PEKANBARU–MI: Sekitar 1.000 warga lima desa di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (8/1), berikrar menyelamatkan 700 ribu hektare kawasan gambut di Semenanjung Kampar.
PEKANBARU–MI: Sekitar 1.000 warga lima desa di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau, Jumat (8/1), berikrar menyelamatkan 700 ribu hektare kawasan gambut di Semenanjung Kampar.
Warga menolak kawasan yang memiliki kubah gambut terdalam di dunia atau hingga 20 meter itu dikonversi menjadi hutan tanaman industri (HTI). Mereka adalah warga Desa Teluk Meranti, Pulau Muda, Pulau Binjai, Kuala Panduk, dan Desa Segamai.
Ikrar penyelamatan Semenanjung Kampar dibacakan oleh tokoh masyarakat Teluk Meranti Rustam. Segenap masyarakat yang menghadiri acara ikrar di lapangan sepak bola Kecamatan Teluk Meranti turut mengikuti. Isi ikrar menyatakan masyarakat berjanji akan memperjuangkan kawasan hutan seberang atau Semenanjung Kampar karena daerah ini adalah hak masyarakat.
“Bersamaan ini kami juga membentuk forum komunikasi perjuangan semenanjung kampar. Semoga forum ini dapat memperjuangkan aspirasi masyarakat,” ujar Rustam.
Saat ikrar berlangsung, hadir pula Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional (DKN) Taufik Halimi, Wakil Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Riau (FKPMR) Edyanus Herman Halim, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau Hariansyah Usman, Direktur Social Development Partnership (Scal Up) dan sejumlah perwakilan LSM, dan tokoh masyarakat Teluk Meranti.
Dalam sambutannya Ketua Harian DKN Taufik Halimi mengatakan perlunya usaha konkret dalam penyelamatan kawasan hutan di Indonesia, termasuk kawasan Semenanjung Kampar yang merupakan lahan gambut yang dilindungi karena memeliki kedalaman lebih dari tiga meter.
“Saya datang langsung ke sini untuk mendengarkan secara langsung keinginan masyarakat dalam usaha penyelamatan hutan. Suara ini akan saya sampaikan kepada Menteri Kehutanan (Menhut) di Jakarta,” kata Taufik.
Ia mengungkapkan, laju kerusakan hutan di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Penyebab utamanya antara lain karena banyaknya tumpang tindih dalam masalah perizinan.
“Hal itu lantas menyebabkan meningkatnya konflik sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan,” ujarnya.
Sebagai rumah pengaduan, katanya, DKN akan menampung semua aspirasi yang disampaikan masyarakat maupun dari perusahaan. “Pendekatan yang paling benar itulah yang dapat kita pakai sebagai rekomendasi untuk pemerintah. Keputusan akhir ada di tangan Menhut,” ujar Ketua DKN yang dibentuk pada 2006 itu. (RK/OL-01)