—Alasan Penting Untuk Melindungi Tanah Gambut di Hutan Hujan Indonesia —-
Selama ini semua orang berpikir, bahwa yang menyebabkan kebakaran di Gunung Australia adalah gunung berapi. Kemudian para ilmuwan menyadari bahwa asap berasal dari batubara yang terbakar di bawah tanah, di lapisan batubara yang kompleks yang telah terbakar sejak 6000 tahun lalu, namun masih tetap menyala.
—Alasan Penting Untuk Melindungi Tanah Gambut di Hutan Hujan Indonesia —-
Selama ini semua orang berpikir, bahwa yang menyebabkan kebakaran di Gunung Australia adalah gunung berapi. Kemudian para ilmuwan menyadari bahwa asap berasal dari batubara yang terbakar di bawah tanah, di lapisan batubara yang kompleks yang telah terbakar sejak 6000 tahun lalu, namun masih tetap menyala.
Sejak itu kami telah menemukan, ribuan kebakaran di lapisan batubara di bawah tanah, di beberapa bagian berbeda di dunia. Wilayah Jharia di India mengalami 68 kali kebakaran besar di area mencakup 450 km2. Di China diperkirakan, kebakaran lapisan batubara tersebut setiap tahunnya membakar 200 juta ton batubara.
Indonesia, bagaimanapun juga, memiliki kebakaran lapisan batubara yang lebih banyak dibandingkan negara-negara lain. Di awal abad ini sebuah tim yang dipimpin oleh Alfred Whitehouse (dari Kantor Negara Urusan Pertambangan Permukaan, AS) menunjukkan kebakaran batu bara besar di Kalimantan Timur. Gedung Putih mempublikasi pada tahun 2004, dari hasil sebuah penelitian dia mengatakan bahwa setidaknya di Kalimantan Timur sendiri terjadi 3000 kebakaran di lapisan batubara. Namun dia mengatakan bahwa jumlah ini masih lebih sedikit dari jumlah sebenarnya. Jumlah sebenarnya sangat mencengangkan dan tidak seorangpun akan percaya. Mengacu pada Gedung Putih jumlah resmi kebakaran lapisan batubara di Indonesia hanya sekitar satu persen dari yang sebenarnya terjadi.
Investigasi mendalam di beberapa area berhasil mengidentifikasi jumlah yang mengejutkan dari kebakaran lapisan batubara. 125 kebakaran terpisah ditemukan selanjutnya di jalan di Balikpapan-Samarinda . Mengacu kepada beberapa hasil perkiraan yang dipublikasi setidaknya ada 100.000 atau bahkan 250.000 kebakaran lapisan batubara di Indonesia, di Kalimantan dan Sumatera.
Belum ada seorangpun yang mampu mengembangkan cara perhitungan yang dapat dipercaya mengenai jumlah CO2 yang dihasilkan dari kebakaran lapisan batubara yang terjadi. Namun satu hal yang pasti bahwa kebakaran lapisan batubara ini menghasilkan CO2 dalam jumlah yang sangat besar. Kebakaran ini juga melepaskan GRK yang lain seperti Metana, dan unsur lain yang menyebabkan pemanasan global seperti Carbon Monoksida dan Hidrogen bebas.
Karbon Monoksida menyebabkan suhu tinggi karena bersaing dengan methane terhadap jumlah radikal hidroksil yang terbatas, dan ini meningkatkan siklus metan di udara. Hidrogen bebas sesuai dengan sifatnya akan naik ke stratosfer sebelum bereaksi dengan ozon dan menghasilkan uap air. Proses ini menghasilkan awan cirrus yang sangat tinggi dan tinggal lama, yang pada akhirnya memberikan dampak pemanasan dalam iklim dunia.
Selain berdampak besar pada komponen yang menyebabkan pemanasan global, kebakaran lapisan batubara juga menghasilkan sejumlah komponen setidaknya 60 senyawa kimia jahat, yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti xylene, benzena dan toluena.
Jika kebakaran yang terjadi sangat dekat dengan permukaan, akan menghasilkan asap yang dapat terlihat. Namun jika kebakaran terjadi di lapisan yang lebih dalam, lebih sering tidak ada asap, namun karbon dioksida dan semua racun kimia masih dapat meresap melalui tanah menuju udara. Bahkan kebakaran yang sangat panas yang membakar jauh ke dalam tanah dapat meningkatkan suhu tanah permukaan beberapa derajat, hal ini menyebabkan kesulitan untuk menentukan lokasi kebakaran tanpa analis yang dapat mengambil anomali/puncak di atmosfer kandungan karbon monoksida dan metan.
Sebagian besar dari 250.000 kebakaran lapisan batubara di Indonesia mungkin masih kecil, namun mereka secara bertahap dapat berubah menjadi lebih besar jika mereka tidak dipadamkan. Di AS kebakaran lapisan batubara di Centralia berubah menjadi besar, dan segala upaya untuk memadamkan kebakaran tersebut gagal. Api menyebar di bawah kota kecil yang mengakibatkan penduduk harus dievakuasi karena bangunan dan jalan mulai runtuh, dan emisi karbon monoksida merembes ke dalam tanah menuju udara meningkat sehingga masyarakat mulai kesulitan bernafas.
Semakin panas api, akan semakin sulit untuk dipadamkan. Beberapa jenis dari batubara dapat menyala secara spontan hingga 40 Celcius, jika mereka bersentuhan bahkan dengan sedikit udara dan oksigen sehingga mineral pirit dan sulfit yang ada mulai teroksidasi. Namun, ketika kebakaran mulai mencapai suhu 450 Celcius, akan menjadi sangat sulit memecah air menjadi Hidrogen dan Oksigen. Dengan kata lain, beberapa kebakaran menghasilkan ‘singas’ (gas berbahaya terdiri dari karbon dioksida, hidrogen bebas, metan, dan karbon monoksida) seperti proses gasifikasi batubara bawah tanah. Kebakaran lapisan batubara; tentu saja, tidak menghasilkan gas-gas tersebut yang membuat batubara dapat digunakan untuk mesin mobil atau stasiun pembangkit listrik dari panas; namun melepaskan mereka ke atmosfer. Akan lebih mudah untuk memadamkan kebakaran tersebut sesegera mungkin, sebelum mencapai pusat kota Centralia.
Tapi bagaimana mungkin banyak sekali kebakaran lapisan batubara di Indonesia?
Ada tersedia batu bara coklat dalam jumlah banyak di tanah gambut Indonesia. Dalam tabel resmi yang dikeluarkan Indonesia memiliki kandungan batu bara sekitar 25 Miliar ton, namun jumlah ini masih lebih sedikit dari satu persen dari jumlah yang sebenarnya di bawah lapisan gambut. Tidak ada yang memetakan simpanan kandungan batubara coklat yang berada di bawah tanah gambut Indonesia, namun tidak akan terjadi kebakaran laipsan batubara tanpa ada lapisan batubara di tanah.
Sekarang kita ketahui, sebagai contoh, setidaknya ada 3.000 Miliar (3.000.000 juta) ton batubara di area pesisir Norwegia, karena perusahaan minyak dan gas telah mengebor 600 lubang di dasar laut Norwegia.
Kandungan batubara di bawah tanah gambut Sumatera, Kalimantan dan Papua bisa jadi lebih besar dari yang dimiliki Norwegia, karena selama 40 juta tahun Indonesia telah menjadi “Pabrik Batubara Terbesar di Dunia”. Selama kurun waktu tersebut terdapat lapisan es di bumi, dan lapisan es tersebut menyusut dan bertambah, mengakibatkan permukaan laut naik dan turun, secara terus menerus, selama ratusan kali. Ketika tanah gambut telah tenggelam, lapisan pasir, garam, karang dan kerangka skeleton dan endapan lain menutup gambut tersebut. Hasil akhirnya akan terbentuk lapisan tebal dari batu bara coklat dan batu kapur.
Kemampuan batubara untuk menyala sendiri ketika terbuka ke udara tergantung kepada kandungan konsentrasi pirit dan sulfid. Karena Indonesia memiliki gunung berapi dalam jumlah banyak, kandungan batubara juga mengandung senyawa sulfur dalam jumlah yang luar biasa. Dengan kata lain, batubara Indonesia memiliki kemampuan untuk menyala yang sangat tinggi, secara spontan.
Lapisan tebal dari gambut basah di area batubara harusnya membentuk penutup udara yang mencegah lapisan batu bara memperoleh udara. Tanah gambut juga cenderung meningkatkan tabel air di wilayah sekitarnya yang lebih luas. Tanah gambut relatif dapat mempengaruhi sistem hidrologi area yang lebih luas dalam hal yang positif. Sepanjang tabel air masih cukup tinggi, lapisan batubara tidak dapat terbakar/menyala. Namun, pengeringan dan penggalian parit lahan gambut untuk industri bubur kertas dan perkebunan sawit dan untuk lapangan menurunkan tabel air, karena sebagian besar presentase air hujan mengalir langsung ke sungai dan selanjutnya ke laut. Sumur gali dan sumur lain untuk sumber irigasi sawah atau kebun dapat mempengaruhi kepada hal yang sama. Pembukaan hutan hujan secara total dapat mengurangi curah hujan. Juga memberi akses terbuka kepada sinar matahari langsung, yang dapat melipatgandakan penguapan air.
Jika tabel air menurun dalam jumlah tinggi, sejumlah lapisan batubara akan terbuka ke udara dan menyala secara spontan, pada saat mineral pirit dan sulfida teroksidasi. Dan, sejumlah kebakaran lapisan batubara bisa saja dimulai dengan adanya kebakaran hutan dan gambut, dan dengan pembukaan lahan dengan cara dibakar dari hutan menjadi lahan terbuka atau perkebunan.
Di lain pihak, jika lapisan batubara mendekati permukaan selama musim kemarau, ini dapat membakar hutan atau membakar gambut, yang mana, pada gilirannya, dapat menyalakan beberapa lapisan batubara yang baru. Proses yang terjadi dapat menjadi, dan memang, adalah lingkaran setan dengan proporsi siklus yang mengerikan. Jika hutan gambut Indonesia yang masih ada terus dibuka dan dikeringkan, sejumlah kebakaran lapisan batubara akan meningkat, dan banyak kebakaran akan menjadi makin besar suatu saat nanti, ketika kanopi mereka runtuh dan api memperoleh udara, dan ketika api menyebar ke arah baru. Tidak ada yang mengetahui secara tepat berapa jumlah karbon dioksida yang dihasilkan oleh kebakaran besar seperti itu, namun yang pasti jumlahnya sangat besar, lebih besar dari jumlah yang dilepaskan dari kebakaran gambut.
Ini akan menjadi sangat penting untuk memadamkan kebakaran yang sudah terjadi, sesegera mungkin, sebelum menjadi bertambah panas, dan bahwa sejumlah besar ‘singas’ (gas berbahaya) akan dihasilkan selama musim hujan dan dipancarkan langsung ke atmosfer.
Beberapa cara yang mungkin dilakukan untuk menanggulangi kondisi tersebut diantaranya:
- Memetakan kebakaran yang terjadi
- Melindungi lahan gambut hutan hujan yang masih tersisa dan tanah gambut lain (bahkan lahan gambut dangkal juga penting)
- Merehabilitasi dan mengembalikan setidaknya lahan gambut yang rusak kembali ke lahan gambut atau ke lahan gambut hutan hujan, dimanapun ini diperlukan untuk menaikkan tabel air sehingga api batubara akan padam.
Kebakaran lapisan batubara yang pada akhirnya menghasilkan sejumlah gas yang mengakibatkan perubahan iklim adalah sebuah hal baru, dapat digunakan sebagai alasan tambahan dalam mendukung upaya penyelamatan dan perlindungan lahan gambut hutan hujan dan lahan gambut lainnya di Indonesia.
Penting juga untuk memetakan wilayah dalam luasan kecil, dipilih secara acak dengan alat analisa yang dapat mendeteksi puncak secara lokal terhadap kandungan metan, karbon monoksida, dan konsentrasi karbon dioksida. Jika api di permukaan tidak terlihat dan tidak ada lalu lintas namun banyak karbon dioksida di udara, sangat mungkin terjadi kebakaran kecil di lapisan batubara di bawah tanah. Jika kebakaran di beberapa area tertentu dapat diidentifikasi dan dimonitor, ini dapat memberikan banyak informasi tentang bagaimana kondisi berkembang. Jika area tertentu dicek setiap tahun atau setiap 2 tahun, akan mungkin melihat apakah jumlah kebakaran meningkat, apakah api menjadi bertambah besar dan apakah api menjadi bertambah panas (kondisi dari jumlah emisi yang terdeteksi semestinya memberikan gambaran tentang ini).
Lagipula, masuk akal untuk menyelidiki tentang bagaimana gambut yang tersisa secara luas mempengaruhi ketinggian tabel air di wilayah sekelilingnya. Katakanlah ada lahan gambut hutan hujan yang mencakup misalnya 200.000 ha lahan, dan dikelilingi oleh jutaan hektar gambut dangkal. Jika hutan hujan memiliki kemampuan untuk meningkatkan tabel air dalam radius ratusan kilometer, ini juga akan memberikan peran penting dalam mencegah terbakarnya lapisan batubara di area 3.000.000 ha.
Contoh ini tidak nyata, hanya hipotesis berdasarkan udara yang sedikit, jadi tidak perlalu terlalu serius pada angka-angka tersebut. Saya tidak memiliki data tentang kondisi ini, jadi saya tidak mengetahui sejauh mana pengaruh lahan gambut hutan hujan (dalam kasus tabel air) dalam menaikkan tabel air. Namun bisa saja terjadi seperti ini, dan ini akan sangat bermanfaat untuk mempelajari isu ini, lebih jauh lagi.
Beberapa bagian dari perubahan sedikit spekulatif, secara alami, namun isu ini adalah nyata dan paling mungkin dari yang penting.
Sumber : Risto Isomaki, The Siemenpuu Foundation, Oktober 2010