CATATAN AKHIR TAHUN 2006 JIKALAHARI
RIAU PANEN BENCANA K2I
(Kebanjiran, Kabut Asap dan I/Legal Logging)
Riau dulu jelas beda dengan sekarang, kondisi ini terjadi dalam banyak hal tergantung cara pandang yang kita gunakan. Dari cara pandang moderenisasi yang menitikberatkan kemajuan secara fisik, jelas Riau jauh lebih maju dan gemerlap layaknya kota besar lainnya. Dari segi tingkat pendidikan, jelas generasi sekarang lebih tinggi dari kondisi sebelumnya. Begitu juga kalau dilihat dari jumlah APBD, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Namun tidak demikian halnya jika kita bicara soal kondisi kualitas lingkungan dan Hutan serta kesejahteraan masyarakat.
Sebuah realitas yang sangat menyedihkan, sekaligus menjadi pertanda buruknya kebijakan negara dalam pengelolaan Lingkungan dan Hutan dipertontonkan dengan bencana banjir dan Asap sepanjang tahun 2006. Begitu pula dengan kebijakan pemberantasan Illegal Logging, sangat jauh dari memuaskan dan cendrung menuju kerusakan yang semakin parah.
Banjir yang melanda 8 Kabupaten/Kota pada Desember 2006 ini adalah bukti nyata betapa kondisi Lingkungan dan Hutan di Riau rusak parah akibat eksploitasi secara Illegal maupun legal (HTI, HPH, IPK dan Perkebunan Sawit Skala Besar). Eksploitasi Hutan telah menghilangkan Kawasan tangkapan Air di 4 DAS Utama (Daerah Aliran Sungai) di Provinsi Riau, sehingga Banjir semakin parah melanda desa-desa di sepanjang DAS di Kabupaten Rokan Hulu, Rokan Hilir, Kampar, Pekanbaru, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir. Kondisi 4 DAS Utama tersebut terlampir pada Peta 1.
- Bencana Banjir
Riau telah kehilangan Hutan Alam seluas 3,3 Juta hektar sepanjang 20 tahun terakhir ini. Kehilangan ini terkait erat dengan maraknya investasi sektor kehutanan dan perkebunan yang mulai marak di Riau sejak tahun 1980-an. Hingga saat ini sektor kehutanan di Riau membutuhkan 23,5 juta meter kubik setiap tahunnya dan baru 3 juta meter kubik yang bisa diproduksi dari Hutan Tanaman. Kebutuhan kayu terbesar di Riau didominasi oleh Perusahaan Pulp dan Paper (RAPP dan IKPP) yaitu sebesar 18 meter kubik pertahun, sisanya oleh perusahan plywood, sawmill, dan moulding. Kehilangan Hutan diperparah lagi oleh maraknya aktifitas Illegal logging oleh masyarakat sekitar hutan dan Pendatang yang dimobilisasi cukong. Aktifitas Illegal logging ini memiliki kaitan erat dengan adanya akses yang dibuka oleh Perusahaan yang mengantongi izin penebangan legal seperti HPH, HTI, IPK dan Perkebunan Besar, baik berupa akses jalan, Parit/kanal maupun pelabuhan. Kayu hasil illegal logging juga tidak jarang justru ditampung oleh perusahaan setelah melalui pemalsuan dokumen SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan). Kayu-kayu ini juga seringkali diselundupkan ke Luar Negeri oleh cukong-cukong kayu yang bersekongkol dengan Tim 9 (Perwakilan Dinas Kehutanan Riau, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Polda Riau, Kejati Riau, Lanal Dumai, Polairud Riau, Bea Cukai Pekanbaru, Adpel Pekanbaru dan Karantina Tumbuhan) dan Petugas Bea Cukai Pelabuhan.
Penebangan legal dan illegal tersebut telah menyebabkan kawasan hutan alam yang bernilai konservasi tinggi secara fungsi ekologi dan sosial hilang. Akibatnya air hujan tidak lagi terserap ke dalam tanah dan langsung mengalir mengikis permukaan tanah (run off) ke badan sungai, sehingga sungai-sungai maupun daerah resapan air mengalami pendangkalan. Pada Saat Curah hujan tinggi akumulasi air ke badan sungai akan gampang meluap dan kawasan bertofografi lereng/berbukit akan gampang longsor.
Terdapat 4 DAS utama di Riau yang sangat menentukan dalam setiap kali terjadi bencana banjir yaitu DAS Rokan, Kampar, Siak dan Indragiri. Dari ke 4 DAS tersebut hanya DAS Siak yang 100% berada di Provinsi Riau, DAS Rokan 15% berada di Sumatera Utara, 5% di Sumatera Barat dan sisanya 75% di Riau. DAS Kampar 8% berada di Sumatera Barat dan sisanya 92% di Riau, sedangkan DAS Indragiri 32 % di Sumatera Barat dan sisanya 72% di Riau (BP DAS Riau, 2005). Dengan kondisi seperti ini berarti banjir di Riau juga dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan kawasan Hutan di Hulu DAS di Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Aktiftas Illegal Logging juga telah menyebabkan sebagian besar kawasan konservasi di Riau Rusak Parah. Sebut saja seperti Kawasan Hutan Mahato dan Bukit Suligi di Rokan Hulu, Bukit bungkuk dan Bukit Rimbang Baling di Kampar, Bukit Rimbang Baling dan Bukit Betabuh di Kuantan Singingi, dan Kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Indragiri Hulu. Semua Kawasan ini telah mengalami kerusakan dan bahkan berubah fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit. Padahal fungsi kawasan tersebut sebagai pengatur siklus hidrologi sangatlah penting. Data lengkap kondisi tentang kawasan konservasi dapat dilihat pada Lampiran Tabel 1.
Banjir menyebabkan pemborosan Anggaran
Banjir yang terjadi setiap tahun di Riau merupakan Panen Bencana yang harus diterima masyarakat Riau, padahal persoalan utamanya terletak pada kebijakan kehutanan yang salah sejak awal. Kebijakan yang melihat hutan ’melulu’ sebagai sumber ekonomi/devisa yang dalam prakteknya dipercayakan pada tangan-tangan korporasi. Pemerintah belum menempatkan pertimbangan dari sisi ekologis sebagai aset yang harus dijaga. Padahal ketika Bencana Banjir dan Tanah Longsor melanda tidak sedikit anggaran yang harus dikeluarkan. Pada tahun 2003, Banjir yang melanda 7 Kabupaten Kota di Riau telah menghilangkan sedikitnya 841 Milyar atau 51 % dari nilai APBD Provinsi Riau Tahun 2002 (Greenomics Indonesia, 2004), Lihat perinciannya pada Lampiran tabel 4. Kerugian ini sangat memperihatinkan lagi jika melihat korban jiwa yang terjadi pada setiap kali banjir. Melihat pada fakta tersebut, maka Bencana Banjir Tahun 2006 yang telah menenggelamkan sedikitnya 20.000 Rumah di 7 Kabupaten/Kota diperkirakan telah menyebabkan kerugian yang sama atau malah jauh lebih besar dari tahun 2003. Tentu saja ini bukan persoalan sepele, karena kerugian ini harus ditutupi kembali dengan proyek-proyek pembangunan yang dianggarkan dari APBD atau APBN pada tahun berikutnya. Disinilah pemborosan anggaran terjadi dan berulang setiap tahunnya.
- Bencana Kabut Asap
Kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan di Riau sudah jadi agenda tahunan yang tak kunjung mereda. Tidak ada satupun pelaku pembakaran diproses hukum dan dijatuhi hukum. Kondisi ini menggambarkan “mandulnya” kinerja Penegak Hukum di Riau.
Pernyataan tersebut pantas diarahkan pada 10 perusahaan yang diadukan Bapedal Riau pada tahun 2004 yang kini dipeti-eskan. Perusahaan-perusahaan tersebut antara lain PT Mapala Rabda, PT Selaras Abadi Utama, PT Arara Abdi, PT Alam Sari Lestari, PT Ekadura Indonesia, PT Agro Raya Gematrans, PT Guntung Hasrat Makmur, PT Multy Gambut Industry, PT Tribuana Damai dan PT Jatim Jaya Perkasa. Dalam kasus ini kepada Bapedal Riau beberapa mengutarakan ke Publik bahwa kasus ini tidak dipetieskan tapi sedang dilengkapi berkasnya oleh PPNS Bapedal. Namun sampai kapan, kasus ini sudah berjalan 2 tahun. Apa iya penyidikannya tidak terselesaikan. Semua masih misteri hingga sekarang.
Inilah sebuah gambaran bagaimana Langkah-langkah yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan, terkesan basa-basi dan seremonial belaka, karenanya tidak pernah berhasil membuat jera pelaku pembakaran. Ambil contoh Peraturan Gubernur Riau nomor 6 tahun 2006 tanggal 24 Maret 2006 tentang pusat pengendalian kebakaran hutan dan lahan provinsi Riau dan Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara Pemerintah dengan seluruh perusahaan di Riau pada tanggal 10 mei 2006, keduanya merupakan langkah strategis, tapi ternyata masih terlihat “mandul” dalam implentasinya.
Perusahaan tidak terjerat
Jika dilihat menggunakan Citra Satelit setiap terjadi kabut asap di Riau, mayoritas titik api berasal dari Konsesi (lahan) milik perusahaan seperti Perkebunan Sawit, Hak Pemanfaatan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Fakta lain bahwa lahan yang terbakar mayoritas terjadi dilahan bergambut, sehingga api sangat sulit untuk dipadamkan karena api berada di bawah permukaan. Namun sekali lagi, fakta-fakta seperti ini tidak sejalan dengan fakta penegakan hukum. Pihak yang selalu dipersalahkan setiap kali terjadi kebakaran pasti Masyarakat, perusahaan-perusahaan besar tidak ada yang tersentuh satupun. Perusahaan-Perusahaan yang diindikasi kuat mengakibatkan kabut asap sepanjang tahun 2006 dapat dilihat dalam Lampiran tabel 2.
Dampaknya
Sepanjang Tahun 2006 menurut catatan Jikalahari, Walhi Riau dan WWF Riau pada Juli hingga Agustus 2006 terdapat sedikitnya 171.787 hektar hutan/lahan di Riau terbakar yang berasal dari 63 perusahaan meliputi Areal HTI seluas 46.179 hektar, Areal Perkebunan Sawit seluas 41. 370 hektar dan HPH seluas 38.637 hektar. Sementara dampak asap terhadap kesehatan sejak mei hingga september 2006 telah menyebabkan sedikitnya 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 terkena diare dan menceret (kompilasi dari berbagi sumber). Namun sekali lagi tak satupun diantara perusahaan tersebut yang diproses hukum.
Selain dampak langsung yang dapat dilihat secara kasat mata, kabut asap juga telah menyebab Peningkatan Suhu udara dari tahun ke tahun di Riau. Dalam 10 tahun terakhir Riau mengalami peningkatan Suhu yang sangat signifikan yaitu sebesar 2 derajat Celsius (BMG Pekanbaru, 2006). Peningkatan suhu ini sudah diluar ambang normal secara nasional yang hanya rata-rata 0,5-1 derajat Celsius. Peranan paling besar dalam peningkatan suhu ini erat kaitannya dengan terus bertambah besarnya volume asap di Udara. Grafik di atas menunjukkan suhu minimum yang terjadi di Riau sejak tahun 1976 yang dibuat oleh BMG Pekanbaru, dimana pada tahun 1996 suhu minimum 21,5 derajat Celsius terus meningkat menjadi 23,5 derajat Celsius pada tahun 2005.
Rekomendasi:
- Institusi penegak hukum harus melakukan pemeriksaan terhadap pimpinan perusahan yang di dalam arealnya terdapat titik api sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum. Hasilnya harus dibuka ke publik secara transparan.
- Bapedal Riau harus memberi penjelasan resmi ke publik soal hambatan yang menyebabkan kasus 10 perusahaan dipeti-eskan. Ini untuk menjawab spekulasi atas ’main mata’ PPNS Bapedal dengan perusahaan.
- untuk solusi preventif, Bappeda Riau selaku institusi yang bertanggungjawab dalam menyusun arah kebijakan penataan ruang harus membuat langkah antisipasi terjadinya kebakaran dengan cara membuat arahan proteksi (perlindungan) terhadap lahan-lahan gambut yang rawan terbakar.
- Illegal Logging
Tidak bisa dipungkiri terbitnya Instruksi Presiden nomor 4 Tahun 2005 Tanggal 18 Maret 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Indonesia, Kemudian ditambah lagi dengan surat edaran Gubernur Riau ke Seluruh Bupati dan Walikota Riau yang menginstruksikan pembentukan Tim Pembrantasan Illegal logging tingkat Kabupaten/Kota telah membuat para pelaku illegal logging di Riau mulai hati-hati untuk melakukan penebangan dan pengeluaran kayu.
Memang banyak pihak merasa pesimis penegak hukum mampu membrantas Illegal Logging di Riau, mengingat aktifitas ini sudah berjalan sejak puluhan tahun lalu, seiring dengan terbukanya akses jalan ke daerah-daerah potensial hutan alamnya yang saat itu mulai diberikan pemanfaatannya ke para perusahaan-perusahaan besar baik berupa HPH, HTI dan Perkebunan skala besar kelapa sawit. Celakanya pertumbuhan usaha kayu penggergajian (sawmill) juga berkembang dengan pesat mengiringi izin-izin perusahaan besar yang dikeluarkan pemerintah. Tercatat ada ratusan sawmill illegal yang ada di Riau saat ini (Jikalahari, 2006). Kondisi inilah yang telah membuka pasar kayu di Riau menjadi berkembang pesat dan gampang diakses oleh semua lapisan masyarakat. Akibatnya Riau Telah Kehilangan tutupan Hutan alam rata-rata 160.000 hektar setiap tahunnya, dan lebih dari 3,3 juta hektar dalam 20 tahun terakhir.
Cukong kayu illegal memang tidak gampang diketahui pengamatan kasat mata, karena si cukong berada di rantai teratas yang tidak pernah diketahui (apalagi dikenal secara fisik) oleh pelaku di lapangan. Cukong memiliki kaki tangan sebagai operator di lapangan, dan tidak jarang sang cukong memiliki perusahaan yang mengatasnamakan orang lain sehingga susah untuk dilacak. Inilah cara-cara cukong mengelabui pemerintah (penegak hukum) untuk terbebas dari jeratan hukum. Namun justru dengan kondisi seperti ini permainan antara cukong dan penegak hukum juga bisa berjalan aman tanpa diketahui publik. Disinilah letak pertanyaan mendasar kenapa di Riau tak ada cukong besar yang mampu ditangkap kepolisian daerah riau. Ada beberapa kemungkinan yang terjadi yaitu:
- karena kepolisian memang tidak mampu melacak bukti dan keberadaan sang cukong. Kemungkinan ini sering jadi alasan kepolisian, namun yang jadi pertanyaan besarnya kenapa intelijen di kepolisian tidak dipekerjakan secara maksimal, bukankah mereka memiliki kemampuan investigatif yang terlatih dan handal.
- karena kepolisian tidak memiliki dana yang cukup untuk menjalankan operasi. Hal ini juga selalu dijadikan alasan pihak kepolisian. Sementara Riau dengan anggaran mencapai 3 triliyun tahun 2006 banyak dihamburkan untuk prasarana pemerintah, bahkan hanya sedikit untuk prasarana publik. Kondisi ini sekaligus mementahkan alasan minimnya dana untuk pemberantasan illegal logging.
- karena oknum pemerintah memang melindungi para cukong. Kemungkinan ini telah menjadi pengetahuan umum. Isu sang cukong memiliki hubungan tertentu dengan pejabat tinggi di Riau sudah menjadi pengetahuan publik. Bahkan tidak jarang dilapangan sang pelaku atau kaki tangan cukong menyebut-nyebut nama pejabat tertentu sebagai beking-nya, baik di kepolisian, TNI, ataupun pejabat pemda (termasuk legislatif). Sang cukong biasanya telah memberikan jumlah setoran tetap kepada sang pejabat. Kondisi ini memang sulit dibuktikan oleh publik, karena memang ditutupi dengan rapi oleh oknum pejabat bersangkutan.
Ketiga skenario di atas tampak terjadi dalam kasus illegal logging di sungai gaung kabupaten indragiri hilir dan daerah hot spot illegal logging seperti Giam siak kecil dan Pulau Rupat (kab. Bengkalis) , Tesso nillo (Kab. Pelalawan, Kuansing, Indragiri Hulu dan Kampar), dan kuala kampar (Kab. Siak dan Pelalawan).
Penyelelundupan
Kayu-kayu hasil Illegal logging di Riau tidak hanya diperjualbelikan di dalam negeri, tetapi juga diselundupkan ke Malaysia dan Singapura untuk kemudian dilanjutkan ke China (kasus NG LION AN). Untuk dapat menyelundupkan kayu keluar negeri para cukong memiliki jaringan yang rapi dan bekerjasama dengan petugas untuk mendapatkan dokumen seperti SKSHH, Lolos pemeriksaan Tim 9 (9 institusi Pemerintah) dan PEB (pemberitahuan Ekspor Barang) dari Bea Cukai Pelabuhan. Sehingga cukup sulit mengenali mana kayu yang illegal dan mana yang legal, disamping dikarenakan ada persongkolan antara cukong dengan aparat. Terdapat 4 pintu utama penyelundupan di Riau yaitu Kuala Gaung Indragiri Hilir, Semenanjang Kampar di Kabupaten Pelalawan dan Siak, Siak Kecil dan Pulau Rupat di Kabupaten Bengkalis, dan Ujung Tanjung di Kabupaten Rokan Hilir. Dari kawasan ini kayu masuk ke Pelabuhan (Port) Klang dan Pelabuhan Pasir Gudang Malaysia, dan Pelabuhan Jurong Singapura. Posisi rinci tergambar dalam Lampiran Peta 2. Dalam beberapa kasus pelabuhan-pelabuhan tersebut hanya dipakai sebagai jalur transit untuk diteruskan ke negara lain seperti Shanghai China.
Kasus NG LION AN yang akan menyundupkan kayu gergajian jenis HS. 4407 ke China melalui Port Klang Malaysia adalah satu-satunya kasus penyelundupan kayu yang sempat diproses secara hukum, walaupun dalam perjalanannya penyidik (PPNS Dephut) tidak mampu melengkapi bukti-bukti yang menyakinkan Jaksa, sehingga NG LION AN dibebaskan demi hukum (habisnya masa penahanan 60 Hari). Terdapat banyak sekali kejanggalan dalam penanganan kasus ini, Kendati 9 Perusahaan pemilik asal kayu yang diselundupkan NG LION AN sudah nyata-nyata ditetapkan sebagai tersangka, namun anehnya Jaksa hanya menetapkan 1 Pemilik Perusahaan sebagai saksi kunci dalam kasus ini (lihat Lampiran Tabel 3). Jaksa ”ngotot” agar Penyidik memberkas ulang saksi kunci tersebut setelah hampir 1 tahun kasus berjalan. Sementara walaupun status tersangka disandang 9 pemilik perusahaan pihak kepolisian/PPNS tidak pernah menahan mereka. Sehingga ketika Jaksa meminta pemberkasan ulang yang bersangkutan sudah tidak bisa ditemui lagi. Dalam Kasus ini jelas tergambar ketidakseriusan kepolisian, kejaksaan dan PPNS. Bahkan diduga kuat pihak-pihak tersebut telah bersekongkol untuk membebaskan NG LION AN dari jeratan Hukum. Ini contoh potret hitam penegakan hukum bagi pelaku illegal logging di Riau, maka jangan heran tak satupun cukong besar yang masuk penjara. Hanya pelaku di lapis terbawah yang nota bene merupakan kelompok marginal yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara.
Rekomendasi :
Menyikapi realitas tersebut maka kami merekomendasikan :
- Jajaran petinggi Polda Riau harus melakukan pembersihan internal dari orang-orang yang terlibat Illegal Logging.
- Penegak Hukum melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap kebenaran keterlibatan oknum pejabat tinggi di Riau dalam melindungi praktek illegal logging dengan menggunakan segala instrumen hukum yang relevan seperti menggunakan UU nomor 25 tahun 2003 tentang tindak pidana penucucian uang (money loundryng) dan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
- Penegak Hukum melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap perusahaan-perusahaan besar kehutanan yang ada di Riau yang diindikasi melakukan penebangan dan menampung kayu hasil illegal logging.
- Mendesak Pemerintah provinsi Riau (termasuk DPRD Riau) untuk mendukung upaya pemberantasan Illegal logging baik secara politis maupun finansial.
- Meminta Pemerintah untuk membuat kebijakan pengelolaan dana hasil lelang kayu sitaan atau Barang Bukti Illegal logging untuk dialokasikan bagi operasi pemeberantasan Illegal logging.
- Meminta kepada presiden RI agar Menteri Kehutanan bertindak tegas (bukan melindungi) para oknum pejabat daerah yang telah mengeluarkan izin-izin kepada perusahaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum berlaku.
- Memprioritaskan penangkapan pelaku Illegal logging di tujukan untuk memutus mata rantai illegal logging yang dimulai dari pengusaha sawmill ke atas, dan bukan hanya pelaku operator lapangan (buruh tebang, sopir).