Warga Teluk Meranti Tolak Perkebunan HTI

TELUK MERANTI –  Sekitar 150 warga dan tokoh masyarakat Teluk Meranti  dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggelar aksi protes di Kantor DPRD Pelalawan dan Kantor Bupati Pelalawan, Riau, Selasa (24/8/2010) pagi, menolak aktivitas perusahaan yang terus merusak hutan gambut Semenanjung Kampar untuk dijadikan perkebunan HTI. Mereka juga mendesak pemerintah menerapkan moratorium.

TELUK MERANTI –  Sekitar 150 warga dan tokoh masyarakat Teluk Meranti  dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menggelar aksi protes di Kantor DPRD Pelalawan dan Kantor Bupati Pelalawan, Riau, Selasa (24/8/2010) pagi, menolak aktivitas perusahaan yang terus merusak hutan gambut Semenanjung Kampar untuk dijadikan perkebunan HTI. Mereka juga mendesak pemerintah menerapkan moratorium.
Seratusan warga tersebut datang ke Ibu Kota Pelalawan, Pangkalan Kerinci menggunakan dua unit bus dan mobil bak terbuka. Aksi tersebut digelar setelah warga mengirimkan surat penolakan resmi atas kesepakatan yang dilakukan PT RAPP dengan sejumlah perwakilan masyarakat yang disebut Tim 40.
Namun kesepakatan tersebut tidak diterima sebagian masyarakat karena tidak melibatkan mereka dalam penentuan sikap. Sementara surat penolakan warga ditujukan kepada Direktur PT RAPP di Pangkalan Kerinci pada Jumat pekan lalu tersebut dan ditandatangani oleh 429 warga Teluk Meranti.
Jasri Abas, anggota Tim 40 yang menolak kesepakatan dengan perusahaan mengatakan, nota kesepakatan tidak melibatkan masyarakat dalam menentukan sikap. Dalam butir-butir kesepakatan itu juga dinilai merugikan masyarakat dan menghilangkan hak-hak masyarakat atas kepemilikan tanah dan lahan di kawasan Semenanjung Kampar.

“Kesepakatan dengan RAPP itu tidak disetujui semua anggota Tim 40. Ini artinya masih ada pro-kontra di masyarakat terkait pengelolaan hutan Semenanjung Kampar. Selain itu, satu di antara butir kesepakatan sangat merugikan masyarakat yakni pengelolaan tanaman kehidupan melalui koperasi. Lahan di tanaman kehidupan tersebut tidak bisa dimiliki oleh masyarakat secara individu karena status lahan itu tidak dibebaskan dari areal konsesi perusahaan. Padahal lahan tersebut sudah sejak lama dimiliki oleh masyarakat per orangan,” kata Jasri Abas.

Sekretaris Jendral Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), Jhony Setiawan Mundung, mengatakan, adanya surat penolakan masyarakat terhadap MoU yang dibuat membuktikan bahwa PT RAPP sudah melanggar prinsip FPIC (Free Prior Informet and Consent) atau persetujuan tanpa paksaan yang sudah diadopsi oleh PT RAPP1. FPIC merupakan prinsip pembangunan yang diatur dalam deklarasi PBB di mana Indonesia ikut bertandatangan, dan RAPP telah berkomitmen untuk menerapkannya, tapi dalam kasus Semenanjung Kampar RAPP mengingkarinya.

“Aksi ini menegaskan kepada pemerintah bahwa masyarakat masih belum menerima negosiasi yang disusun PT RAPP yang hanya menguntungkan pihak perusahaan. Pemerintah seharusnya bertindak mencabut izin konsesi (RKT) PT RAPP baik yang terbit tahun ini maupun tahun 2009 karena sudah terbukti melanggar persyaratan yang dikeluarkan sendiri oleh departemen kehutanan pada awal tahun ini,” kata Mundung.

Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Susanto Kurniawan pemerintah harus konsisten dalam perlindungan hutan gambut Semenanjung Kampar dan dalam program emisi, presiden harus mengutamakan pemanfaatannya untuk masyarakat.

“Presiden SBY harus cepat bertindak menerapkan moratorium hutan di Semenanjung Kampar untuk menyelamatkan masa depan generasi mendatang, iklim dan menghentikan pemanasan global. Pemerintah juga harus tegas dalam status pengelolaan gambut yang merupakan penyimpan cadangan karbon bagi iklim Indonesia,” kata Susanto. (*)

 

Sumber: Tribunnews.com (Zm)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *