HIPAM: Pegiat Alam Peduli Gajah

Oleh Suryadi dan Made Ali

PADA 5 Juli 2015, saya bersama Zulhusni Syukri dan Arif dari Hipam bergerak memasuki Sebanga KM 11. Dari situ mobil memasuki jalan tak beraspal, jalan tanah keras berwarna kemerahan, menuju KM 52 lokasi seekor gajah ditemukan mati tanpa gading dikubur pada 23 Juni 2015 sesudah diautopsi oleh BBKSDA Riau.

Dua jam perjalanan badan terombang ambing. Sesekali mobil menghantam lobang. Suhu di luar mobil 33 derajat Celcius.

Kiri kanan jalan tampak pemandangan: pohon sawit, pohon akasia, rumah permanen, rumah terbuat dari kayu, lahan akasia bekas terbakar, pagar dari kawat besi yang melilit kayu-kayu tegak di dalamnya ada tanaman sawit berumur 1-2 tahun, juga perusahaan sedang panen akasia, ada 25 tenda yang dibangun oleh masyarakat adat Batin Beringin Sakai yang dibangun sejak April 2014 atas klaim seluas 7.128 ha lahan mereka masuk dalam konsesi perusahaan. Semua pemandangan itu berada dalam konsesi PT Arara Abadi Distrik Duri. Selain di dalam konsesi PT Arara Abadi, gajah kerap ditemukan mati di dalam SM Balai Raja.


SEKELOMPOK
pemuda dari Duri Kabupaten Bengkalis hobi mendaki gunung. Salah satu gunung yang sering mereka daki adalah Merapi, Sumatera Barat. Saking seringnya mandaki dan berkumpul di atas gunung, mereka buat satu komunitas yang giat melestarikan lingkungan.

Komunitas ini semacam Mahasiswa Pecinta Alam yang ada di kampus. Bedanya, mereka berasal dari beragam profesi. Mulai mahasiswa, guru hingga polisi. Mereka menamakannya Himpunan Pegiat Alam atau Hipam. Terbentuk pada 2006, pasca turun dari Gunung Merapi Sumatera Barat.

Pada 2009, pengurus Hipam mulai memperhatikan keadaan gajah di Kabupaten Bengkalis. Terutama di hutan Suaka Marga Satwa Balai Raja yang jadi jalur perlintasan hewan mamalia menyusui. Ini bermula, saat mereka menerima laporan dari warga tentang adanya gajah betina yang sakit.

Pengurus Hipam segera mendatangi lokasi yang disebut oleh warga. Namun, setelah melihat kondisi gajah, mereka bingung hendak berbuat apa terhadap hewan bergading tersebut. Seorang pengurus Hipam kemudian menghubungi pegawai Balai Besar Koservasi dan Sumberdaya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau.

Satu hari kemudian, tim dari BKSDA pun turun. Mereka memeriksa kondisi gajah. Hasilnya, gajah diketahui terkena kanker payudara. “Satu hari setelah pemeriksaan itu, gajah nya meninggal,” kata Arif, Ketua Hipam.

Pengalaman pertama menangani gajah ini buat pengurus Hipam bertekad untuk giat menyelamatkan gajah-gajah selanjutnya. Ditambah lagi, mereka sering menerima aduan banyaknya gajah mati karena diracun, ditembak bahkan terkena perangkap yang sengaja dibuat oleh manusia. “Kadang manusia pun berkonflik dengan gajah,” ucap Asrul yang bergabung dengan Hipam sejak 2013.

Untuk memantau gajah yang lalu lalang di hutan Balai Raja, pengurus Hipam bergantian patroli tiga kali dalam satu minggu. Jika menemukan gajah yang masuk dalam pemukiman atau merusak tanaman warga, mereka bersama-sama ikut menghalau gajah. Hal yang umum dilakukan, mereka membunyikan meriam karbit atau bunyi lainnya supaya gajah tidak masuk dan menyerang warga.

Selama pemantauan, pengurus Hipam kerap menemukan gajah yang sakit bahkan mati. Ada juga gajah yang putus kaki karena jerat yang dipasang warga. Kalau menemukan kejadian seperti ini, mereka segera menghubungi BKSDA dan terus memantau perjalanan gajah sembari menunggu tim medis datang. Sayangnya, bantuan ini kadang datang terlambat. “Kadang berminggu-minggu kami menunggu,” kata Asrul. “Masalahnya, dokter gajah itu cuma ada satu di Sumatera ini. Di Medan,” sambung Arif.

Meski rutin patroli, pengurus Hipam kadang tidak menemukan gajah yang melintas. Tapi, waktu senggang ini mereka gunakan berdialog dengan warga sekitar atau pekerja di kebun. Sambil menikmati kopi, mereka mensosialisasikan cara menghalau gajah tanpa menyakitinya. Kompor dan kopi adalah bekal yang tak pernah pisah dari pengurus Hipam saat patroli.

Pengurus Hipam punya pengalaman unik selama aktif melakukan patroli. Mereka kerap memberi nama pada gajah yang dijumpai. Gajah yang sudah diberi nama diantaranya Diana, Getar dan Jesika. Dua nama terkahir punya alasan tersendiri. Seekor gajah diberi nama Getar karena sempat buat Asrul gemetar di atas pohon.

Saat itu, Asrul sedang mengambil video gajah yang sedang lewat dari atas pohon. Tanpa sadar, ternyata di bawah pohon ada seekor gajah. Gajah tersebut seolah menunggu Asrul turun dan tak bergerak sedikit pun. Lama menunggu di atas, Asrul merasa takut dan gemetaran. Tak hanya itu, Asrul juga baru tahu, pohon yang ia panjat ternyata sudah mati dan tak ada lagi daun yang tumbuh sama sekali.

“Saya takut gajah itu menyeruduk pohon,” kenang Asrul. Tapi ia beruntung, gajah kemudian pergi.

Sementara, gajah yang diberi nama Jesika karena pengurus Hipam teringat dengan peristiwa matinya Mirna yang diracun oleh Jesika.

Hal berkesan juga pernah dialami Arif. Saat mengintai gerombolan gajah yang lewat, ia tak sengaja menginjak perangkap yang dipasang oleh warga. Perangkap itu hampir saja mengenai wajahnya. “Kalau kena, merah juga muka dibuatnya tu,” ucap Arif.

Arif juga pernah hampir diikat oleh warga. Pasalnya, ketika mendampingi petugas dari BKSDA, ia ditinggal sendirian di kebun milik warga. Saat itu lagi musimnya gajah merusak kebun terutama sawit. Warga yang berbondong-bondong sedang mencari gajah melihat Arif sendirian dan disangka pemilik gajah. “Ikat. Ikat dia. Dia pemilik gajahnya tu,” ujar Arif tersenyum mengenang cerita itu.

Semangat Arif dan teman-temannya tak pernah berkurang hingga sekarang. Mereka terus melakukan hal kreatif demi menyelamatkan gajah yang sudah tergolong punah di Sumatera. Pengurus Hipam pernah menggalang dana untuk membantu warga yang rumahnya roboh karena diserobot oleh gajah. Bantuan ini kadang mereka berikan secara penuh sampai rumah tersebut bisa dibangun kembali. Bagi mereka yang tergolong mampu pun tetap dibantu oleh pengurus Hipam. “Tapi setengahnya saja,” kata Asrul.

Cara kelompok ini menggalang dana bermacam-macam. Mulai dari ngamen di jalan, di persimpangan lampu merah hingga mendatangi sekolah-sekolah. Tak jarang, mereka juga meminta pada pemerintah setempat seperti Camat. Kalau tak dikasih, mereka datangi langsung satu persatu pegawai di kecamatan.

“Kami minta duitnya ke Camat dulu. Baru Camat nya kami ajak keliling menemui pegawainya. Kalau Camat nya ikut, pegawai pada takut semua,” tutur Arif.

Kini, selain memantau kondisi gajah, Arif dan kawan-kawan juga berusaha menyediakan lahan untuk ditanami makanan gajah. Tujuannya, ketika gajah masuk di pemukiman atau di kebun warga, gajah bisa dihalau ke lahan ini.

Ide ini dibuat berdasarkan pengalaman pengurus Hipam ketika berhadapan dengan gerombolan gajah. Mereka sering kebingungan. Tak tau gajah-gajah itu mau diarahkan ke mana. Hutan di Duri semakin berkurang. Padahal, jalur perlintasan gajah itu dulunya hutan yang jadi wilayah jelajah mereka.

Ini juga yang buat pengurus Hipam bertambah bingung karena protes dari warga. “Usir gajah kalian itu. Angkat gajah kalian itu. Kurung gajah kalian itu,” tutur Arif mengingat ucapan warga ketika mereka sedang patroli.

Hal lain yang jadi kendala pengurus Hipam menyelamatkan gajah, kurangnya perhatian pemerintah terhadap gajah yang masih tersisa. Pembukaan hutan dan pembuatan kanal sangat mengganggu kehidupan dan merusak habitat gajah. Gajah tak bisa melintas karena terhalang oleh kanal dalam lahan perusahaan. Kata Asrul, biasanya dalam bulan ini gajah sudah mulai masuk ke hutan Balai Raja.

Sekarang pemerintah Kabupaten Bengkalis membangun jalan untuk lintasan baru melewati Duri. Lintasan ini dikenal dengan jalan Lingkar. Namun, pembangunan jalan ini membuka hutan Balai Raja yang tersisa. Pengurus Hipam mengecam kebijakan yang sudah terlanjur terlaksana ini. Karena mengganggu jalur perlintasan gajah.

“Kita minta pemerintah menghentikan pengerjaan jalan itu.”#

About Nurul Fitria

Staf Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *