Terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas 15 Korporasi pelaku pembakaran hutan dan lahan oleh Polda Riau pada Januari hingga Juni 2016 sangat mengejutkan dan menyakiti masyarakat Riau. Pasalnya, pada 2015, Provinsi Riau dilanda bencana kabut asap yang sangat parah hingga mengakibatkan 5 warga Riau meninggal dunia dan lebih dari 97.139 warga menderita penyakit: infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 81.514, pneumonia 1.305, asma 3.744, iritasi mata 4.677, iritasi kulit 5.899. Bandara ditutup hampir dua bulan. Tak hanya masalah kesehatan, World Bank mencatat kerugian ekonomi akibat karhutla mencapai Rp 20 triliun.
Informasi terbitnya SP3 pun tidak pernah disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Baru setelah Jikalahari menyampaikan siaran pers kepada awak media pada 19 Juli 2016 terkait hasil investigasi Jikalahari yang menemukan 11 korporasi telah dihentikan penyidikannya. Kesokan harinya Polda Riau menyampaikan 15 dari 18 korporasi yang ditangani karena kasus karhutla telah dihentikan penyidikanya.
Dalam dokumen SP3 disebutkan bahwa salah satu alasan yang digunakan oleh Polda Riau karena tidak cukup bukti. Alasan kurang cukup bukti bertentangan dengan temuan investigasi Jikalahari. Sepanjang September 2016, Jikalahari melakukan investigasi di 15 konsesi korporasi yang di SP3kan oleh Polda Riau. Hasil investigasi menemukan Pertama, benar areal 15 korporasi terbakar pada 2015, Kedua, dominan kebakaran di kawasan hutan bergambut, Ketiga, kebakaran terulang di dalam konsesi perusahaan, Keempat, bekas terbakar ditanami akasia dan sawit, Kelima, areal korporasi terbakar dominan berkonflik, Keenam, izin perusahaan telah dicabut, Ketujuh, ada berbagai modus sebelum pembakaran hutan dan lahan, dan terakhir, korporasi berada dalam kawasan hutan.
Alasan tidak cukup bukti juga bertentangan dengan keterangan ahli Prof. Bambang Hero Saharjo yang menangani kasus tersebut yang disampaikan pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Panja Karhutla DPR RI. Dalam RDP tersebut, Prof. Bambang dalam penjelasannya yang dituangkan dalam BAP ahli menerangkan berdasarkan hasil penelitiannya di laboratorium dan didukung pengamatan ke lapangan disimpulkan telah terjadi pembakaran dengan sengaja di areal tersebut.
Jikalahari menilai penerbitan SP3 atas 15 korporasi tersebut bertentangan dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku seperti UU 32 tahun 2009 dan UU 41 jo UU 18 tahun 2013 tentag Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Padahal, dari rekam jejak penegakan hukum atas kasus karhutla, Polda Riau tidaklah baru dan minim pengalaman. Pada kasus terdahulu, ada 4 perkara karhutla yang ditangani Polda dan sampai ke tahap P21 didasarkan pada scientific evidence. PT Adei Plantation and Industry diputuskan bersalah di PN Pelalawan pada September 2014. PT Nasional Sagu Prima disidangkan pada akhir 2014 hingga awal 2015.
Berbagai upaya juga dilakukan oleh masyarakat Riau untuk mendesak Polda Riau melanjutkan penyidikan atas 15 korporasi tersebut. salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui jalur litigasi berupa gugatan praperadilan. Tercatat hingga saat ini, Pengadilan Negeri Pekanbaru telah menyidangkan 3 gugatan pra-peradilan yang diajukan oleh masyarakat atas SP3 15 korporasi.
Gugatan pertama diajukan oleh Ferry, masyarakat Riau yang emudian ditolak oleh hakim tunggal Ria Sorta Neva karena dianggap tidak memenuhi legal standing sebagai penggugat. Gugatan kedua dan ketiga diajukan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Pada sidang kedua, gugatan yang diajukan Walhi ditolak oleh hakim tunggal Ria Sorta Neva dengan pertibangan bahwa penerbitan SP3 oleh Polda Riau telah sesuai prosedur. Begitu juga pada sidang ketiga, hakim tunggal Fatimah menolak gugatan yang diajukan Walhi karena penerbitan SP3 sudah sesuai prosedur.
Dari dugaan pelanggaran penerbitan SP3 atas 15 korporasi dan putusan hakim yang menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh masyarakat dirasa perlu untuk dilakukan kajian lebih mendalam. Jikalahari menggagas untuk melakukan publik Review atas penerbitan SP3 atas 15 korporasi Karhutla oleh Polda Riau dan Putusan Praperadilan dengan menggunakan panduan Publik Review (Eksaminasi Publik Peraturan Perundangan) yang dikembangkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW).
Setelah mengumpulkan dokumen SP3 atas 15 korporasi, putusan praperadilan dan peraturan perundang undangan, selanjutnya Jikalahari meminta akademisi, ahli dan praktisi selanjutnya disebut Majelis Eksaminasi, yang berintegritas, berkompeten serta memiliki keahlian berkaitan dengan objek publik review untuk berdiskusi dan mengkaji bersama putusan praperadilan dan penerbitan SP3 tersebut. Majelis Eksaminasi terdiri dari 4 orang, yaitu, Prof. Bambang Hero Saharjo, M.Agr , Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan, Guru Besar IPB, Dr. H. M. Arif Setiawan, MH, Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia, Henry Subgyo,SH, MH, Direktur Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) dan Suryadi, SH, Praktisi Advokat sekaligus Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau.
Publik Review ini bertujuan untuk mengkaji penerbitan SP3 atas 15 korporasi oleh Polda Riau dan Putusan Praperadilan yang diajukan oleh masyarakat, serta dapat dihasilkan dokumen yang memberikan arahan kepada masyarakat umum dan penegak hukum khususnya untuk menindaklanjuti penindakan hukum atas kasus yag di SP3kan oleh Polda Riau.
Dari publik review ini juga merekomendasikan kepada Presiden RI untuk membentuk tim independen untuk mereview SP3 atas 15 korporasi dan penegak hukum, Kepolisian, Kementerian LHK dan Mahkamah Agung untuk mengoptimalkan kinerja penyidik serta hakim sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang berlaku.
Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah mendukung dan berpartisipasi baik secara materil maupun inmateril hingga terlaksananya publik review ini. semoga hasil publik review ini dapat bermanfaat dan menjadi rujukan untuk penanganan kasus-kasus lingkungan hidup dan kehutanan, khususnya kebakaran hutan dan lahan yang melibatkan korporasi di Indonesia dan Provinsi Riau.