TELUK MERANTI, Sekitar 300 warga Teluk Meranti, menggelar ritual Tahlil Bianyut di atas ponton di Sungai Kampar, Pelalawan untuk meminta perlindungan kepada Allah SWT, Sang Penguasa Alam terkait dengan ancaman kerusakan alam yang timbul jika hutan mereka yan tersisa rusak oleh aktifitas perusahaan.
Sekitar jam 13.30 siang, masyarakat berbondong-bondong menuju pinggir Sungai Kampar lalu menaiki ponton ukuran 5×15 meter dan empat kapal 4×15 meter serta beberapa ukuran yang lebih kecil. Di atas ponton terdapat spanduk besar berwarna kuning bertuliskan Semenanjung Kampar Hak Kito Masyarkat Teluk Meranti.
Imam masjid Al-qohar, Buyung syahdu melantunkan sholawat nabi dan tahlil dengan pengeras suara yang diikuti masyarakat. Dalam tahlil tersebut, beberapa tokoh masyarakat membawa air minum dalam botol kemasan yang kemudian dibacakan zikir. Sementara pihak perempuan membawa makanan khusus untuk ritual, pisang dan beras yang digoreng, atau botih. Makanan itu sendiri berasal dari tanaman di hutan sebagai simbol kehidupan masih tersedia jika hutan tidak rusak.
Haji Rusman, tokoh masyarakat Teluk Meranti dalam pembukaan Tahlil Bianyut itu mengatakan masyarakat sudah tidak bisa lagi berharap pada pemerintah yang seharusnya melindungi mereka, juga kepada perusahaan yang terus ingin mengambil hak penguasaan hutan Semenanjung Kampar atau hutan seberang.
“Kita tidak bisa percaya lagi dengan pemerintah atau pihak lain. Hutan kita sudah terancam diambilalih dan dijadikan HTI sedangkan masyarakat tidak mendapatkan kompensasi yang adil. Sudah kepada semuanya kita mengadu, juga pada pemerintah namun tidak ada hasilnya. Makanya kita mengadu pada Tuhan,” ungkap Haji Rusman dalam rilis yang diterima Tribun, kemarin.
Saat ini ribuan masyarakat Teluk Meranti terus berjuang mempertahankan hutan Semenanjung Kampar yang kedalaman gambutnya mencapai 3 meter bahkan 16 meter dan menyimpan persediaan miliaran stok karbon dioksida. Hal ini diperkuat oleh hukum Indonesia yang melarang konversi lahan gambut di kedalaman lebih dari 3 meter.
Dalam ritual itu, masyarakat yang tidak ikut dalam acara secara khusus melakukan buang abu tungku dari pembakaran di dapur ke sungai. Hal itu dilakukan sebagai simbol membuang petaka. Acara itu sendiri berlangsung hingga jam 16.00 dan masyarakat kembali merapat ke pantai.
“Sumber kehidupan masyarakat berasal dari hasil hutan yang selama ini memang menjadi tempat pertanian warga. Namun sumber kehidupan ini akan hilang jika fungsinya berubah juga sungai serkap dan sungai turip tempat mencari ikan akan tercemar. Sudah sejak lama kami bercocok tanam di hutan seberang dan ituadalah bukti hak masyarakat Teluk Meranti,” tambah Firdaus, Ketua RW 06, Teluk Meranti.
Sebelumnya, Selasa malam, ratusan masyarakat menggelar tabligh yang disampaikan ustadz Hidayatullah di Masjid Al-qohar. (rls)
Sumber: Tribun Pekanbaru