Oleh Okto Yugo Setyo
ELVIS lahir 26 Juni 1977 di Desa Koto Lamo Kecamatan Gema, Kabupaten Kampar, begitu juga kedua orang tua, kakek nenek dan kakek buyut serta nenek moyangnya juga lahir dan hidup di Koto Lamo.
Elvis memiliki seorang istri dan dua orang anak. Saat ini kedua anaknya sedang menuntut ilmu, di salah satu pesantren pekanbaru dan di sekolah dasar di kampung halaman.
Elvis dipilih menjadi pemimpin ninik mamak yang menjaga adat istiadat atau “dituakan satu hari, didulukan satu langkah” di kenagarian Koto Lamo. Datuk Elvis bergerak bergelar Datuk Bandaro berasal dari suku Pitopang.
Sebagai pimpinan adat, Datuk Elvis memiliki tanggung jawab yang besar untuk menjaga adat, masyarakat dan hutan tanahnya. Saat ini dirinya telah berhasil membukukan semua adat, petatah petitih yang diturunkan dari nenek moyangnya. Tujuannya ialah untuk menjaga adat tetap lestari dan mengambil keputusan adat secara benar.
Hutan tanah juga menjadi bagian yang terpisahkan bagi adat kenagarian Koto Lamo, masyarakat tanpa hutan ibarat semut tanpa sarang, ibarat raga tanpa nyawa. “Selain menjaga adat istiadat, menjaga hutan tanah juga merupakan tantangan yang berat bagi saya, karena banyaknya rayuan dari pihak luar,” kata Datuk Elvis.
Pada 2015, ada pihak luar yang mencoba mengambil lahan hutan tanah dengan cara akan membeli dari masyarakat. Modusnya, pemodal tersebut merintis hutan beberapa hektar, lalu memberi tanda cat merah dan mengatakan ke masyarakat, siapa yang memiliki lahan di dalam dan sekitar lokasi tersebut akan dibeli lahannya.“Keinginan masyarakat untuk menjual hutan tersebut meningkat dan menimbulkan persoalan sosial.”
Masyarakat yang ingin menjual hutan tanahnya mencapai 117 orang, dan mendesak ninik mamak untuk menandatangani surat tanah sebagai syarat untuk pengakuan kepemilikan tanah. “Hal tersebut menjadi tantangan berat bagi ninik mamak, karena menghadapi kemenakan sendiri untuk menyelamatkan hutan,” kata Elvis.
“Sebagai upaya menyelesaikan persoalan tersebut, maka kami undang semua masyarakat yang akan menjual dan ninik mamak di kenagarian Koto Lamo untuk bermusyawarah di rumah ini.”
Namun, musyawarah tidak memunculkan solusi dan masyarakat bersikeras bagaimanapun caranya akan menjual hutan tersebut. Datuk Elvis beranggapan jika musyawarah ataupun perundingan tetap dilakukan di Koto Lamo malah akan menimbulkan situasi yang tidak kondusif.
Untuk menindaklanjuti, Datuk Elvis bersama ninik mamak menelusuri tentang si pembeli. Dari hasil penelusuran, “kami berjumpa dengan perpanjangan tangan si pembeli dan saat itu bermacam rayuan dan kalimat sogokan tapi kami tidak gentar dan menolak untuk menjual hutan tanah tersebut kepada pembeli tersebut,” kata Elvis.
Penolakan menjual hutan tanah membuat persoalan semakin besar, apalagi jika masyarakat yang 117 orang itu tahu bahwa ninik mamak yang melarang pembeli untuk membeli hutan tanah tersebut. Tapi Datuk Elvis tetap mencari solusi untuk menyelamatkan hutan dan masyarakat menerima hutan tanah tetap tidak dijual.
Dalam upaya mencari strategi yang terbaik, Datuk teringat dengan seorang anggota DPRD Kab. Kampar bernama Ramadhan yang pernah membantu persoalan tanah.
Hasil pertemuan dengan Anggota DPRD menghasilkan suatu terobosan, karena Ramadhan tahu situasi Koto Lamo. DPRD tidak mau melakukan dengar pendapat tapi langsung menghubungi Camat untuk tidak mengeluarkan surat apapun terkait hutan tanah di Desa Koto Lamo.
“Serangkaian perjuangan tersebut menghasilkan perkembangan yang positif, situasi dimasyarakat semakin sejuk dan pembeli juga tidak tahu ke mana dia untuk berusaha membeli.”
Menyelamatkan hutan dengan tidak menjualnya tidak lantas membuat Datuk Elvis hanya diam saja dan tidak peduli terhadap ekonomi masyarakat. Seiring dengan bantuan dan dampingan Rumah Budaya Sikukeluang dari Pekanbaru, Datuk Elvis bersama masyarakat mengembangkan ekowisata dengan menjual keindahan alam Desa Koto Lamo.
Bermacam kegiatan wisata alam dipersiapkan bersama antara masyarakat dan Rumah Budaya Sikukeluang. Mulai dari fasilitas perahu hingga fasilitas camping ground.
Selain mengembangkan Ekowisata, Datuk Elvis juga bersama Yayasan Hakiki mengajak masyarakat membudidayakan madu Kelulut, masyarakat setempat menyebutnya madu Galo-galo.
Madu Kelulut sendiri memiliki nilai jual yang fantastis mencapai 3 kali lipat dari madu hutan. Saat ini ada sekitar 50-an sarang budidaya Kelulut yang dimiliki Datuk Elvis dan masyarakat dan sudah menampakan perkembangannya. Sesuai jadwal, budidaya Kelulut akan panen pada April 2017.
“Hutan Koto Lamo juga memiliki potensi kelulut yang besar. Hutan Koto lamo juga memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat secara ekonomis, seperti Petai, Kembang semangkok dan lain-lain.”
“Dengan kehidupan kami sekarang, tidak bisa dibayangkan kalau hutan ini tidak ada lagi, karena hutan itu marwah kami dan masyarakat dan hutan ibarat badan dengan nyawa. Kami juga bergantung kepada air sungai untuk semua kebutuhan hidup masyarakat. “Kalau hutan rusak, hilang maka air akan keruh, dan semakin kecil,” kata Elvis, prihatin.
“Harapan kami masyarakat Koto Lamo, bahwa ada kegelisahaan kami adalah penetapan kawasan hutan di atas hutan tanah ulayat kami menjadi kawasan hutan, hutan lindung dan lainya sewaktu-waktu akan memberikan izin ke pihak luar, dan kami harus terusir dari tanah kelahiran kami,” katanya.
“Kami berharap hutan ulayat kami menjadi hutan adat. Tujuan kami mendapatkan pengakuan hutan adat bukan untuk semena-mena terhadap hutan. Semua bisa lihat, sejak nenek moyang kami hidup di sini tidak ada kami merusak hutan. Bahkan kami siap untuk menjaga dan melestarikan hutan lestari,” kata Elvis.