Banjir di Riau Bukan Murni Bencana Alam
Korporasi yang Tebangi Hutan Alam Penyebab Utamanya
Dalam 6 tahun terakhir banjir telah menelan setidaknya 8 korban jiwa.
Tak hanya status siaga banjir, harus ada aksi nyata pemerintah untuk menyelesaikan
persoalan banjir di Riau.
Pendahuluan
Dalam 6 tahun terakhir—periode 2019 – 2024—banjir yang terjadi di Riau semakin memprihatinkan. Hasil penelusuran Jikalahari, ada 261 kejadian banjir di 592 lokasi tersebar di seluruh kabupaten/kota di Riau. Kejadian banjir terbanyak terjadi pada 2023 mencapai 79 kali di 142 lokasi. Bahkan banjir juga menelan korban jiwa. Enam warga meninggal dunia pada 2019—lima orang di Rokan Hulu, satu di Kuantan Singingi[1]— dan dua orang lainnya pada awal 2024—Pekanbaru dan Rokan Hilir—terseret arus banjir[2]. Kejadian banjir paling banyak berada di Kabupaten Rokan Hulu, dan paling sedikit di Kota Dumai.
Semakin masifnya banjir yang terjadi di Riau sejalan dengan makin banyaknya hutan alam yang telah hilang, dibabat habis korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Hutan-hutan alam dengan tegakan besar jelas berperan penting sebagai tempat resapan air, menjaga kestabilan tanah, mengurangi volume atau kecepatan aliran air dan mengatur siklus hidrologi—pergerakan, distribusi dan kualitas air di tanah (Fitriandhini, D., & Putra, A, 2022). Dengan berkurangnya hutan, maka terjadi perubahan pada siklus hidrologi. Hutan yang awalnya berperan dalam menyerap air dalam jumlah besar, ketika hilang, tidak lagi dapat menyerap air secara maksimal dan dengan cepat air akan mengalir di permukaan dan mengakibatkan banjir (Bradshaw, 2009).
Karena ulah manusia, penebangan hutan alam secara bar-bar, tidak memperhatikan keseimbangan lingkungan, akhirnya membuat ekosistem hutan kehilangan kemampuannya (terdegradasi) dan tidak mampu mencegah terjadinya banjir. Banjir ini jelas bukanlah bencana alam, melainkan kejadian yang diakibatkan oleh ulah manusia. Korporasi HTI dan perkebunan sawit punya andil besar karena turut serta menyebabkan hilangnya hutan alam di Riau secara masif.
Dari hasil analisis Jikalahari, tutupan hutan alam di Riau telah hilang seluas 2.556.179 ha sepanjang 2000 – 2023, ini setara dengan dua kali luas Kabupaten Pelalawan. Bahkan 50% hutan alam yang hilang ini berada dalam kawasan 215 perusahaan HTI dan perkebunan sawit. Kini hutan alam yang tersisa di Riau hanya seluas 1.377.884 ha[3] atau seluas Kabupaten Pelalawan.
Apa yang telah dilakukan pemerintah menyikapi persoalan ini?
Banjir yang terjadi dalam 6 tahun belakangan ini saja sudah menimbulkan 8 korban jiwa meninggal, lebih dari 800 ribu jiwa terdampak hingga mengungsi serta 140 ribu unit rumah mengalami kerusakan ringan hingga berat akibat terendam banjir.
Sayangnya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau hanya melakukan upaya berkaitan dengan pemantauan kondisi terkini pasca banjir terjadi, menyebarkan informasi peringatan dini kepada masyarakat, melakukan evakuasi dan mendirikan tempat pengungsian, dapur umum dan pos pelayanan kesehatan untuk warga terdampak. Selain itu penyediaan dan distribusi logistik, perahu karet, posko terpadu, pengaturan proses belajar mengajar hingga penetapan status siaga darurat bencana, inilah hal-hal yang telah dilakukan oleh Pemprov Riau[4].
Hal yang selalu dilakukan oleh pemerintah, hanyalah menyentuh persoalan hilir ketika banjir telah terjadi. Penetapan status siaga darurat banjir juga setelah melihat beberapa daerah yang dilanda banjir. Namun belum ada aksi konkret yang dilakukan pemerintah kala banjir belum terjadi. Pemerintah tidak melakukan aksi koreksi dengan mencari apa saja faktor-faktor yang menyebabkan banjir, selain karena curah hujan yang meningkat kala musim penghujan datang.
Upaya paling jelas yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan merencanakan penataan ruang yang baik, di mana dengan jelas memisahkan kawasan permukiman, industri, serta areal lindung yang akan menjadi tempat untuk resapan air. Pembatasan pembangunan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) juga menjadi tugas pemerintah dalam melakukan pengawasannya.
Tak hanya itu, review perizinan terhadap korporasi yang menggunakan lahan secara tidak lestari adalah kunci terpenting. Meninjau kembali Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) perusahaan serta implementasi di lapangan menjadi salah satu tolok ukur apakah perusahaan memang memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan. Pemprov Riau juga perlu mengusulkan secara tegas kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan, Kementerian ESDM dan Kementerian ATR/BPN untuk mereview hingga mencabut izin perusahaan yang berkontribusi terhadap terjadinya banjir.
Bagi perusahaan yang jelas-jelas telah banyak menebangi hutan dan mengakibatkan deforestasi hingga berdampak pada meningkatnya dampak banjir, dorongan untuk dilakukan penegakan hukum harus gencar disuarakan.
Banjir bukan hanya sebatas persoalan berhenti membuang sampah ke sungai. Ada hal lainnya yang menjadi sebab musabab mengapa banjir dari tahun ke tahun semakin meluas baik areal yang dilanda ataupun dampaknya terhadap masyarakat. Dalam brief ini, Jikalahari paparkan beberapa analisis dan temuan terkait dengan banjir di Riau.
[1] https://www.antaranews.com/berita/1217203/enam-warga-meninggal-akibat-banjir-dan-longsor-di-riau
[2] https://news.detik.com/berita/d-7119436/2-orang-tewas-akibat-banjir-di-riau
[3] Analisis Jikalahari dari olah citra satelit Sentinel-2
[4] https://www.infopublik.id/kategori/nusantara/818508/gubernur-riau-sampaikan-upaya-pemerintah-tangani-banjir