Pekanbaru, 10 Juli 2024 – Jikalahari menilai implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 Tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan sulit terwujud tanpa memulihkan lingkungan hidup yang rusak dan tercemar.
Pada 2 Juli 2024, terbit Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 Tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak. Untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak, Undang-Undang ini mengakomodir 46 pasal untuk mewujudkan sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan. Hal ini sangat ditentukan oleh pemenuhan hak dan kebutuhan dasar ibu dan anak khususnya pada fase seribu hari pertama kehidupan.
Undang-Undang ini menjelaskan kewajiban dan tanggung jawab negara memenuhi hak Anak dimulai pada fase seribu hari pertama kehidupan anak dengan melibatkan keluarga dan partisipasi masyarakat. Seluruh upaya pemenuhan hak anak tersebut dilakukan melalui penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak.
Temuan Jikalahari, pencemaran dan perusakan hutan, tanah dan lingkungan hidup berdampak pada kematian anak, kesehatan anak dan ibu termasuk kelangsungan kehidupan generasi penerus bangsa khususnya di Riau.
Pertama, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2015 dan 2019 menjadi pemicu kematian anak, masalah kesehatan ibu dan masyarakat Riau.
Pada 2015, total 5 warga Riau yang terdiri dari tiga anak balita dan dua orang dewasa meninggal akibat terpapar polusi asap karhutla. Selama sebelas bulan, Riau diselimuti polusi asap dari pembakaran hutan dan lahan gambut dan mineral. Ada lebih dari 97.139 warga terpapar polusi asap: 81.514 orang menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), 1.305 orang terkena pneumonia, 3.744 orang terkena asma, 4.677 orang terkena iritasi mata, 5.899 orang iritasi kulit. Luasan areal karhutla pada 2015 mencapai 186.069 ha. 107.000 ha diantaranya lahan gambut.
Pada 2019, total tiga orang meninggal, salah satunya anak bayi yang baru berusia 3 hari, belum sempat diberi nama, meninggal karena terserang virus akibat paparan kabut asap. Selama tiga bulan sejak Juli – November warga Riau hirup polusi asap. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) menunjukan kualitas udara di Riau berbahaya hingga berminggu-minggu. Sekitar 300 ribu warga terkena ISPA. Kebakaran menghanguskan lahan sekitar 75.871 ha. Selain itu kerugian ekonomi akibat karhutla mencapai Rp 50 triliun.
Sepanjang El Nino 2015, 2019, dan 2023 areal paling luas terbakar di areal konsesi HTI dan sawit. Berdasarkan analisis Jikalahari melalui satelit Terra – Aqua MODIS sepanjang 2015, jumlah hotspot yang muncul dengan confidence >70% sebanyak 10.224 berada dalam areal yang dibebani izin dan areal konservasi. Sebanyak 6.635 berada di areal konsesi HTI dan sawit dan 1.231 berada di areal konservasi. Pada 2019, jumlah hotspot yang muncul dengan confidence >70% sebanyak 8.680 hotspot. Sebanyak 5.325 berada dalam areal konsesi HTI dan sawit dan 693 berada di areal konservasi.
Kedua, setiap hari warga menghirup udara beracun yang keluar dari cerobong asap pabrik.
Warga Pangkalan Kerinci, Pelalawan, tinggal di sekitar Pabrik PT RAPP harus mencium bau busuk yang dikeluarkan dari cerobong asap. Bau busuk ini diduga limbah dari pabrik rayon, PT Asia Pasific Rayon (APR). Di Siak, warga Koto Gasib yang bermukim dekat dengan pabrik Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) tiap hari mencium bau limbah ataupun bau asap pabrik yang berasal dari cerobong asap pabrik perusahaan.
Ketiga, sungai-sungai di Riau juga tercemar akibat pembuangan limbah yang dilakukan oleh pabrik sawit dan HTI.
Pada 2021 terjadi pencemaran lingkungan akibat pembuangan limbah yang diduga berasal dari pabrik Asia Pacific Rayon di Kabupaten Pelalawan yang beraroma busuk dan sudah merampok kesehatan Masyarakat di dua desa, yaitu desa Lalang Kabung dan Kelurahan Kerinci Timur. Bahwa aroma busuk yang diduga dihasilkan oleh pabrik penghasil serat rayon.
Pembuangan limbah oleh PT Sari Lembah Subur (PT SLS) anak dari perusahaan PT. Astra Agro Lestari yang beraroma busuk juga terjadi pada 22 Januari 2024 yang berada di Kecamatan Pangkalan Lesung, Pelalawan, Provinsi Riau, bocornya limbah tersebut berasal dari jalur pipa limbah yang jebol, mengakibatkan limbah tersebut mengalir sampai ke Sungai Tanglo.
Berdasarkan hasil penelitian Tim Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) menemukan Sungai Siak di Riau tercemar bahan kimia klorin, fosfat dan mikroplastik. Penelitian yang dilakukan pada Juli 2022 ini mengungkapkan asal muasal klorin dan fosfat di sungai ini dari industri pulp dan kertas, bahan tambahan herbisida yang banyak digunakan dalam Perkebunan sawit serta limbah rumah tangga berupa pemutih pakaian dan desinfektan[1]. Tak hanya Sungai Siak, hal yang sama juga terjadi di 3 sungai utama di Riau yakni Sungai Rokan, Indragiri dan Sungai Kampar. Hal ini terjadi karena limbah dari perusahaan tersebut dapat dibuang langsung ke Sungai karena dekatnya jarak kebun sawit maupun industri pulp dan kertas ke bibir sungai serta proses pembuangan limbah yang tidak mengikuti prosedut dan ketentuan yang berlaku[2].
Terbaru, pada Maret 2024, Dinas Lingkungan Hidup Rokan Hilir melakukan uji laboratorium terhadap kualitas air Sungai Titi Batu karena adanya dugaan pencemaran dari limbah perusahaan sawit PT Hasil Karya Bumi Sejati. Ikan-ikan di sungai ini mati mengapung karena adanya bocornya limbah pabrik kelapa sawit ini ke sungai[3].
Keempat, kelangkaan air bersih mulai dirasakan warga Riau yang hidup berdampingan dan berdekatan dengan korporasi sawit HTI dan tambang.
Akibat tercemarnya sungai sebagai salah satu sumber air bersih warga yang berada di sekitar korporasi sawit dan HTI serta tambang, warga mengalami kelangkaan air bersih. Peringatan terhadap krisis air bersih sudah disuarakan sejak 2005 oleh Pusat Kajian Rona Lingkungan dan Sumber Daya Alam Universitas Riau. Dari hasil penelitian mereka, masyarakat Riau yang menggantungkan pemenuhan kebutuhan air mereka dari persediaan air tanah akan mengalami kesulitan peroleh air bersih karena meluasnya perkebunan sawit dan industri pulp kertas di Riau. Berkurangnya tutupan hutan dan penggundulan hutan secara masif untuk dialih fungsikan sebagai perkebunan sawit menjadi penyebab utama.
Kelima, saat musim banjir banyak warga terdampak dan menelan korban jiwa.
Pada banjir 2016, tercatat ada 2 korban meninggal dan salah satunya remaja berusia 18 tahun[4]. Sedangkan pada banjir 2018, data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, sejak November 2018 sudah ada enam anak-anak yang meninggal dunia saat banjir terjadi[5]. Pada 2019, tercatat 6 orang dewasa meninggal terdampak banjir dan longsor[6] serta pada Januari 2024 tercatat 4 orang meninggal, 3 diantaranya balita dan remaja 13 tahun[7][8].
Keenam, dampak panjang pencemaran lingkungan akibat kebocoran pipa gas PT Pertamina Hulu Rokan
Pada 2020, masyarakat Desa Petani dan Buluh Manis mengeluhkan pencemaran lingkungan akibat kebocoran pipa gas PT Pertamina Hulu Rokan yang menyebabkan puluhan ribu tanah masyarakat terkontaminasi limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3). Selain itu masyakat adat yang hidup di sepanjang pipa migas di Kecamatan Pinggir, Duri, Bengkalis menghirup aroma gas sepanjang hari yang mengganggu aktifitas sehari hari.
“Ibu, anak dan ayah butuh lingkungan hidup yang sehat dan bersih selama masa persalinan, melahirkan, pasca melahirkan hingga merawat anak di seribu hari pertama kehidupan. Bukan saja pemenuhan gizi, pelayanan kesehatan yang terjangkau dan terbaik, yang juga paling esensial adalah pemerintah menghadirkan ruang ekologis yang sehat. Sebab, hadirnya ruang ekologis yang sehat dan bersih selain menghindari penyakit juga memberi ketenangan batin bagi ibu dan ayah,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari.
“Kesejahteraan ibu dan anak tidak akan terwujud sesuai dengan UU Nomor 4 Tahun 2024, jika bencana karhutla, perusakan dan pencemaran lingkungan masih terjadi dan berulang, pasalnya bencana tersebut menyebabkan gangguan fisik, psikis, sosial, ekonomi dan spiritual yang menghambat kesehatan, pengembangan diri bahkan mengancam nyawa ibu dan anak,” tutup Made Ali, Koordinator Jikalahari.
Jikalahari merekomendasikan kepada pemerintah pusat dan daerah:
- Dalam penyusunan perencanaan Kesejahteraan lbu dan Anak yang diintegrasikan ke dalam rencana pembangunan jangka panjang, rencana pembangunan jangka menengah, dan rencana kerja tahunan, memasukkan evaluasi dan review perizinan sumber daya alam yang operasionalnya berdampak pada kesejahteraan ibu dan anak.
- Memetakan wilayah-wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten yang rentan dan kritis dari dampak kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup yang berimbas pada kesejahteraan ibu dan anak, sehingga penanganan pelayanan kesehatan harus menjadi prioritas pemerintah.
- Presiden mengintruksikan Kementerian terkait untuk menyusun peraturan pemerintah, perpres, dan peraturan Menteri bersama dengan Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan untuk mengintegrasikan kesejhteraan ibu dan anak yang berkaitan dengan lingkungan hidup yang sehat dan bersih.
[1] https://nasional.tempo.co/read/1608361/tim-ekspedisi-sungai-nusantara-temukan-sungai-siak-tercemar-klorin-dan-fosfat
[2] https://www.goriau.com/berita/baca/pencemaran-dan-kerusakan-terhadap-4-sungai-di-riau-masih-tinggi-edy-sabli-perlu-kolaborasi-dinas-lhk-dan-akademisi.html
[3] https://dlhrohil.rohilkab.go.id/2024/03/23/dlh-rohil-lakukan-uji-laboratorium-terkait-limbah-pt-hkbs-yang-cemari-sungai-titi-batu/
[4] https://www.tribunnews.com/regional/2016/02/11/banjir-kampar-telan-dua-korban-jiwa
[5] https://www.antaranews.com/berita/777571/enam-warga-meninggal-dalam-bencana-banjir-riau
[6] https://www.antaranews.com/berita/1217203/enam-warga-meninggal-akibat-banjir-dan-longsor-di-riau
[7] https://republika.co.id/berita/s73gb7463/berenang-saat-terjadi-banjir-dua-balita-di-siak-riau-meninggal-dunia-terseret-arus
[8] https://news.detik.com/berita/d-7119436/2-orang-tewas-akibat-banjir-di-riau