Undang – Undang Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja:

Korporasi Seluas-luasnya Membakar Hutan dan Lahan

I. PENDAHULUAN

Ada 45 pasal yang diubah, diganti dan ditambah terhadap UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

Jikalahari fokus pada pasal 98 dan 99 UU 32/2009 tentang PPLH yang pasalnya ditambahkan berupa: mengedepankan sanksi administrasi lalu sanksi pidana (ultimum remedium).

Dua pasal ini kerap dipakai penyidik Polri dan PPNS Dirjen Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam perkara kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang melibatkan korporasi. Pasal ini digunakan juga oleh penuntut umum termasuk diterapkan majelis hakim dari tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga kasasi di Mahkamah Agung.

Inti pasal 98 dan 99 dalam UU 32/2009 tentang PPLH yang saat ini berlaku asas Premium Remedium yang bermakna penyidik dapat langsung menjadikan seseorang atau korporasi sebagai tersangka.

Penambahan ayat mengedepankan sanksi administrasi dalam pasal 98 dan 99 UU 32/2009 berdampak pada peningkatan karhutla di dalam areal perusahaan dan cukong jika RUU Cipta Kerja menjadi UU.

II. KASUS KARHUTLA RIAU 2013 – 2020

Korporasi yang lahannya terbakar pada 2013, 2014, 2015 dan 2019 dapat langsung dijadikan tersangka oleh Polda Riau menggunakan pasal 98 dan 99 UU 32/2009.

Pada 2013, Polda Riau menetapkan PT Adei Plantation & Industry dan Daneshuvaran KR Singam, General Manager PT Adei Plantation & Industry sebagai tersangka karhutla seluas 40 ha. Penuntut Umum mendakwa dan menuntut PT Adei menggunakan pasal 98 dan 99 UU 32/2009 tentang PPLH dan mulai disidangkan pada Januari 2014.

Pada 9 September 2014, Majelis Hakim PN Pelalawan menghukum PT Adei dan Danesuvaran menggunakan pasal 99: Danesuvaran dihukum pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 2 Miliar sedangkan PT Adei dihukum pidana denda Rp 1,5 Miliar subsider 5 bulan kurungan diwakili Tan Kei Yoong selaku Regional Manager dan pidana tambahan memulihkan lingkungan hidup yang rusak sebesar Rp 15,1 Miliar.

Di Pengadilan Tinggi pada 13 Januari 2015, majelis hakim dalam putusannya menguatkan putusan PN Pelalawan. Penuntut umum kembali ajukan kasasi dan pada 14 Maret 2016 majelis hakim memutuskan memperkuat putusan PT Pekanbaru dan menambahkan jumlah pidana tambahan menjadi Rp 15.141.826.779,325 (Bertambah Rp 1 juta dari putusan di PN Pelalawan) pidana tambahan senilai Di kasasi hakim memperkuat putusan PT Pekanbaru.

Pada 2014, Polda Riau menetapkan PT National Sagu Prima (NSP) dan Ir Erwin, General Manager PT NSP sebagai tersangka karhutla karena lahannya terbakar mencapai 3000 ha sejak akhir Januari hingga pertengahan Maret 2014. Perkara ini mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bengkalis pada pertengahan Desember 2014.

Penuntut umum menggunakan pasal 98 dan  99 untuk mendakwa  PT NSP. Pada 22 Januari 2015, majelis hakim membacakan putusannya, bahwa perusahaan sagu ini terbukti bersalah melanggar pasal 99 UU 32/2009. Perusahaan ini di pidana denda Rp 2 Miliar dan dijatuhi pidana tambahan melengkapi sarana prasarana pencegahan dan penanggulangan karhutla serta diawasi oleh BLH Kepulauan Meranti selama 1 tahun. Untuk Erwin, majelis hakim memutuskan ia tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuntutan.

Penuntut umum ajukan banding dan pada 1 Juni 2015, Majelis Hakim PT Pekanbaru memutuskan menguatkan putusan PN Bengkalis untuk vonis PT NSP. Penuntut umum kembali ajukan kasasi untuk PT NSP dan Erwin, hasilnya pada  31 Mei 2017, hakim Mahkamah Agung memvonis Erwin terbukti bersalah melanggar pasal 98 UU 32/2009 dan dipidana penjara 3 tahun serta denda Rp 3 Miliar. Untuk PT NSP, pada 20 Juli 2016 majelis hakim Mahkamah Agung memutuskan perusahaan ini terbukti melanggar pasal 99 dan dijatuhi pidana denda Rp 3 Miliar dan pidana tambahan sama dengan putusan PN Bengkalis.

Pada 2015, PPNS KLHK menetapkan Kosman Vitoni Immanuel Siboro, Asisten Kepala Kebun 2 PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) sebagai tersangka. Penuntut umum Kembali gunakan pasal 98 dan 99 untuk mendakwa Kosman. Pada awal Maret 2015 sidang perkara ini digelar di PN Rokan Hilir. Berjalan 5 bulan persidangan, 12 Agustus 2015 majelis hakim memvonis Kosman terbukti melanggar pasal 99 dan divonis pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 1 Miliar. Penuntut umum ajukan banding. Pada 8 Desember 2015 Pengadilan Tinggi Pekanbaru memutuskan Kosman terbukti melanggar pasal 98 dan dihukum pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 3 Miliar.

Pada 2016, Polda Riau menetapkan Frans Katihokang, Manajer Operasional PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) sebagai tersangka karena areal perusahaan ini terbakar seluas 533 ha pada Juli 2015. Pada 2 Februari 2016 kasus ini mulai disidangkan di PN Pelalawan dan ada 9 Juni 2016, Frans Katihokang divonis bebas oleh majelis hakim. Penuntut umum ajukan kasasi dan pada November 2017, Mahkamah Agung memvonis Frans Katihokang pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 1 Miliar karena terbukti melanggar pasal 99 UU 32/2009.

Tak hanya karhutla di PT LIH, Polda Riau juga menyeret 3 petinggi PT Palm Lestari Makmur (PLM) menjadi tersangka kasus karhutla karena kebakaran yang terjadi di areal perusahaan tersebut seluas 39 ha pada Agustus 2015. Pada 29 Juni 2016 majelis hakim PN Rengat memvonis pidana penjara Direktur PT PT PLM Iing Joni Priyana dan Manager Plantation Edmond Jhon Pereira 3 tahun, denda Rp 2 milyar, karena kelalaiannya akibatkan kebakaran dan untuk terdakwa Niscal Mahendrakumar Chotai manajer keuangan PT PLM divonis bebas oleh majelis hakim. Penuntut Umum ajukan kasasi untuk terdakwa Niscal, pada 6 Desember 2017 majelis hakim mahkamah agung memutuskan menolaj kasasi yang diajukan.

Masih di 2016, PPNS KLHK turut menjerat PT JJP sebagai tersangka korporasi dalam kasus karhutla yang terjadi di konsesinya. Pasca vonis Kosman selaku Asisten Kebun dan upaya gugatan perdata, pada 13 September 2016 sidang perkara pidana karhutla terdakwa PT JJP digelar di PN Rokan Hilir. Pada 10 Juli 2017, PT Jatim Jaya Perkasa divonis majelis hakim dengan pidana denda sebesar Rp 1 milyar dengan ketentuan jika denda tak dibayar dalam satu bulan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap aset PT JJP akan disita dan dilelang untuk pemenuhan biaya denda.

Pada 2017, Polda Riau kembali menyeret perwakilan korporasi yang arealnya terbakar menjadi terdangka. Kali ini Thamrin Basri selaku Kepala Kebun PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI) dijadikan tersangka sejak 2015 karena arealnya terbakar mencapai 70 ha periode Agustus hingga OKtober 2015. Pada 2017 perkara ini dilimpahkan ke PN Siak dan mulai disidangkan pada 27 April 2017.

Berselang 4 bulan, pada 24 Agustus 2017 majelis hakim memutuskan Thamrin terbukti bersalah melanggar pasal 99 UU 32/2009 dan dipidana penjara 2 tahun serta denda Rp 1 Miliar. Penuntut umum ajukan banding dan pada 9 November 2017 majelis hakim PT Pekanbaru memutuskan Thamrin terbukti melanggar pasal 98 dan divonis pidana penjara 4 tahun serta denda Rp 3 Miliar.

PPNS KLHK juga Kembali menetapkan korporasi sebagai terdangka karhutla pada 2018. PT Triomas FDI menjadi tersangka karena arealnya terbakar seluas 140 ha. Kasus ini mulai disidangkan di PN Siak pada 12 Februari 2018 dan memasuki agenda putusan pada 27 September 2018. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan t triomas FDI terbukti melanggar pasal 98 UU 32/2009 dan divonis pidana denda Rp 1 Miliar serta pidana tambahan biaya perbaikan kerusakan lingkungan senilai Rp 13 Miliar.

Terbaru, pada 2019 karhutla kembali terjadi dan Polda Riau menetapkan 2 korporasi sebagai tersangka yakni PT Sumber Sawit Sejahtera (SSS) dan PT Tesso Indah (TI). Kedua perkara ini mulai disidangkan di pengadilan pada 12 Desember 2019 untuk PT SSS di PN Pelalawan dan 9 Maret 2020 untuk PT TI di PN Rengat. PT SSS divonis pada 19 Mei 2020 telah terbukti bersalah melanggar pasal 99 UU 32/2009. Perusahaan sawit ini dipidana denda Rp 3,5 Miliar dan pidana tambahan membayar ganti rugi kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran seluas 155,2 ha di areal konsesinya sebesar Rp 38,6 Miliar.

Untuk PT TI, selain korporasi, Sutrisno selaku Asisten Kepala PT TI juga menjadi tersangka. Karhutla yang terjadi di PT TI menghanguskan sekitar 65 ha lahan dan berlangsung sejak 19 – 29 Agustus 2019. Pada 6 Juli 2020, putusan untuk Sutrisno lebih dulu rampung. Majelis hakim memvonis Sutrisno terbukti bersalah melanggar pasal 99. Ia dihukum pidana penjara 1 tahun 4 bulan dan denda Rp 4 Miliar. Sedangkan untuk PT TI, putusan majelis hakim dibacakan pada 4 Agustus 2020. Majelis hakim menilai PT TI terbukti bersalah melanggar pasal 99 dan dihukum pidana denda Rp 1 Miliar serta membayar ganti rugi kerusakan lingkungan sebesar Rp 24 Miliar.

Selain itu ada PT Gandaerah Hendana (GH) yang saat ini sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh PPNS KLHK karena arealnya terbakar pada 2019 mencapai 100 ha. Saat ini berkas PT GH masih dilengkapi untuk dapat diproses penuntut umum dinaikkan ke pengadilan.

Perkara di atas menunjukan jika karhutla terjadi penyidik dapat langsung menetapkan korporasi yang arealnya terbakar sebagai tersangka menunggu pasal 98 dan 99 UU 32/ 2009 tentang PPLH tanpa harus menunggu adanya sanksi administratif (premium remedium). Pasal ini menjadi senjata pamungkas bagi penyidik untuk memberi efek jera pada korporasi pembakar hutan dan lahan.

Apa yang akan terjadi jika RUU Cipta Kerja disahkan?

Penyidik polisi dan PPNS KLHK saat menerima laporan telah terjadi karhutla di areal korporasi ataupun cukong, tidak bisa langsung memproses secara pidana. Penyidik harus memastikan kepada Pemerintah Pusat apakah areal perusahaan yang terbakar telah mendapatkan sanksi administrasi berupa denda. Jika sudah didenda, pidananya hapus. Itu artinya penyidik tidak bisa memproses secara pidana.

Pasal 98 dan 99 UU 32/2009 dalam RUU Cipta Kerja berbunyi:

Pasal 98:

  • Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp 3 Miliar dan paling banyak Rp 10 Miliar.
  • Dalam pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun.
  • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan orang luka dan/ atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 4 Miliar dan paling banyak Rp 12 Miliar.
  • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 5 Miliar dan paling banyak Rp 15 Miliar.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 99:

  • Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dikenai sanksi administratif berupa denda paling sedikit Rp 1 Miliar dan paling banyak Rp 3 Miliar.
  • Dalam pelaku tidak melaksanakan kewajiban pemenuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun.
  • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 mengakibatkan orang luka dan/ atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit Rp 2 Miliar dan paling banyak Rp 6 Miliar.
  • Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 9 tahun dan denda paling sedikit Rp 3 Miliar dan paling banyak Rp 9 Miliar.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Selain sanksi administratif berupa denda dalam pasal 98 dan 99, korporasi juga wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/ usahanya (Pasal 168).

Pasal 167:

  • Pemerintah pusat berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan perizinan berusaha yang dilakukan pemegang perizinan berusaha.
  • Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai dengan kewenangannya.
  • ASN dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berkerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan.
  • Dalam hal ASN dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap perizinan berusaha yang dilakukan oleh pemilik perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ASN sesuai dengan kewenangannya dapat mengenai sanksi administratif kepada pemilik perizinan berusaha.
  • Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dapat berupa:
    1. Peringatan
    2. Penghentian sementara kegiatan berusaha
    3. Pengenaan denda Administratif
    4. Pengenaan daya paksa polisional
    5. Pencabutan lisensi/ sertifikasi/ persetujuan dan/atau
    6. Pencabutan perizinan berusaha
  • Kewenangan pemerintah pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dapat dilimpahkan pada pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 4 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 168:

Setiap pemilik perizinan berusaha yang dalam melaksanakan kegiatan/ usahanya menimbulkan dampak kerusakan pada lingkungan hidup, selain dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 167 ayat 5, pemilik perizinan berusaha wajib memulihkan kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan/ usahanya.

Simulasi kasus karhutla

RUU Cipta Kerja resmi menjadi UU. Lalu, terjadi karhutla di areal korporasi:

Contoh 1:

  1. A terbakar seluas 50 ha. Merujuk pasal 98 dan 99, PT A harus diberi sanksi administratif berupa denda. Jika sengaja, denda Rp 3- 10 Miliar, jika lalai denda Rp 1 – 3 Miliar. Kira-kira berapa denda yang akan diberikan pemerintah kepada PT A?

Anggaplah setelah cek lapangan, pemerintah menemukan karhutla yang terjadi di areal PT A ternyata tidak memiliki sarana prasarana yang cukup, kurangnya tim pemadam karhutla, lokasi terbakar merupakan areal tak produktif dan ditemukan adanya pembukaan lahan baru (land clearing) serta di dekat lokasi ditemukan adanya penyediaan bibit baru. Kira-kira pemerintah akan memutuskan PT A disanksi sengaja melakukan pembakaran atau karena kelalaiannya?

Kewenangan menentukan sengaja atau lalai berada di tangan pemerintah. Anggaplah pemerintah menetapkan PT A karena kelalaiannya akibatkan terjadinya karhutla yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan membayar denda sebesar Rp 1 Miliar. Lalu PT A membayar denda tersebut. Sanksi administrasi PT A otomatis hilang.

Contoh 2:

Karhutla terjadi di areal PT B seluas 1000 ha. Setelah di cek lapangan, pemerintah menemukan PT B tidak memiliki sarana prasarana yang cukup, kurangnya tim pemadam karhutla, lokasi terbakar merupakan areal tak produktif dan ditemukan adanya pembukaan lahan baru (land clearing) serta di dekat lokasi ditemukan adanya penyediaan bibit baru. Pemerintah menetapkan PT B sengaja melakukan pembakaran dan akibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. PT B disanksi harus membayar denda sebesar Rp 10 Miliar. Setelah membayar denda, otomatis sanksi administrasi PT B hilang.

Dari contoh 1 dan 2, kasus karhutla dengan temuan lapangan yang sama bisa diputuskan sanksi yang berbeda karena kewenangan menentukan sanksi mutlak berada di tangan pemerintah. Alasan pertimbangan memutuskan sanksi yang diberikan juga mutlak hak pemerintah dengan mempertimbangkan temuannya di lapangan. Bahkan, temuan di lapanganpun bisa diabaikan. Juga bisa terjadi lobi-lobi perusahaan langsung ke pemerintah untuk mengurangi biaya denda, peluang korupsi terbuka lebar antara pengusaha dan pemerintah. Lagi-lagi publik tidak bisa tahu proses penetapan sanksi terhadap korporasi.

Bagaimana jika masyarakat atau warga yang membakar lahan?

Si C adalah petani. Lahannya terbakar seluas 10 x 10 meter. Oleh pemerintah merujuk pasal 98 dan pasal 99 dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. Lalu pemerintah memberi sanksi berupa denda karena kelalaiannya mengakibatkan kebakaran berupa denda Rp 1 Miliar. Karena miskin si C tidak sanggup membayar denda. Otomatis si C dapat langsung dipidana: dijadikan tersangka, didakwa oleh penuntut umum dan diputus bersalah oleh hakim. Si C akhirnya mendekam di penjara.

Dari kasus PT A, PT B dan petani C, korporasi dengan mudah membayar denda administratif dan otomatis pidananya hilang, bahkan korporasi dapat dengan mudah pula mempengaruhi pemerintah dengan menyuap agar biaya denda lebih rendah. Untuk petani C, tentu tidak sanggup membayar denda paling rendah sekalipun yaitu Rp 1 Miliar dan petani tidak bisa mempengaruhi pemerintah untuk mengurangi dendanya.

III. ANALISIS

  1. Sanksi Administratif Tidak Merugikan Apalagi Membangkrutkan Korporasi

Denda paling tinggi Rp 10 Miliar dalam pasal 98, jika lahan korporasi terbakar seluas 1000 ha tidaklah merugikan korporasi. Karena dengan membakar lahan, korporasi hanya butuh biaya Rp 5 juta untuk membakar lahan seluas-luasnya dibandingkan dengan cara manual menggunakan alat berat, pemupukan dan penggunaan bahan kimia lain yang biayanya mencapai Rp 40 – 50 juta per hektar (hasil riset Prof Bambang Hero Saharjo dan Dr Basuki Wasis, Dosen Kehutanan IPB).

Simulasi PT B yang arealnya terbakar seluas 1000 ha, butuh biaya Rp 50 Miliar (kisaran biaya Rp 50 juta/ ha) untuk membuka lahan tanpa bakar (manual). Artinya bahkan dengan membayar denda tertinggi sekalipun, PT B masih mendapatkan keuntungan dengan menghemat pengeluaran untuk membersihkan lahan sebesar Rp 40 Miliar.

Begitupula dengan PT A yang arealnya terbakar seluas 50 ha, butuh biaya Rp 2,5 Miliar untuk membuka lahan tanpa bakar. Sedangkan ia diberi sanksi administrasi membayar denda Rp 1 Miliar, PT A masih untung Rp 1,5 Miliar menghemat pengeluaran untuk membersihkan lahannya.

Ini berarti, pembakaran hutan dan lahan akan terus terjadi dan menjadi pilihan perusahaan untuk membersihkan arealnya. Selain karena menghemat biaya pembersihan lahan, denda yang diberikan pemerintah dari sanksi administratif juga tidak membuat perusahaan rugi apalagi bangkrut.

  1. Korporasi Lebih Senang Diberi Sanksi Administratif

PT Triomas FDI divonis bersalah pada 27 September 2018 oleh majelis hakim PN Siak berupa pidana denda Rp 1 Miliar dan pidana tambahan memperbaiki kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp 13 Miliar karena lahannya terbakar seluas 140 ha pada 2016 silam. Empat bulan pasca putusan, pada 8 Januari 2019, Direktur Utama PT Triomas FDI, Supendi langsung mendatangi Kejaksaan Negeri Siak untuk membayar denda Rp 1 Miliar.

Begitupula PT Adei Plantation & Industry, pasca divonis bersalah pada 16 September 2014 di PN Pelalawan karena kelalaiannya akibatkan kerusakan lingkungan hidup, perusahaan ini divonis pidana denda Rp 1,5 Miliar dan memulihkan lahan yang rusak karena karhutla seluas 40 ha pada 2013 silam dengan biaya Rp 15,1 Miliar. Pada 12 Agustus 2020, Kejaksaan Negeri Pelalawan menerima pembayaran biaya perbaikan lingkungan sebesar Rp 15,1 Miliar yang diserahkan oleh Indra Gunawan selaku Group Manager PT Adei Plantation & Industry. Untuk pidana denda Rp 1,5 Miliar telah disetorkan ke kas Negara oleh PT Adei terlebih dahulu.

Dua korporasi di atas dengan mudah mengeluarkan uang Rp 1 – 15 Miliar lebih. Tentu saja mereka dengan senang hati membayar sanksi administratif berupa denda setelah RUU Cipta Kerja menjadi UU.

  1. Masyarakat Adat dan Tempatan Kian Mudah Dikriminalisasi

Kasus yang menimpa Syafruddin, Rustam dan Iwan, petani yang membakar lahan tak sampai setengah hektar untuk ditanami tanaman pangan kebutuhan sehari-hari ataupun membersihkan pekarangan rumah dapat dikenakan pasal 98 atau 99. Kalaupun dikenakan pasal 99 dan dipidana denda paling rendah Rp 1 Miliar pun, para petani ini tidak akan mampu membayar. Akhirnya mereka tidak memiliki pilihan selain dipenjara atau dikriminalisasi.

Pun dengan masyarakat adat di Riau yang memiliki kebiasaan mengelola lahan dengan cara bakar berdasarkan adat istiadat dapat dikenakan pasal 98 atau 99 akan rentan dikriminalisasi dan akhirnya dipenjara karena tak mampu membayar sanksi administratif berupa denda terendah sekalipun.

  1. Proses Pidana Lebih Transparan Dibanding Proses Sanksi Administratif oleh Pemerintah

Polda Riau berhasil mempidanakan 7 korporasi sawit sepanjang 2013 – 2020 atas desakan masyarakat Riau yang terpapar polusi asap. Harapan agar korporasi dipidana diwujudkan oleh Polda Riau termasuk Gakkum KLHK yang mempidanakan 3 korporasi. Seluruh perusahaan tersebut dijadikan tersangka menggunakan pasal 98 dan 99 UU 32/2009 tentang PPLH.

Selama proses penanganan perkara, mulai dari penyelidikan hingga penyidikan, penyidik polisi dan PPNS KLHK mengumumkan kepada publik perkembangan penanganan perkara mulai dari tersangka, luas terbakar dan pemeriksaan saksi hingga terdakwa. Setidaknya publik sudah mulai mengetahui identitas dan luasan korporasi yang terbakar. Bahkan jika masyarakat atau organisasi  yang melaporkan, Polda Riau mengabarkan perkembangan penanganan perkaranya.

Setelah berkas rampung di penyidik, berkas para tersangka diserahkan ke penuntut umum. Penuntut Umum mengumumkan kepada publik dakwaan telah diserahkan ke pengadilan. Lalu pengadilan menjadwalkan sidang perkara tersebut. Publik dapat mengetahui perkembangan persidangan di laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pengadilan negeri. Dalam SIPP menyediakan informasi seputar terdakwa, pasal yang didakwakan, uraian singkat perkara, nama jaksa, majelis hakim hingga jadwal sidang.

Lalu hakim menyidangkan perkara dan sidang dinyatakan terbuka untuk umum. Selama proses persidangan berlangsung, publik dapat melihat langsung kinerja penyidik, penuntut umum hingga hakim. Bahkan publik secara langsung dapat melihat dan mendengarkan keterangan saksi, ahli hingga terdakwa.

Hasil pantauan Senarai di 7 korporasi yang ditangani Polda Riau dan 3 korporasi yang ditangani PPNS KLHK, selama proses persidangan, terbukti ke 10 korporasi tersebut memang sengaja melakukan pembakaran lahan. Fakta-fakta ini diungkap oleh saksi dan ahli yang dihadirkan selama persidangan oleh jaksa maupun terdakwa. Bahkan dengan meninjau langsung di lapangan saat sidang setempat.

Dengan persidangan yang terbuka, seluruh fakta yang terungkap, hingga perilaku hakim yang akan memutuskan perkara dapat dipantau langsung oleh publik.

Bahwa dengan penanganan secara pidana, publik dengan mudah mendapatkan informasi lengkap mengapa korporasi melakukan pembakaran lahan. Di sisi lain, dengan proses pidana yang transparan, akan meminimalisir praktik mafia baik dari proses penyidikan hingga ke proses peradilan. Bahkan ini dapat menekan praktik korupsi berupa suap agar vonis yang diberikan majelis hakim meringankan para terdakwa.

Informasi di atas akan sulit diperoleh publik jika korporasi dikenakan sanksi administratif, karena proses penanganannya tertutup dan hanya diketahui oleh pemerintah saja. Kalaupun pemerintah menyampaikan informasi kepada publik, itu tidak utuh dan hanya sepotong-sepotong. Artinya publik tidak mendapatkan akses informasi secara utuh terkait perkara karhutla yang ditangani pemerintah.

  1. Sanksi Administratif Peluang Korupsi

Pengenaan sanksi administratif berupa denda dari pemerintah membuka peluang korupsi karena dalam menetapkan sanksi, prosesnya tidak transparan dan hanya diketahui oleh birokrasi pemerintah. Kapan denda diputuskan dan apa pertimbangannya, publik juga tidak bisa mengetahui. Korporasi juga dengan mudah melakukan lobi ataupun memberikan suap kepada pemerintah sebelum menetapkan sanksi. Emangnya pemerintah mau memberitahukan kepada publik saat perusahaan bertemu dengan pemerintah?

 IV. KESIMPULAN DAN REKOMEDASI

RUU Cipta Kerja untuk UU 32/2009 tentang PPLH secara langsung maupun tidak, melanggengkan korporasi terus membakar hutan dan lahan seluas-luasnya, mengkriminalisasi masyarakat adat dan tempatan, pengenaan sanksi administratif membuka peluang korupsi karena proses penetapan sanksinya tertutup untuk publik dan menguntungkan korporasi. Pasal 98 dan 99 menjadi ultimum remedium melemahkan penegkan hukum yang dilakukan oleh Polda Riau dan Gakkum KLHK  yang selama ini berhasil membongkar praktek dan motif kejahatan korporasi membakar hutan dan lahan karena berbiaya murah.

Jikalahari merekomendasikan:

  1. Presiden dan DPR RI menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja.
  2. Kapolri, Dirjen Gakkum KLHK dan Kejagung menolak pembahasan RUU Cipta Kerja karena mempengharui prestasi penegakan hukum karhutla dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat yang terpapar polusi asap (9 warga meninggal dan korban ISPA) berupa membongkar kejahatan korporasi pembakar hutan dan lahan, termasuk tingkat kepercayaan publik terhadap penegak hukum akan tergerus sebab jika terjadi karhutla penegakan hukum pidana masih menjadi andalan dan harapan publik.

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *