Penuntut Umum dan Majelis Hakim agar Menghukum Pidana Penjara, Denda dan Pidana Tambahan Kerugian Ekologis Terhadap Frans Katihokang

Pekanbaru, 4 Mei 2016—Jelang sidang tuntutan pada 11 Mei 2016, Jikalahari dan Riau Corruption Trial merekomendasikan pada Penuntut Umum dan Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 8 tahun, denda Rp 8 Miliar dan pidana tambahan membayar biaya kerugian ekologis, ekonomis, dan biaya pemulihan akibat pembakaran seluas 533 hektar di areal perkebunan kelapa sawit PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) senilai Rp 192 Milyar kepada Frans Katihokang, manajer operasional PT LIH.

“Hasil monitoring sidang rct menunjukkan kebakaran di dalam areal PT LIH dilakukan dengan sengaja karena sarana dan prasana pemadam kebakaran tidak memenuhi prosedur aturan yang berlaku,” kata Fadli, Koordinator Monitoring Peradilan riau corruption trial.

“Kami menilai Frans Katihokang terbukti telah melanggar pasal 98 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tambah Fadli.

“Selain itu Penuntut Umum dan Majelis Hakim juga harus memasukkan dalam pertimbangannya Direktur Utama PT LIH, Devin Antonio Ridwan, Budianto Purwahyo, I Nyoman Widiarsa serta PT LIH sebagai Badan Hukum harus bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran di areal perusahaan mereka,” kata Woro Supartinah Koordinator Jikalahri.

Sebab, menurut Woro Supartinah, Ir. Frans Katihokang bertindak melakukan suatu perbuatan atas dasar adanya perintah dari atasan dan ketentuan perusahaan. Disamping itu Frans Katihokang juga baru beberapa hari menjabat sebelum terjadinya kebakaran melalui surat keputusan yang ditanda tangani oleh I Nyoman Widiarsa, selaku Direktur Utama PT LIH.

Riau Corruption Trial dalam paper bentangan mencatat, sidang kasus kebakaran lahan di areal afdeling Gondai PT LIH dengan terdakwa Frans Katihokang berlangsuag selama 13 kali persidangan, 1 kali sidang lapangan. Sidang berlangsung sejak 2 Februari hingga 26 April 2016. Dalam persidangan ini Penuntut Umum menghadirkan 18 saksi fakta dan 7 ahli. Penasihat Hukum menghadirkan 4 ahli tanpa saksi a decharge.

Dalam paper bentangan juga mencatat keterangan saksi fakta, ahli serta terdakwa. Menurut Nelson Sitohang, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PT LIH, sudah ada peringatan bahwa areal afdeling Gondai merupakan lahan yang sensitif akan terjadinya kebakaran. Untuk itu PT LIH diminta agar melakukan pengamanan terhadap lahannya agar terhindar dari kebakaran.

Faktanya, selama proses persidangan berlangsung PT LIH terbukti sengaja tidak menyediakan sarana dan prasarana pencegah kebakaran. PT LIH hanya memiliki satu menara pemantau api, padahal untuk luas areal gondai 1.026,85 hektar harus memiliki 5 sampai 10 menara. Menara juga tidak sediakan alat bantu pengontrol api seperti teropong dan kompas. Ketersediaan peralatan pemadam kebakaran juga tidak memenuhi standar sebagaimana diatur dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian.

Menurut keterangan ahli Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis, kebakaran yang terjadi areal gondai PT LIH dilakukan dengan cara dibakar. Tampak ada pembiaran api dengan tidak adanya upaya optimal pemadaman sehingga kebakaran jadi meluas. Hal ini bertujuan meningkatkan PH tanah, dengan cara dibakar tanah akan menjadi subur. Bambang Hero Saharjo mempertegas, titik hotpsot sudah terpantau sejak Juli di areal Gondai.

“Akibat tidak bekerjanya early warning system dan early detection system, serta tidak tersedianya sarana dan prasarana pendukung, tidak memadainya akses dan alat transportasi menyebabkan upaya pengendalian kebakaran di areal PT LIH nyaris tidak dilakukan bahkan dibiarkan,” ujar Bambang Hero Saharjo saat persidangan 22 Maret 2016.

Basuki Wasis, ahli kerusakan tanah, dalam persidangan yang sama juga menegaskan telah terjadi kerusakan lingkungan baik sifat kimia, bilogis maupun fisik tanah. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya kepunahan pada flora dan fauna disekitar terjadinya kebakaran di areal gondai PT LIH.

Atas dasar hasil monitoring sidang, Jikalahari dan Riau corruption trial merekomendasikan kepada:

  1. Jaksa Penuntut Umum dan Majelis Hakim memasukkan dalam pertimbangannya frasa Direktur Utama dan korporasi PT LIH sebagai badan hukum juga turut bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran di dalam areal PT LIH. Oleh karena, perkara ini tidak berdiri sendiri atau tidak hanya Frans Katihokang yang bertanggungjawab. Direktur dan korporasi PT LIH juga harus diproses secara hukum oleh penegak hukum.
  1. Jaksa dan Majelis Hakim menghukum Frans Katihokang berupa:
  • Pidana Penjara selama 8 tahun,
  • Pidana Denda Rp. 8.000.000.000,00 (Rp 8 Milyar),
  • Pidana tambahan membayar biaya kerugian ekologis, ekonomis, dan biaya pemulihan akibat pembakaran seluas 533 hektar di HGU PT LIH sebesar Rp. 192.088.512.000,00 (Rp 192 Milyar).
  • Hukuman ini sesuai dengan kesalahan yang dilakukan Frans Katihokang dan juga memberi rasa keadilan terhadap enam juta rakyat Riau korban polusi asap salah satunya dari areal PT LIH.
  1. Komisi Yudisial agar memantau perkara ini hingga pembacaan putusan, sebab temuan riau corruption trial majelis hakim diduga melanggar KEPPH.
  1. Frans Katihokang mengakui bahwa kesalahannya karena atas perintah Direktur dan korproasi PT LIH. Frans Katihokang hanya “korban” dari manajemen PT LIH, apalagi dia baru menjabat di dalam manajemen PT LIH.

“Tuntutan dan putusan majelis hakim yang tinggi menunjukkan bahwa majelis hakim berpihak pada rakyat riau korban polusi asap dan kehidupan ekologis,” kata Woro Supartinah.

Narahubung:

Woro Supartinah, Koordinator Jikalahari, 081317566965

Okto Yugo Setiyo, Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari, 085374856435

Fadli, Koordinator Monitoring Peradilan, 085271290622

rct-BENTANGAN-FK-PT-LIH

About Okto Yugo

Manajer Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *