KPK Membiarkan Perda RTRWP Riau Bertentangan dengan GNPSDA

PEKANBARU, 25 April 2019— “Padahal proses Ranperda RTRWP Riau mendapat asistensi korsupgah KPK sebelum menjadi Perda berupa Gubernur Riau dan DPRD Riau beberapa kali melakukan pertemuan dengan KPK, ditambah pula Korsupgah KPK berkantor di Gubernur Riau,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. “Anehnya, 23 hari paska Perda RTRWP Riau terbit, Gubernur Riau atas inisiasi korsupgah menerbitkan rencana aksi pemberantasan korupsi tiga diantaranya sektor Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan. Lagi-lagi isinya jauh dari semangat GNPSDA KPK.”

GNPSDA KPK

Sejak 2010-2013 KPK memulai mengkaji potensi korupsi kawasan hutan dan perizinan sektor kehutanan. Untuk menjalankan hasil kajian, guna mempercepat pengukuhan kawasan hutan KPK menginisiasi Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian dan Lembaga agar koordinasi terintegrasi dan terpadu. Di tahun ini juga KPK meluncurkan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA).

Setahun berjalan, KPK melakukan refleksi, salah satu temuannya perlu membanyak keterlibatan lembaga dan kementerian termasuk keterlibatan pemerindah daerah. Pada 2015 KPK menambah NKB menjadi 27 Kementerian dan Lembaga, juga menginisiasi bersama 34 Gubernur menerbitkan rencana aksi mewujudkan GNPSDA.

Pada Februari 2015, Gubernur Riau bersama KPK telah menyusun 19 Renaksi GPPSDA KPK, salah satunya pengukuhan kawasan hutan untuk diintegrasikan ke dalam RTRWP Riau. Renaksi tersebut mengacu pada hasil kajian KPK dengan fokus area yaitu: (1) Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah Administrasi, (2) Penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan, (3) Perluasan Wilayah Kelola Masyarakat, (4) Penyelesaian Konflik Kawasan Hutan, (5) Penguatan Instrumen Lingkungan Hidup Dalam Perlindungan Hutan dan (6) Membangun Sistem Pengendalian Anti Korupsi.

“Sesungguhnya 19 rencana aksi Gubernur Riau ingin melakukan perbaikan tata kelola hutan dan perkebunan di Riau dari praktek-praktek korupsi,” kata Made Ali

“GNPSDA KPK saat itu berhasil membuka kesadaran publik bahwa SDA Indonesia dikuasai oleh segelintir elit dan taipan karena rezim memfasilitasi kemudahan perizinan meski dengan cara-cara korupsi. Lalu, ada kesadaran untuk memperbaikinya dimulai dengan pengumpulan data dan dokumentasi terkait perizinan pengukuhan kawasan hutan termasuk konflik masyarakat dengan perusahaan dan pemerintah. KPK berhasil membuka transparansi ruang gelap perizinan dan koordinasi antar kementerian dan lembaga yang selama ini berjalan sendiri-sendiri,” kata Made Ali.

Lalu, komisiner KPK berganti ke periode 2015-2019. “Sejak saat itu GNPSDA KPK tidak lagi menjadi perhatian para komisioner KPK, hanya sesekali terdengar, semangatnya juga sudah menghilang,” kata Made Ali.

Setahun kemudian, Propinsi Riau menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Anti Korupsi sedunia tahun 2016, ini pertama kali digelar KPK di luar pulau Jawa. Riau dipilih karena masuk zona merah darurat korupsi. Lalu muncullah Koruspgah KPK hingga berkantor di Gubernur Riau. Di tahun ini pula DPRD Riau dan Gubernur Riau kembali fokus membahas Ranperda RTRWP Riau. “Dua tahun sejak pembahasan Ranperda RTRWP Riau, Jikalahari sudah mewanti-wanti KPK agar GNPSDA KPK menjadi perhatian Pemda Riau sebelum ditetapkan jadi Perda. Namun, Perda RTRWP ditetapkan dengan melabrak aturan lebih tinggi dan tidak menjawab persoalan yang menghantui masyarakat Riau Banjir dan Karhutla tiap tahun,” kata Made Ali.

Perda RTRWP Riau

“RTRWP Riau sebelum dan sesudah menjadi Perda menguntungkan korporasi kehutanan, perkebunan dan tambang. Masyarakat Riau menerima banjir, karhutla dan hutan tanah yang dirampas oleh korporasi,” kata Made Ali.

Sekitar 90 persen RTRWP Riau untuk budidaya yang dikuasai oleh korporasi Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan, sisanya 10 persen untuk lindung. Temuan Jikalahari lainnya,

Pertama, Perda RTRW Provinsi Riau tidak berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang telah divalidasi sehingga mengancam kelestarian fungsi lingkungan dan keselamatan masyarakat provinsi Riau untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perda RTRW Provinsi Riau ditetapkan melalui proses yang tidak sesuai prosedur peraturan perundang-undangan, yaitu tidak dilalui dengan penyusunan KLHS sebagaimana diatur dalam pasal 19 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009.

Kedua, Perda RTRW Provinsi Riau telah menghambat penetapan perhutanan sosial di Riau karena harus melalui pembahasan terlebih dahulu yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Riau. Sampai saat ini realisasi PS di Riau baru 88.009 hektar dari 1.093.686 hektar atau baru 8 persen.

Ketiga, Perda RTRW Provinsi Riau menetapkan 405.874 ha kawasan hutan ke dalam outline (yang akan segera diperuntukan di luar fungsi pelestarian hutan) yang dapat digunakan untuk peruntukan diluar usaha kehutanan, dimana temuan Jikalahari beberapa peruntukannya merupakan perkebunan sawit illegal.

Keempat, penerbitan Perda RTRW Provinsi Riau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi dan pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Rencana Aksi Pemberantasan Korupsi Terintegrasi

Dua puluh satu hari setelah terbit Perda RTRWP Riau, pada 31 Mei 2018 plt Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim menerbitkan Keputusan Gubernur Riau No 390/V/2018 tentang Rencana Aksi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pemerintah Provinsi Riau Tahun 2018 Dan 2019 Dan Satuan Tugas Pelaksana Rencana Aksi. Tiga diantara rencana aksi di sektor Kehutanan, Perkebunan dan Kehutanan.

“Isi rencana aksi hanya berkutat pada kerja-kerja dokumentasi berupa pengumpulan data dan hasil laporan review,” kata Made Ali,”Kegiatan dokumentasi ini seharusnya sudah selesai empat tahun lalu.”

Di sektor kehutanan, Jikalahari menemukan: rencana aksi: melakukan review SK perubahan fungi dan peruntukan kawasan hutan dan SK kawasan hutan. Ukuran keberhasilan: tersedianya data dan informasi penggunaan kawasan hutan. Target 2018-2019: terlaksananya review SK fungsi dan peruntukan kawasan hutan dan SK Kawasan hutan. Jenis dokumen tindaklanjut: laporan hasil review.

“Nah, kalau ini ada hasilnya, RTRWP Riau musti direvisi karena perubahan peruntukan fungsi dan peruntukan kawasan hutan mengubah pola ruang. Harusnya perubahan fungsi dan peruntukan kawawan hutan dilakukan sebelum RTRWP Riau terbit. Bukankah salah satu renaksi GNPSDA mempercepat pengukuhan kawasan hutan sebelum dintegrasikan ke dalam RTRWP, salah satunya perubahan peruntukan fungsi dan peruntukan. Kenapa KPK bisa konyol begini? kata Made Ali. “Ada yang tidak terkoneksi antara kerja-kerja KPK Abraham Samad dan Agus Raharjo terkait GNPSDA KPK.”

Renaksi SK 390 yang akan berakhir pada 31 Mei 2019, juga tidak pernah ada perkembangan laporannya dari Gubernur Riau.

“Jika saja renaksi GNPSDA dijalankan oleh Pemprov Riau dalam penyusunan Perda RTRWP Riau, tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan akan bebas dari lingkaran korupsi dan koreksi perbaikan tata kelola sumberdaya alam di Riau dapat diwujudkan,” kata Made Ali.

Narahubung:

Made Ali, Koordinator Jikalahari 081275311009

Aldo, Staf Kampanye dan Advokasi Jikalahari 0812 6111 634

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *