Catatan Akhir Tahun 2013 Jikalahari

Buruknya tata kelola kehutanan selama ini karena pemerintah Indonesia membiarkan korporasi menebang hutan alam, merampas hutan tanah rakyat, melakukan praktek korupsi, illegal logging dan perusakan ekologis. Sikap political of ignorance pemerintah, tentu saja memberikan keuntungan besar korporasi berbasis industri kehutanan. Sikap bertentangan dengan komitmen mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen. Cerita itu kembali terjadi sepanjang tahun 2013.

I

SENARAI

SEKAPUR SIRIH Delapan  warga kampung dari Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rohil yang terkena dampak perubahan iklim di Provinsi Riau bersama Jikalahari dan ICELmenggugat Presiden Republik Indonesia, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Riau di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 9 September 2013.

Dampak yang mereka alami berupa banjir minimal setahun sekali, musim tanam tidak menentu, sulitnya nelayan mencari ikan di laut hingga meningkatnya hama yang mengurangi hasil produksi pertanian.  “Paling parah kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi tiap tahun yang asapnya menggangu kesehatan, menyebabkan kami tak dapat menjalankan aktivitas ekonomi dan aktivitas sehari-hari secara optimal,” kata M Yusuf, 69 tahun, dari Desa Serapung,Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan.

“Hutan tak ade lagi, banyaknya hewan-hewan liar yang masuk ke wilayah pemukiman. Kami merasa terancam ketika melakukan aktivitas keseharian,” kata Tarmidzi, 56 tahun, dari Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rokan Hilir.

Menurut mereka, sejak hadirnya perusahaan hutan tanaman industri yang telah menebang hutan alam dan merusak lahan gambut serta perkebunan kelapa sawit berdampak pada kehidupan dan mata pencaharian mereka. Sepenggal cerita di atas, salah satu peristiwa penting sepanjang tahun 2013. Gugatan tersebut masih berlangsung di meja hijau.

Dan, sepanjang tahun 2013.

Industri berbasis “hutan” tanaman kembali menghancurkan hutan alam tersisa di Propinsi Riau. Korporasi melakukan praktek bisnis as usual tersebut, kembali dibiarkan begitu saja oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Riau adalah bumi melayu, di mana hutan alam menjadi sagang kebudayaan melayu.

Sejarah mencatat, penghuni hutan alam itu adalah masyarakat asli Melayu. Masyarakat melayu asli kerap disebut ‘melayu darat’ dan ‘melayu pesisir’, tinggal di daratan Sumatera, sebagian besar di kawasan hutan. Mereka tersebar di hutan, sungai dan laut.  Orang Bonai’ di aliran sungai Rokan. ‘Orang Sakai’ di aliran sungai Siak. ‘Orang Talang’ atau ‘Petalangan’ di aliran sungai Kampar. ‘Orang Talang Mamak’ di aliran sungai Kuantan. ‘Orang laut’ di perairan Selat Melaka. Orang laut terdiri atas Puak; Orang Kuala,Oorang Utan, Orang Galang, dan Orang Akit. Mereka sangat bersebati dengan hutan dan sungai.

Mereka punya wilayah tertentu. Ada wilayah hutan, tanah  wilayah atau wilayah hutan, tanah ulayat atau wilayah hutan, tanah kayal, atau hutan tanah ayat atau hutan tanah adat atau tanah hak adat. Masyarakat melayu turun-temurun bermukim dalam kawasan hutan, dengan adat istiadat. Secara menyeluruh, ketentuan adat yang berlaku tidak banyak perbedaaan, terutama mengenai ketentuan adat atas hutan tanah wilayat dan tanah hak adat. “Masyarakat melayu menyebut bahwa hutan tanah beserta isinya bukan hanya sekedar tempat hidup dan mencari nafkah, juga menjadi menjadi simbol pengukuhanan tuah dan marwah serta menjadi sumber falsafah dan nilai budaya yang mereka anut,” Tennas Effendy dalam Norma Masyarakat Hukum Adat Melayu Terhadap Pelestarian Hutan.

Berbagai unsur budaya dan simbol-simbol menunjukkan persebatian mereka dengan alam, yang mereka kekalkan berupa ragam ungkapan adat, upacara adat dan tradisi.”Pelanggaran terhadap ketentuan adat berkaitan dengan hutan tanah dan isinya, dikenakan sanksi berat, antara lain denda adat bahkan sampai mengucilkan dari masyarakat atau diasingkan dari pergaulan, bagi masyarakat melayu, terlanggar pantang larangan menjadi aib besar, apalagi bila kena sanksi adat.” Kembali pada penghancuran hutan alam sepanjang tahun 2013.

Dalih pemerintah membiarkan penghancuran hutan alam, karena korporasi memiliki “izin” dari pemerintah, meski izin  dan praktek korporasi tersebut mengandung kejahatan korupsi, illegal logging dan perusakan lingkungan. Karena lisensi dan konsesi telah diberikan oleh pemerintah kepada korporasi, atas nama pemerintah dan kekuatan kapitalisme, korporasi dengan mudah merampas hutan-tanah masyarakat adat maupun masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan jauh sebelum Indonesia merdeka. Korporasi membangun konflik dengan masyarakat.

Dan, “menyelesaikan” konflik, bagian dari dana operasional perusahaan. Dampak besar lainnya: deforestasi-degradasi, akses masyarakat terhadap hutan dibatasi, kriminalisasi warga yang membela hutan tanah, hingga praktek korupsi memperpanjang catatan buruknya tata kelola kehutanan Indonesia.

Anehnya, ketika masyarakat dari Desa hendak ikut menyelamatkan hutan dari kehancuran, pemerintah hanya memberi sedikit hutan untuk dikelola di desa bernama hutan desa. Pembiaran penghancuran hutan alam, tentu saja bertentangan dengan semangat dan komitmen hijau pemerintah yang hendak melawan perubahan iklim berupa mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen.  Ujungnya, buruk rupa tata kelola kehutanan Indonesia.

II

SENARAI KASUS 2013

A. APRIL dan APP penyumbang Deforestasi-Degradasi

Penghacuran Hutan Alam Di Riau kembali terjadi dan berulang tiap tahun. Data Jikalahari menunjukkan tiga tahun terakhir (2009-2012), Riau kehilangan tutupan hutan alam sebesar 565.197.8 hektar (0,5 juta hekatre), dengan laju deforestasi  pertahun sebesar 188 ribu hektar  pertahun atau setara dengan hilangnya 10 ribu kali lapangan futsal per hari. Dan 73,5 persen kehancuran itu terjadi pada Hutan Alam Gambut yang seharusnya dilindungi.

Deforestasi semakin meningkat di tahun 2013. Sepanjang tahun 2012-2013 total 252,172 hectare penghancuran hutan alam oleh korporasi berbasis tanaman industry, dibanding tahun sebelumnya sebesar 188 ribu hectare. Kini sisa hutan alam sekira 1,7 juta hektar atau tinggal 19 persen dari luas daratan Riau seluas 8,9 juta hektare.

Khusus korporasi berbasis tanaman industri yang menebang hutan alam, sebanyak 23 perusahaan APP dan Partner menebang seluas 26,181 hekatre. APRIL dan partner sepanjang 2012-2013 telah menebang hutan alam atau terjadi deforestasi di konsesi 33 konsesi April dan partner seluas 43,401 hekta. Artinya total deforestasi yang terjadi di konsesi APP dan APRIL seluas 69.582 hektare sepanjang tahun 2012-2013.

Deforestasi lainnya terjadi di areal perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh perusahaan dan masyarakat. Total 252.172 hektare deforestasi terjadi di areal konsesi HGU dan yang dikelola masyarakat, dengan rincian seluas 10.586 hektare (konsesi HGU) dan 241.586 hektare (di luar konsesi HGU). Di luar deforestasi di atas, deforestasi juga terjadi di areal kawasan hutan lindung, konservasi sumberdaya alam dan di luar itu.

B. Kebakaran Hutan dan Lahan terbesar di areal korporasi HTI dan Sawit

Total Hospot sepanjang tahun 2013 sebanyak 15.059 titik hotspot. Dengan rician sebagai berikut. Total Hotspot terjadi di areal Perkebunan sawit yang dikelola perusahaan (HGU) 805 titik api dengan total 62 perusahaan. Dan kebun sawit milik warga atau di luar perusahaann (di luar konsesi HGU) total titik api 14.254.Tititk Hospot di areal IUPHHK Hutan Alam ditemukan total 557 titik api.

Sebanyak 4.694 titik api terjadi di konsesi hutan tanaman industri yang dikuasai oleh grup APP dan APRIL yaitu 2.891 kebakaran terjadi di grup APP dan 1.803 kebakaran terjadi di konsesi grup APRIL.

Asia Pulp and Paper

Sebanyak 23 konsesi APP dan partner terbakar sepanjang tahun 2013 dengan total 2.891 titik api. Dari 23 perusahaan tersebut, hasil penelusuran Jikalahari menemukan:

  • Tiga perusahaan yaitu PT Bukit Batu Hutani Alam, PT Ruas Utama Jaya dan PT Sakato Pratama Makmur sudah ditetapkan tersangka oleh Kementerian Lingkungan hidup karena konsesinya terbakar sepanjang tahun 2013.
  • Lima perusahaan yaitu PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari, PT Satria Perkasa Agung, PT Satria Perkasa Agung unit Serapung dan PT Mitra Hutani Jaya terlibat dalam kasus korupsi kehutanan
  • Enam perusahaan yaitu PT Inhil Hutani Alam, PT Ruas Utama Jaya, PT Arara Abadi, PT Suntara Gaja Pati, PT Bina Duta Laksana dan PT Rimba Mandau Lestari terlibat dalam kasus Ilegal Logging tahun 2007. Kasusnya dihentikan Polda Riau tahun 2008.

APRIL

Sebanyak 31 konsesi APRILdan partner terbakar sepanjang tahun 2013 dengan total 1.803 titik api. Dari 31 perusahaan tersebut, hasil penelusuran Jikalahari menemukan:

  • Satu perusahaan yaitu PT Sumatera Riang Lestari sudah ditetapkan tersangka oleh Kementerian Lingkungan hidup karena konsesinya terbakar sepanjang tahun 2013.
  • Sembilan perusahaan yaitu CV Mutiara Lestari, PT Madukoro, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Rimba Mutiara Permai, PT Selaras Abadi Utama, PT Seraya Sumber Lestari, PT Triomas FDI dan PT Uniseraya terlibat dalam kasus korupsi kehutanan
  • Enam perusahaan yaitu PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Kembang Selaras, PT Madukoro, PT Citra Sumber Sejahtera, PT Bukit Batu Sei Betabuh dan PT Nusa Prima Manunggal terlibat dalam kasus Ilegal Logging tahun 2007. Kasusnya dihentikan Polda Riau tahun 2008.

Titik api juga ditemukan di areal Hutan Lindung,Kawasan Suaka dan di luar dua kawasan itu dengan total Hotspot 13.957 titik api.

Titik api ditemukan berada di kawasan hutan dan non kawasan hutan sepanjang tahun 2013. Dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi, meski ada masyarkat yang ditangkap oleh Polda Riau dan korporasi ditetapkan tersangka oleh Kementerian Lingkungan hidup, namun hingga catatan ini diturunkan, belum ada satupun korporasi yang diajukan ke meja hijau.

C. PT RAPP Merampas Akses Masyarakat Atas Hutan Tanah dan Mengkriminalkan pembela lingkungan hidup

Menteri Kehutanan, pada 7 Mei 2013 di Jakarta meresmikan restorasi ekosistem  PT Gemilang Cipta Nusantara, anak perusahaan PT Riau Andalan Pulp and Paper grup APRIL. PT Gemilang Cipta Nusantara berlokasi di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, seluas 20.265 hektare, untuk jangka waktu 60 tahun.

Di media lokal PT RAPP mengatakan, PT Gemilang Cipta Nusantara mengalokasikan dana 7 juta dolar AS, bisnis karbon REDD+ dan menggandeng Fauna and Fauna International dan Yayasan Bidara untuk membantu restorasi ekosistem.

Cerita terbitnya IUPHHK RE PT Gemilang Cipta Nusantara tergolong cepat dibanding hutan desa seluas 7.532 hektar di Desa Serapung dan 2.317 Hektar di Desa Segamai, yang diajukan masyarakat Pelalawan pada tanggal 8 dan 20 Oktober 2010 yang tidak berbekas sampai saat ini. Hutan Desa saat ini bersempadan dengan IUPHHK RE PT Gemilang Citra Nusantara.

Ironisnya, kendati RAPP mengajukan program restorasi hutan senilai jutaan dollar, namun perusahaan ini di waktu hampir bersamaan juga mendapat  izin operasi oleh Menhut RI untuk menebang hutan alam di Pulau Padang mulai April 2013 silam. Jikalahari menilai Menhut RI dan PT RAPP telah melakukan perbuatan melawan hukum, mengintimidasi masyarakat, dan mengkriminalisasi petani aktivis lingkungan dan agraria di Pulau Padang, Kabuparen Kepulauan Meranti, Propinsi Riau, empat tahun terakhir ini.

Konflik antara masyarakat dengan PT RAPP terjadi sejak Menhut menerbitkan SK 327 tahun 2009. SK 327 tahun 2009 memberi tambahan areal seluas 115.025 hektar kepada PT RAPP, seluas 45.205 hektar di antaranya ada di Pulau Padang– Izin itu tersebar di Kabupaten Kampar, Singingi, Siak, Pelalawan dan Bengkalis. Izin itu diberikan oleh Menhut MS Kaban detik-detik dirinya lepas dari Kabinet SBY periode pertama. SK ini kemudian berbuntut panjang dengan pecahnya konflik antara masyarakat dengan PT RAPP.

Sudah 64 kali masyarakat melakukan aksi protes kepada Menhut agar mengeluarkan PT RAPP di Pulau Padang, lantaran tanah, kebun pertanian, rumah masyarakat dan desa masuk dalam konsesi PT RAP. Setidaknya 40 unit alat berat milik PT RAPP sudah beroperasi di Sungai Hiu Desa Tanjung Padang, dan 3 unit alat berat di Desa Lukit, Senalit, Kecamatan Merbau. Tiga ponton berisi kayu alam hasil tebangan juga berada di Senalit). PT RAPP juga mengkriminalkan pembela aktifis lingkungan hingga melaporkan kasus pembunuhan atas nama Chodiri, pekerja sub kontraktor PT RAPP di Senalit.

Pembunuhan terhadap Chodirin yang dilakukan oleh Yannas pada Juli 20112 lalu, tentu saja menyesalkan semua pihak, pembunuhan atau penghilangan nyawa manusia harus kita kutuk. Jikalahari menyampaikan bela sungkawa atas kematian Chodirin dan keluarga yang ditinggalkannya tentu saja harus menjadi tanggungan PT RAPP. Secara hukum, PT RAPP juga harus bertanggungjawab atas kematian Chodirin karena berdasarkan fakta, kematian Chodirin berhubungan erat dengan kehadiran PT RAPP di Pulau Padang.

Hingga catatan ini dibuat, aktifis lingkungan lainnya  M Ridwan, dinyatakan akan segera disidangkan karena berkasnya sudah lengkap oleh Kejaksaan Negeri Bengkalis. Kejadian ini menggambarkan bahwwa secara langsung maupun tidak,  PT RAPP telah melakukan kriminalisasi terhadap aktifis lingkungan, yang secara nyata berjuang membela hutan tanah dan kehidupan anak cucu mereka kelak.

D. Perambahan Taman Nasional Tesso Nilo

Koalisi yang terdiri atas Jikalahari, Walhi Riau dan WWF Riau hari ini Rabu, 24 September 2013, merilis berita mengapresiasi tindakan sigap Kepolisian Daerah Riau Condro Kirono mengamankan kawasan hutan Tesso Nilo. Koalisi mendesak Kapolda Riau menangkap pemodal besar perambaha di Tesso Nilo. Dua minggu terakhir, Kapolda Riau, Condro Kirono terjun langsung memantau kerusakan hutan di Taman Nasional Tesso Nilo pada 9-10 September lalu.

Kapolda Riau melakukan pemantauan dari udara mengenai kondisi  kerusakan hutan di Tesso Nilo dan juga menurunkan langsung puluhan personil ke lapanganRangkaian operasi yang dilakukan oleh  Polda Riau memproses  delapan orang pelaku yang tertangkap tangan melakukan penebangan hutan di KM 81 koridor sektor Baserah PT. RAPP tepatnya di konsesi PT. Hutani Sola Lestari. Kedelapan pelaku bersama alat bukti berupa kayu olahan, chainsaw dan truk colt diesel diamankan di Polres Pelalawan. Deforestasi  di Taman Nasional Tesso Nilo yang kini hanya menyisakan tutupan hutan sekitar 24 ribu hektar.

Kawasan hutan Tesso Nilo dengan luas 167.618 ha merupakan hutan dataran rendah tersisa di Riau yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Sebagian kawasan hutan tersebut dengan luas 83.068 ha ditunjuk oleh Menteri Kehutanan menjadi taman nasional pada tahun 2004 dan diperluas pada tahun 2009. Taman Nasional Tesso Nilo sebelumnya merupakan Hutan Produksi Terbatas sehingga kawasan ini merupakan daerah bekas tebangan.

Perambahan di kawasan hutan ini marak terjadi untuk dijadikan perkebunan sawit baik sebelum kawasan tersebut ditunjuk menjadi taman nasional ataupun setelah menjadi taman nasional dengan memanfaatkan akses yang dibangun perusahaan. Dari total luas taman nasional  tersebut, kerusakan hutan akibat perambahan sudah melebihi 43 ribu hektar (menurut citra April 2013).

Sisa hutan yang relatif baik seluas 24 ribu hektar, dan 15 ribu berupa semak belukar. Sebagian besar dikonversi menjadi kebun sawit illegal yang umumnya dimiliki petani bermodal besar karena rata-rata kepemilikan kebun di atas 50 hektar. Lebih dari 50 persen hutan alam di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo telah beralih fungsi secara non prosedural yang sebagian besar menjadi kebun kelapa sawit.

Langkah penegakan hukum yang dilakukan oleh Kapolda Riau namun Kapolda jangan hanya menangkap operator lapangan, sebab aktor utama hancurnya hutan alam di Tesso Nilo adalah para pemodal dan aktor intelektual. Hilangnya 50 persen hutan alam di Riau ini tidak terlepas dari lemahnya pengawasan oleh Menteri Kehutanan yang terkesan membiarkan.

Kerusakan dan alih fungsi kawasan konservasi  di Riau tidak saja terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo tetapi hampir di semua kawasan Konservasi dan Hutan Lindung seperti Hutan Lindung Bukit Suligi dan Mahato ,Taman Hutan Rakyat (Tahura) Sultan Syarif kasim, Hutan Lindung Bukit Batabuh, Cagar Alam Bukit Bungkuk yang sudah berubah fungsi ditanami kebun Kelapa sawit.

Aparat kepolisian harus menangkap para pemilik modal dan aktor intelektual yang membawa aliran dana untuk merubah kawasan-kawasan tersebut berubah fungsi. Kini di dalam Taman Nasional Tesso Nilo kawasan yang sudah dikonversi menjadi kebun sawit mencapai 15.714 ha dimana 5.841 ha diantaranya merupakan kebun yang sudah menghasilkan Tandan Buah Segar. Perambahan di kawasan hutan Tesso Nilo  disebabkan antara lain kurangnya perlindungan pemegang izin HPHTI dan HPH, adanya dua koridor HTI PT. RAPP di tengah kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai akses untuk masuk kawasan hutan Tesso Nilo. Oknum tokoh adat dan pemerintahan desa berperan dalam memperjualbelikan lahan dan memberi kemudahan dalam menguasai dan memanfaatkan lahan di kawasan Tesso Nilo termasuk kepada pemodal besar.

Hingga catatan ini dibuat, ternyata Polda Riau belum melakukan penegakan hukum di TN Tesso Nilo. Padahal Kementerian Kehutanan bersama Gubernur Riau dan penegak hukum telah membentuk tim terpadu terkait penyelesaian perambahan TN Tesso Nilo.

E. Meragukan Komitmen Forest Conservation Policy Asia Pulp and Paper

Pada 1 Februari 2013. Dunia “dikejutkan” dengan komitmen Asia Pulp and Paper (APP) yang hendak ikut memperbaiki lingkungan dengan cara tidak lagi merusak hutan alam, gambut dan konflik dengan masyarkat. Atas komitmen itu, APP menerbitkan kebijakan bernama Forest Conservation Policy (FCP).

FCP ini berlaku untuk: APP dan seluruh pemasok kayunya di Indonesia, seluruh serat kayu yang berasal dari Indonesia dan digunakan oleh pabrik APP di Indonesia dan China dan Ekspansi di masa depan. Pada dasarnya komitmen APP tidak lagi menggunakan kayu dari hutan alam, mengembangkan area bukan lahan hutan dan mendukung rendah emisi dan penurunan gas rumah kaca, menghindari maupun menyelesaikan konflik sosial di seluruh rantai pasokannya.

Sejak awal tahun 2013, APP bersama lembaga independen sedang melakukan identifikasi HCVF dan HCS di seluruh rantai pemasok kayu yang mereka sebut “mitra” dan “owner” di seluruh Indonesia. Untuk membuktikan komitmennya, APP mengundang masyarakat sipil meminta masukan terkait kebijakan FCP APP.

APP membuka diri melibatkan masyarakat sipil dan mulai transparansi terkait sebagian data operasional perusahaan, patut diapresiasi. Namun, APP belum sepenuhnya menerima tuntutan agar APP melakukan restorasi ekosistem terhadap hutan alam dan gambut yang telah mereka rusak sejak mendapat izin dari pemerintah.

Tuntutan restorasi ekosistem, mereka hanya menjawab diplomatis, tergantung hasil rekomendasi tim penilai HCVF dan HCS yang terdiri atas akademisi yang ditunjuk oleh APP. Ditengah APP sibuk sosialiasi soal FCP mereka, pada 8 April 2013, Eyes On The Forest menemukan sekira 7 alat berat sedang menebang hutan alam di konsesi PT Riau Indo Agropalma di Kabupaten Indragiri Hilir. PT RIA, salah satu pemasok kayu untuk APP dan masuk dalam FCP APP.

Meski akhirnya APP mengakui kebenaran temuan EOF, dan mengatakan areal tersebut diminta oleh masyarakat untuk tanaman kehidupan. Lantas, kayu alam hasil tebangan itu akan kemana? Tentu saja masuk dalam pabrik APP.

Artinya ini bentuk pelanggaran FCP APP. Selain itu, menilik aktifitas APP selama ini, sebenarnya, FCP APP tidak menjawab persoalan dasar praktek kejahatan yang telah dilakukan oleh APP di masa lalu dan di masa kini. Di masa lalu, APP telah merampas hutan tanah masyarakat adat dan masyarakat tempatan sejak APP beroperasi pada tahun 1980 an.

Kejahatan lainnya, APP terlibat dalam kasus korupsi kehutanan dalam kasus terpidana Azmun Jaafar, Asral Rahman, Syuhada Tasman, Burhanuddin Husin dan terdakwa Rusli Zainal (saat ini kasusnya sedang di sidang di PN Tipikor Pekanbaru). Tujuh perusahaan APP juga terlibat dalam kasus Illegal Logging tahun 2007—dihentikan kasusnya oleh Polda Riau tahun 2008.

F. Korupsi Kehutanan dan Kerusakan Ekologis

Setelah dua Bupati, tiga Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau menjadi terpidana atas IUPHHKHT dan RKT tahun 2003-2006, KPK menetapkan mantan Gubernur Riau Rusli Zainal pada Juli 2013, lantas pada November 2013 terdakwa diperiksa di Pengadilan Tipikor Pekanbaru. Hingga catatan ini dibuat, majelis hakim sudah memeriksa 30 saksi terkait kehutanan.

Terdakwa Rusli Zainal didakwa Atas dasar pengesahan BKUPHHKHT yang bukan kewenangannya—kewenang berada pada Kepala Dinas Kehutanan–, sembilan perusahaan yaitu PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Rimba Mutiara Permai, PT Selaras Abadi Utama, CV Bhakti Praja Mulia, CV Putri Lindung Bulan, PT Mitra Hutani Jaya, PT Satria Perkasa Agung, (Kabupaten Pelalawan) dan PT Seraya Sumber Lestari (Kabupaten Siak) telah melakukan penebangan kayu hutan alam seluas 30.879 ha (netto).

Pengesahan izin  initelah memperkaya sembilan perusahaan atau merugikan keuangan Negara total senilai Rp 264 Miliar. Dari sembilan perusahaan PT Mitra Hutani Jaya dan PT Satria Perkasa Agung adalah mitra Asia Pulp and Paper atau Sinarmas Grup milik Eka Tjipta Widjaya. Sisanya, milik APRIL atau Raja Golden Eagle milik Sukanto Tanoto. Total kerugian Negara Rp 264 Miliar hasil perhitungan KPK, masih tidak adil bagi Ekologis.

Sebab, berkaca pada kasus terpidana Burhanuddin Husin yang mengesahkan RKT 12 Perusahaan Tanaman Industri tahun 2005-2006 di Provinsi Riau 38.357 hektare hutan alam ditebang senilai 687 triliun berdasarkan Pendekatan Ekologis-Ekonomis. Seharusnya KPK melakukan pendekatan penghitungan Ekologis-Ekonomis pada kasus terdakwa Rusli Zainal.

Kerusakan hutan alam bukan saja dihitung berdasarkan tegakan kayu alam yang hilang, tapi lebih dari itu, yaitu kerusakan ekologis agar memberi rasa keadilan pada hutan alam dan lingkungan yang telah dirusak oleh perusahaan industri kertas.

Khusus dakwaan korupsi kehutanan, Rusli Zainal diancam dengan Pasal 2 ayal (1) dan pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor : 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor : 31 tahun ‘1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke1 KUH Pidana jo Pasal 65 ayat (1) KUH Pidana.

G. Sertifikat VLK PT Triomas FDI Mengandung Unsur Korupsi

Maret 2013 PT Equality Indonesia memberi Verifikasi Legalitas Kayu dengan predikat lulus sehingga PT Triomas FDI berhak diberikan sertifikat VLK. Sertifikasi ini berlaku hingga Maret 2016. PT Equality menyebut “Memenuhi” kriteria P.1. (Kepastian areal dan hak pemanfaatan), K.1.1. (Areal unit manajemen hutan terletak di kawasan hutan produksi) 1.1.1. (Pemegang Izin/Hak Pengelolaan mampu menunjukkan keabsahan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), yaitu poin a (dokumen legal terkait perizinan usaha).

Justifikasi “Memenuhi” karena mengacu pada IUPHHKHT yang diterbitkan oleh terpidana Tengku Azmun Jaafar dan Surat Dirjen BUK tahun 2011 yang menyebut bahwa IUPHHK-HA atau IUPHHKHTI yang diterbitkan oleh Bupati dan Gubernur yang belum mendapat verifikasi dikembalikan kepada pejabat penerbit izin dan dapat beroperasi dengan mengacu sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Artinya IUPHHKHT PT Triomas FDI masih mengacu yang diterbitkan oleh terpidana Azmun Jaafar. Bahkan Menhut belum memverifikasi IUPHHKHT PT Triomas FDI.

Anehnya, surat Dirjen BUK mengakui bahwa IUPHHKHT belum diverifikasi namun menyebut “mengacu sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Ini janggal. Sebab berdasarkan putusan kasai Mahkamah Agung atas nama Terpidana Azmun Jaafar. IUPHHKHT PT Triomas FDI terbukti memenuhi semua unsur Pasal 2 UU Tipikor, salah satunya unsurunya, IUPHHKHT PT Triomas FDI yang diterbikan terpidana Azmun Jaafar terbukti mengandung unsur “perbuatan melawan hukum” yaitu bertentangan dengan PP dan Kepmenhut. IUPHHKHT di atas hutan alam jelas dilarang. Malah IUPHHKHT mengandung unsur korupsi setelah diterbitkan oleh terpidana Azmun Jaafar.

Mengapa PT Equality tidak memperhatikan aspek bahwa IUPHHKHT PT Triomas FDI saat diterbitkan terbukti mengandung unsur korupsi? Bahkan hasil investigasi Jikalahari menemukan PT Triomas FDI masih menebang hutan alam per September 2013,” tegas Muslim.  Selain itu, “ PT Triomas FDI belum mendapat pembaharuan izin oleh Menteri Kehutanan. Izin PT Triomas FDI masih menggunakan izin dari terpidana Azmun Jaafar, Bupati Pelalawan waktu itu. Artinya IUPHHKHT PT Triomas FDI masih illegal,” jelas Muslim Rasyid, yang sepuluh tahun lebih memantau kejahatan kehutanan Riau. Parahnya lagi, hasil revisi PIPIB kelima tahun 2013, PT Triomas FDI dikeluarkan dari PIPIB yang awalnya masuk dalam PIPIB. Ini jelas bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh Satgas Red dan Kementerian Kehutanan.

H. Pemerintah lamban merespon putusan MK 35/PUU-X/2012 terhadap  Status Hutan Adat keluar dari status hutan negara

MEDIO 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan status hutan terbagi tiga: Hutan Negara, Hutan Adat dan Hutan Hak. Sebelumnya status hutan hanya Hutan Negara dan Hutan Hak, dimana Hutan Adat masuk dalam Hutan Negara. Kini Hutan Adat berdiri sendiri dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasca putusan MK. Dari tiga pasal—Pasal 1, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 67—UU Kehutanan yang digugat ke MK oleh Pemohon karena bertentangan dengan UUD 45. MK mengabulkan pasal 1, 4 dan 5  dan menolak pasal 67.

Singkatnya ketentuan dalam UU Kehutanan yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat dan ketentuan yang mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan kesatuan masyarakat hukum adat bertentangan dengan UUD 1945. Menariknya Masyarakat Hukum Adat Riau diwakili H Bustahmir dari Kenegerian Kuntu menjadi salah satu penggugat selain Abdon Nababan (Sekjen AMAN) dan H Okri dari masyarakat hukum adat Kasepuhan Cisitu.

Gugatan utama mereka karena selama lebih dari 10 tahun UU Kehutanan dijadikan alat oleh negara mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya, lantas dijadikan sebagai hutan Negara. Atas nama Negara, negara menyerahkan kepada para pemilik modal melalui berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah adat.

Akibatnya konflik antara kesatuan masyarakat hukum adat dengan pengusaha memanfaatkan hutan adat  terjadi terus menerus. Parahnya, UUKehutanan tidak memperhatikan aspek historis dari klaim kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya. Gambaran itu terjadi di seluruh Indonesia. Keberpihakan pemerintah kepada korporasi lebih dominan dibanding dengan masyarakat hukum adat dalam scenario hutan adat bagian dari hutan Negara.

Data kawasan hutan menunjukkan Hutan Negara seluas 14,24 juga ha sudah ditetapkan, 126, 44 juta ha belum ditetapkan. Skenario luas kawasan hutan pada 2030 112,3 juta ha, 5,6 juta ha (5 persen) dialokasikan untuk HTR, HKM dan Hutan Desa (Kemenhut 2011). Alokasi untuk hutan adat tidak ada sama sekali.

Pemanfaatan hutan oleh usaha besar (pengusaha hutan pada hutan alam, hutan tanaman dan restorasi ekosistem), usaha perkebunan dan tambang, serta untuk program transmigrasi seluas 41, 01 ha atau 99,49 persen. Sedangkan pemanfaatan hutan oleh masyarakat local/adat seluas 0,21 juta ha atau 0,51 persen dari luas seluruhnya. Khusus untuk kasus di Riau. Busthamir dalam gugatannya mengatakan dari 280.500 hektare izin PT RAPP di Riau sejak 1994, sekira 1.700 hektare berada di atas tanah kawasan hutan kesatuan masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu.

Akibatnya masyarakat hukum adat Kenegerian Kuntu kehilangan akses, pemanfaatan dan pernguasaan atas hutan yang merupakan bagian dari wilayah adat Kenegerian Kuntu. Jilung dari Suku Talang Mamak dalam kesaksian mengatakan wilayah Talang Mamak tersebar di Kecamatan Rakit Kulim dan Rengat Barat. Terdapat empat kawasan rimba puaka: hutan sungai Tunu seluas 104.933 ha, hutan durian cacar seluas 98.577 ha dan hutan kelumbuk tinggi baner 21.901 ha. Hutan adat Talang Mamak mulai terusik dan diporakporandakan sejak kehadiran HPH/HTI, penempatan transmigran, pembukaan lawan sawit dan tambang di atas lahan adat masyarakat Talang Mamak. Kengerian Kuntu dan Talang Mamak adalah salah satu masyarakat hukum adat yang tersebar di Riau, selain Suku Sakai, Suku Akit, Petalangan, Bonai, dan lainnya. Intinya hutan adat mereka atas izin Negara telah dirusak oleh perusahaan HTI, Perkebunan Sawit dan Tambang. Dari fakta dan kasus di atas terlihat jelas bahwa UU Kehutanan sebelum putusan MK menghilangkan hak-hak masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya lantaran hutan adat bagian dari hutan Negara.

Negara karena diberi kekuasaan untuk memanfaatkan hutan Negara memberikan izin untuk korporasi kaya yang secara langsung merusak hutan adat dan hak-hak masyarakat hukum adat. Setalah Status Hutan Adat berdiri sendiri, bagaimana dampaknya terhadap hutan adat yang saat ini berada dalam konsesi atau areal perusahaan HTI, Perkebunan Kelapa Sawit, Tambang dan areal transmigran di Riau? Pemerintah sama sekali tidak merespon putusan progresif Mahkamah Konstitusi tersebut.

Sejauh ini tidak ada kebijakan teknis yang diterbitkan pemerintah mengatur implementasi putusan MK tersebut. Masyakarat hukum adat khususnya di Riau dibiarkan berjuang sendiri, meski secara legal memenuhi tuntutan masyarakat. Salah satu perjuangan masyarakat adat membuat plang nama di atas hutan adat yang telah dirampas oleh korporasi.

I. Gugatan Asap dan perubahan iklim

Pada 2013, kebakaran hutan besar-besaran telah terjadi di Provinsi Riau terutama di hutan bergambut yang rentan terhadap kebakaran. Api membakar daun, semak, dan pohon yang kering yang meranggas dan asap tebal yang timbul mengganggu penglihatan serta pernafasan masyarakat sekitar.

Kebakaran hutan membuat masyarakat yang tinggal tak jauh dari lokasi kebakaran merasa cemas dan panik. Karenanya, pemerintah sebagai penyelenggara Negara harus melakukan fungsi pengaturan, pengelolaan dan penegakan hukum terhadap tindakan yang dilakukan oleh siapapun.

Riau telah terjadi kerusakan lingkungan berupa gambut dan hutan karena konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan kelapa sawit dan kebun kayu (Hutan Tanaman Industri) dengan cara penebangan dan pembakaran hutan. Ditambah Riau mengalami suhu tertinggi sepanjang 30 tahun yaitu 37 derjat celcius, akibat dari pembakaran hutan yang terjadi secara besar-besaran.

Data Bappenas tahun 2011 menyebut dalam 25 tahun terakhir, Riau kehilangan lebih dari 4 juta hektar (65 persen) tutupan hutan alam. Tutupan hutan di tanah mineral dan hutan gambut, masing-masing seluas 3,2 juta hektar pada tahun 1982, kini tersisa 0,8 juta hektar hutan di lahan mineral dan sekitar 1,4 juta hektar hutan gambut. Hutan alam tersisa di provinsi Riau sekitar 2.254.188 ha atau 25 persen dari jumlah luas daratan Riau dan hampir 50 persen dari hutan yang hilang adalah hutan rawa gambut. Jikalahari merinci, kebakaran lahan yang terjadi setiap tahun karena gencarnya pengalihan fungsi kawasan hutan.

Luas lahan kritis di Riau di luar kawasan hutan hampir merata di 11 kabupaten dan kota di Riau. Hutan yang paling kritis berada di wilayah Kabupaten Inhil  seluas 834.068 hektare, Kampar seluas 531.670 hektare, Bengkalis seluas 472.473 hektare dan Rohil seluas 454.825 hektare. Salah satu faktor terbesar terjadinya perubahan iklim karena ulah manusia, salah satunya pembukaan hutan  dan rawa gambut.

Namun dominasi sumber Gas Rumah Kaca Indonesia berasal dari sektor perubahan tata guna lahan, kehutanan, energi, dan pembakaran tumbuhan. Padahal ekosistem gambut memiliki peranan penting sebagai pengendali iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon. Sekitar 120 giga ton karbon atau sekitar 5 persen dari seluruh karbon terestrial global tersimpan di kawasan gambut. “Kerusakan yang terjadi di kawasan gambut menyebabkan hilangnya karbon ke udara yang menjadi salah satu penyebab utama pemanasan global,” kata Resa Radition dari ICEL. Delapan warga bernama Nasir, Zaini Yusu, M Yusuf, Luk Priyanto, Amran, Basir (Pelalawan) bersama warga dari Azraid  dan Tamidzi dari Rokan Hilir.

Penggugat memberi kuasa pada 20 Juli 2013 kepada Ulung Purnama SH, Nur Hariandi SH, MH, Edy Halomoan Gurning SH, Suryadi SH dan Hotman Parulian Siahaan SH. Para Advokat tergabung dalam Tim Advokasi Perubahan Iklim Riau beralamat di Jalan Dempo II No 21, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gugatan ini bernama gugatan perbuatan melawan hukum dengan mekanisme gugatan warga Negara (citizen lawsuit). Salah satu dasar gugatan citizen lawsuit Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup pada Bab IV Pedoman Penanganan Perkara Perdata Lingkungan dimana Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit/ Actio Popularis) menjadi salah satu hak gugat yang diakui. Tergugat telah telah lalai melaksanakan tanggungjawab sehingga memicu pemanasan global dan perubahan iklim di Provinsi Riau.

Mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil terhadap seluruh warga Provinsi Riau yang terkena dampak perubahan iklim. Presiden RI ikut bertanggungjawab atas perbuatan Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Riau yang memberikan izin serampangan. Penggugat menilai Presiden RI, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Gubernur Riau telah melakukan perbuatan melawan hukum berupa menerbitkan izin usaha untuk tanaman industri atau IUPHHKHT di atas hutan alam dan di atas lahan gambut.

Menhut mengeluarkan IPUHHK-HT bukan di kawasan hutan produksi, melainkan di kawasan hutan alam yang harus dipertahankan keberadaannya, karena termasuk ke dalam kawasan lindung, sebagaimana tercantum pada Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. PP No. 6 Tahun 2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008 jo. PP No. 38 Tahun 2007. Menteri Kehutanan juga telah melanggar Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Pasal 3 jo. Pasal 4 dan Kepmenhut No. SK.101/Menhut-II/2004 jo. Permenhut No. P.23/Menhut-II/2005 jo. Permenhut No. P.44/Menhut-II/2005 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman Untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Primer Hasil Hutan Kayu Pasal 4 ayat (5). ” Areal hutan alam yang harus dipertahankan berada di Kawasan hutan bergambut di hulu sungai dan rawa dengan ketebalan lebih dari 3 (tiga) meter.” Salah satu kebijakan IUPHHK-HT yang dikeluarkan oleh Menhut terdapat di salah satu kawasan lahan gambut di Riau, yaitu di Semenanjung Kampar. “Berdasarkan PP No. 26 Tahun 2008 menyebutkan hutan gambut yang terdapat dalam wilayah Semenanjung Kampar merupakan kawasan lindung gambut yang dilindungi.” Menteri Lingkungan Hidup dinilai memiliki komitmen rendah dalam program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim karena tidak segera membentuk pengaturan teknis berupa Peraturan Menteri terkait dengan inventarisasi Gas Rumah Kaca.

Kelalaian Gubernur Riau, tidak menganggarkan Strategi Implementasi Rad-GRK, meski Gubernur telah membuat dokumen RAD-GRK, namun pada BAB V Dokumen RAD-GRK tersebut terkait dengan Strategi Implementasi RAD-GRK tidak dianggarkan di dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2013 Provinsi Riau. Gubernur Riau tidak memiliki itikad baik untuk melaksanakan peraturan yang telah dibuatnya sendiri yakni Pasal 6 ayat 1 Peraturan Gubernur nomor 77 Tahun 2012 Tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Provinsi Riau. Delapan warga menuntut agar majelis hakim menunda berlakunya IUPHHK-HT  pada lahan gambut  di Provinsi Riau, melakukan penataan ulang izin IUPHHK-HT di Provinsi Riau, melakukan inventarisasi Gas Rumah Kaca dan membentuk Peraturan Menteri sebagaimana yang diamanatkan dalam Perpres Inventarisasi GRK , serta mengalokasikan dana Strategi Implementasi RAD-GRK oleh Gubernur Provinsi Riau di dalam APBD terhitung tahun anggaran sejak putusan telah memiliki kekuatan hukum tetap.

J. Eksploitasi Hutan Tidak berkontribusi terhadap Riau

Selama ini hasil hutan ini di “gadang-gadangkan” sebagai pendongkrak pembangunan nasional dan peningkatan ekonomi masyarakat.  Realitanya hasil yang diterima daerah dari ekploitasi hutan ini belum berbanding lurus dengan dampak ekploitasi yang ada. Dari tahun 2006-2012 Riau sebagai hasil hutan yang cukup besar hanya memperoleh bagian anggaran Rp. 855,2 Miliyar, yang dibagi kepada 12 kabupaten/kota dan Provinsi dengan mekanisme pembagian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hasil hutan yang diterima daerah se provinsi Riau yang teridiri dari (PSDH/DR dan IUPH), pertahunnya sejak tahun 2006 tidak lebih dari Rp. 150 miliyar. Pada tahun 2006 pendapatan daerah dari sektor hutan sebesar Rp. 134,38 Miliyar. Meningkat ditahun 2007 sebesar Rp. 152,74 Miliyar. Tahun 2008 menurun kembali menjadi Rp 84,62 Miliyar, tahun 20089 meningkat kembali menjadi 124 Miliyar, Rp. 96,34 ditahun 2010, Rp. 136,62 Miliyar ditahun 2011. Kemudian sesuai penetapan menteri keuangan tahun 2012 Riau mendapat jatah DBH SDA Sektor Kehutanan sebesar Rp. 126 Miliyar.

Rendahnya hasil sumberdaya alam (kehutanan), seperti data diatas, jelas memperlihatkan bahwa ekploitasi hutan tidak memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan daerah yang notabennya untuk mensejahterakan masyarakat. Kebijakan pemerintah membuka seluas –luasnya ekploitasi hutan untuk peningkatan ekonomi masyarakat hanya isapan jempol. Dalam struktut APBD Provinsi Riau dan Kabupaten / Kota se Riau hasil hutan yang diakumulasikan dari PSDH dan DR tidak besar pengaruhnya terhadap pendapatan daerah. Data tahun 2010-2012 APBD se Provinsi Riau, memperlihatkan kekuatan DBH SDA sektor kehutanan rerata hannya 2 % saja. Bahkan ditahun 2012 kekuatan DBH SDA hasil hutan mempengaruhi pendapatan daerah dibawah angka 1 % (satu persen).

Pada prinsipnya, sumber daya hutan yang sangat luas ini merupakan aset negara yang hendaknya dijaga kelestariannya dan dikelola pemanfaatannya sehingga tidak terjadi pemanfaatan hutan yang bersifat destruktif. Seharusnya pengelolaan hutan ini harus berdasarkan prinsip berkelanjutan sehingga kekayaan hutan kita yaitu kekayaan ekologinya masih dapat dinikmati hingga generasi kedepan, mengingat juga pemanasan global yang terus mengancam. Selain itu perlu adanya aturan yang tegas tentang kawasan hutan mana yang dapat dikonversi menjadi perkebunan sawit, mengingat hingga saat ini dibanyak daerah masih ada pertentangan antara peraturan RT/RW (rencana tata ruang dan wilayah) dengan TGHK (tata guna hutan kesepakatan). Juga dalam hal pemberian izin pelepasan kawasan hutan, dan yang paling penting adalah terutama untuk patokan nilai tegakan kayu, dan tarif PSDH dan DR. Nilai tegakan kayu ini harus segera diubah dengan menggunakan harga rata-rata pasar, yang saat ini mencapai Rp 2 juta-an.

III POLITICAL OF IGNORANCE PEMERINTAH TERHADAP HUTAN

Sepanjang tahun 2013 hutan alam kembali ditebang, akses masyarakat terhadap hutan dibatasi, kasus korupsi kehutanan hingga kerusakan ekologis, kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan minimnya anggaran sektor kehutanan untuk daerah, menunjukkan dengan jelas peristiwa lama yang berulang terjadi setiap tahun. Aktor utamanya tentu saja korporasi. Korporasi aktor dominan utama yang merusak tata kelola kehutanan yang baik yang selama ini jadi prioritas pemerintahan SBY di mata dunia. Mengapa pemerintah pusat dan daerah tidak memperbaiki tata kelola kehutanan yang buruk tersebut? Lantas, mendiamkan kasus terkait kejahatanan kehutanan yang dilakukan korporasi?

Sepanjang tahun 2013, pemerintah merespon semua kasus. Namun, pilihan untuk menyelesaikan tata kelola kehutanan yang buruk, tidak pernah terealisasi. Salah satunya alasannya, barangkali menarik melihat hasil analisa  Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H.,M.H. Dia menyebut, bahwa dalam paradigma pembangunan economic growth development, ada dua dimensi penting yang harus diperhitungkan dan harus seimbang dilakukan, yaitu dimensi target dan dimensi proses. Hasil pembangunan nasional lebih berorientasi pada pembangunan fisik, namun ongkos pembangunan harus dibayar mahal dan tidak pernah dihitung sebagai hasil pembangunan nasional. Menyangkut konteks ini, terdapat tiga klasifikasi. Pertama, ongkos pembangunan yang mahal dan tidak pernah dihitung sebagai hasil pembangunan adalah ecological degradation (kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam). Kedua adalah economical lost, sumber-sumber kehidupan ekonomi masyarakat di daerah semakin menyusut dan menghilang akibat kerusakan dan pencemaran lingkungan. Ketiga, berkaitan dengan faktor manusia, dimana social and cultural distraction tidak pernah dihitung. Artinya, menurut  Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, S.H.,M.H ada kecenderungan yang disebut sebagai political of indigenous ignorance (politik pengabaian) oleh pemerintah pusat dan daerah untuk secepatnya memperbaiki kerusakan ekologis.

Sepanjang tahun 2013, terlihat dari kasus-kasus terkait kehutanan justru pemerintah pusat melanggar komitmennya sendiri menghentikan laju kerusakan hutan dan gambut yang potensial menurunkan gas emisi rumah kaca, di mana pemerintah menargetkan 26 persen. Political of indigenous ignorance, ketika masyarakat kampong hendak ikut menyelamatkan hutan desa di Pelalawan, Pemerintah justru memperlambat izin selama dua tahun lebih. Sebaliknya, ketika perusahaan mengajukan restorasi ekosistem, secepat kilat pemerintah memberi izin. Jikalahari memandang sikap Political of indigenous ignorance pemerintah atas perbaikan tata kelola kehutanan, karena pemerintah tidak sanggup melawan kekuatan modal dan pengaruh korporasi sektor kehutanan, yang kami nilai the real  penguasa hutan di Indonesia.

Political of indigenous ignorance, menurut kami, ada kaitannya dengan proses pesta demokrasi tahun 2014, yaitu pemilihan Calon Anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden. Kami menduga keras, tahun politik 2014, adalah tahun di mana salah satunya korporasi berbasis kehutanan menjadi salah satu sumber pendanaan kandidat yang ikut dalam pesta demokrasi.  Bagi korporasi, tentu saja harus ada timbal balik; eksploitasi sumberdaya alam. Faktanya? Kasus korupsi kehutanan terpidana Tengku Azmun Jaafar  (mantn Bupati Pelalawan), salah satu motifnya memberi izin IUPHHKHT pada korporasi berbasis tanaman industri, karena terpidana hendak kembali mencalonkan diri menjadi Bupati Pelalawan. Jika pemerintah melakukan Political of indigenous ignorance atas hutan, satu-satunya lembaga Negara yang menyelamatkan hutan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah memenjarakan lima terpidana—dua bupati, tga kepala dinas kehutanan, satu gubernur yang saat ini sedang dalam pemeriksaan pengadilan Tipikor Pekanbaru.

Tumpuan harapan kita pada KPK saat ini, segera menetapkan korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi kehutanan. Sebab, jika korporasi segera ditangkap, perbaikan tata kelola kehutanan bukan hal mustahil untuk diperbaiki.

IV REKOMENDASI

Kepada Presiden SBY:

  1. Segera hentikan Political of indigenous ignorance terhadap penyelamatan hutan, sebab komitmen di mata dunia hendak mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen. Caranya, revisi izin IUPHHK HT 20 perusahaan yang terlibat dalam korupsi kehutanan di Pelalawan dan Siak termasuk jangan diberi pelayanan administrasi berupa Rencana Kerja Tahunan (RKT) selama proses revisi izin tersebut.
  2. Segera Ganti Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup yang selama ini tidak berjuang ikut komitmen anda yang hendak mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen: Sebab hasil rekomendasi Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang sudah anda bubarkan, tidak pernah dijalankan oleh Menteri Lingkungan Hidup yaitu menggugat korporasi yang terlibat dalam kasus illegal logging tahun 2007 yang di SP3-kan oleh Polda Riau tahun 2008. Menteri Kehutanan tidak melakukan revisi perizinan IUPHHKHT korporasi dalam kasus korupsi kehutanan di Pelalawan dan Siak. Malah menteri kembali memberikan RKT pada perusahaan berbasis tanaman industry yang artinya memberi izin menebang hutan alam. Penghancuran hutan alam dan perusakan gambut di Riau tentu saja bertentangan dengan komitmen anda mengurangi emisi karbon 26 persen.

Kepada Komisi Pemberantasn Korupsi:

  1. Segera tetapkan 20 korporasi sebagai tersangka dalam kasus korupsi kehutanan di Siak dan Pelalawan
  2. Segera periksa Menteri Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup terkait kebijakan mereka memberi pelayanan dan penghargaan kepada Grup APRIL dan Grup APP.

 

SALAM,

MUSLIM RASYID

Koordinator Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *