya: mengakui, melindungi, dan menghormati hak-hak masyarakat adat. Setiap hari penundaan adalah satu hari tambahan bagi kekerasan, intimidasi, dan pelanggaran hak yang terus berlangsung di atas tanah leluhur masyarakat adat Natinggir.

Rocky Pasaribu

Direktur KSPPM

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *