Catatan Akhir Tahun 2014 Jikalahari: Presiden Jokowi Harus Mereview Izin Korporasi Diatas Hutan Alam dan Gambut Riau

CATATAN AKHIR TAHUN 2014 JIKALAHARI

JOKO WIDODO, 37 hari usai dilantik sebagai Presiden Indonesia ke tujuh, pada 27 November 2014 menemui warga Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Jokowi didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Plt Gubernur Riau dan Bupati Kepulauan Meranti mendatangi langsung gambut yang ditanami pohon sagu dikelola secara arif selama puluhan tahun oleh warga Tebing Tinggi jauh sebelum Indonesia merdeka.

JOKO WIDODO, 37 hari usai dilantik sebagai Presiden Indonesia ke tujuh, pada 27 November 2014 menemui warga Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Propinsi Riau. Jokowi didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Plt Gubernur Riau dan Bupati Kepulauan Meranti mendatangi langsung gambut yang ditanami pohon sagu dikelola secara arif selama puluhan tahun oleh warga Tebing Tinggi jauh sebelum Indonesia merdeka.

Kehadiran Jokowi di Riau, atas petisi yang dibuat oleh Abdul Manan, warga Sungai Tohor di change.org yang berhasil mengumpulkan 25.000 dukungan. Dalam petisi itu Pak Manan mengundang Pak Jokowi untuk langsung merasakan dampak kebakaran hutan yang mereka derita bertahun-tahun, Pak Manan mengajak Pak Jokowi blusukan asap ke desanya.

“Saya buat petisi ini atas nama warga Riau, kami sudah lelah diasapi setiap tahunnya,” kata Pak Manan.   Jokowi berdialog dengan warga, juga memasang papan untuk sekat kanal agar gambut selalu basah. “….(Gambut) yang dikelola masyarakat biasanya ramah terhadap lingkungan, tapi kalo diberikan kepada perusahaan biasanya monokultur ditanami akasia dan sawit, menyebabkan masalah ekosistem,” kata Jokowi.

“Perusahaan-perusahaan yang mengkonversi gambut menjadi tanaman monokultur agar ditinjau kembali (izinnya),” kata Jokowi.

Ya, tanaman monokultur penyebab utama kebakaran hutan dan lahan di Riau. Umumnya kebakaran hebat terjadi di areal perusahaan-perusahaan bergerak di industri pulp and paper dan perkebunan kelapa sawit. Selebihnya, kebakaran hutan dan lahan terjadi di areal hutan yang dilindungi yang dirambah oleh masyarakat yang dibiayai oleh cukong dan pemodal.

SEPANJANG TAHUN 2013 – 2014 JIKALAHARI mencatat telah terjadi deforestasi sekira 174,027.82 hektare di Kawasan Hutan yang masih memiliki tutupan Hutan Alam.

Penebangan Hutan Alam terbesar terjadi di areal IUPHHKHTI (aksia dan eucaliputs untuk pulp and paper) seluas 55,775.09 ha. Di Riau hanya dua grup besar yang mengelola HTI akasia-eucaliptus yaitu grup APRIL (Raja Garuda Eagle) dan APP (Sinarmas Grup).

Penebangan hutan alam juga terjadi pada: kawasan konservasi  seluas 12,308.61 ha, Hutan Lindung seluas 12,359.57 ha, IUPHHK-HA/HPH seluas 7,547.47 ha, HGU seluas 34,319.8 ha dan pada areal lainnya seluas 51,717.28 Ha.

Jikalahari juga mencatat jumlah titik api sepanjang tahun 2014 total 20,827  titik api. Titik api terbanyak terdapat pada areal gambut sebanyak 18,867 titik api dibanding pada areal Mineral Soil sebanyak 1,960 titik api. Titik api juga ditemukan terbanyak di areal HGU atau perkebunan kelapa sawit sebanyak  9,126 titik api. Areal HTI  ditemukan sebanyak 3,668 titik api dan di areal HPH  sebanyak 349 titik api.Titik api meningkat drastis pada gambut yang pada tahun 2013 hanya 10,917 titik api, tahun 2014 menjadi 20,827  titik api.

Kebakaran hutan dan lahan gambut merupakan persoalan hilir terkait tata kelola kehutanan yang buruk di Indonesia. Persoalan besarnya ada di hulu, yaitu kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah tanpa memperhatikan lingkungan hidup, kearifan lokal masyarakat bahkan mengandung unsur korupsi. Sepanjang tahun 2014, Jikalahari kembali, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menemukan kerusakan hutan dan gambut yang terangkum dalam kasus deforestasi-degradasi:

I.    KASUS DEFORESTASI-DEGRADASI 2014

A.     HUTAN ALAM DAN GAMBUT DIRUSAK PERUSAHAAN HTI DAN SAWIT

 PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa Menebang Hutan Alam Bergambut

Pada Agustus 2014 Jikalahari kembali menemukan salah satu pemasok kayu APP/SMG PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa telah melanggar FCP APP dan hukum kehutanan.

PT. Mutiara Sabuk Khatulistiwa (PT. MSK) merupakan konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau Hak Pengelolaan Hutan (HPH) menjadi salah satu pemasok bahan baku kayu alam dan akasia bagi SMG/APP. Konsesi IUPHHK-HA/HPH menerapkan dua system silvikultur yaitu Tebang Habis Tanam Permudaan dan Tebang Pilih. PT. MSK memperoleh areal kerja secara definitif pada 29 Desember 2000, melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.109/Kpts-II/2000 dengan luas areal 44.595 ha, yang kemudian mendapat ketetapan areal melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.59/Menhut-II/2013, areal MSK menjadi seluas ± 44.433,66 Ha, yang terletak di kelompok Hutan Sungai Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

PT. MSK secara administrasi terletak di Kecamatan Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir.Berdasarkan peta land use yang dikeluarkan PT. MSK per 31 Januari 2013, konsesi ini dibagi dalam area community use, indigenous species, pulpwood plantation area, area pencadangan pulpwood plantation dan area penebangan tebang pilih.

Dengan kebijakan SMG/APP, area dimanapun pada konsesi ini harus menghormati dan mengikuti semua isi kebijakan SMG/APP, apalagi di areal yang masih ada hutan alam dan bergambut tebal.Investigasi Jikalahari pada 26-29 Agustus 2014 menemukan 1 (satu) unit alat berat sedang bekerja membuat kanal dan jalan pada konsesi PT. MSK di area “community use”.

Menurut pantauan lapangan investigator, alat berat ini telah bekerja mulai bulan Agustus 2014 dan telah membuat kanal dan jalan lebih kurang 5 (lima) kilometer. Alat berat ini diduga milik perusahaan perkebunan PT Setia Agrindo Lestari (first resources group/Surya Dumai Grup).

Dugaan ini setelah tim Jikalahari melakukan kajian terhadap Izin Lokasi PT Setia Agrindo Lestari dan lampiran petanya, dimana arealnya tumpang tindih dengan PT MSK.

Izin lokasi PT Setia Agrindo Lestari dikeluarkan oleh Badan Perizinan Penanaman Modal dan Promosi Daerah Kabupaten Indragiri Hilir tanggal 01 Agustus 2012 seluas 17.009 ha dan diberikan Izin Usaha Perkebunan (IUP) oleh Bupati Indragiri Hilir Indra Mukhlis Adnan pada Oktober 2013 .Diperkirakan areal PT Setia Agrindo Lestari tumpang tindih dengan PT MSK lebih kurang 2.000 hektar, hal ini sesuai dengan alokasi areal “community use” seluas sekitar 2.000 ha.

Jikalahari memberikan kesimpulan bahwa:Areal“community use” adalah modus bagi PT MSK, SMG/APP untuk dialihkan ke perkebunan sawit dan penebangan hutan alam dapat dilakukan, padahal ini suatu proses yang telah dirancang jauh sebelum FCP APP diluncurkan.

Temuan Jikalahari ini bersesuaian dengan temuan Ekologika yang menyebut:Selain dampak potensial oleh operasional perusahaan dampak lain yang akan mempengaruhi keberadaan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya berupa keberadaan ijin-ijin lain pada wilayah lanskap kawasan konsesi MSK terdapat beberapa ijin perusahaan lain bidang Kehutanan dan Perkebunan.

Hasil temuan investigator Jikalahari tersebut membuktikan bahwa: PT MSK tidak mematuhi aturan terkait kehutanan atau telah gagal menjalankan kewajibannya melindungi hutan dalam areal kerjanya sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan dan Surat Edaran Nomor SE.7/VI-BUHT/2014 tentang Pelaksanaan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Pada Areal Kerja IUPHHKHTI.

UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 48 ayat (3): Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal kerjanya. Penjelasan ayat 3: Kewajiban melindungi hutan oleh pemegang izin meliputi pengamanan hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran. PP 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4), Ayat (2): Perlindungan hutan atas kawasan hutan yang telah menjadi areal kerja pemegang izin pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, izin pemungutan hasil hutan, dan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan dilaksanakan dan menjadi tanggung jawab pemegang izin yang bersangkutan.

Surat Edaran Nomor SE.7/VI-BUHT/2014 tentang Pelaksanaan Perlindungan dan Pengamanan Kawasan Hutan Pada Areal Kerja IUPHHKHTI.  Poin ke 3: kami tegaskan bahwa dalam setiap penerbitan keputusan IUPHHKHTI, para pemegang IUPHHKHTI wajib melaksanakan kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman khusus pada bidang perlindungan dan pengamanan hutan pada areal kerjanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: a. Perlindungan hutan, antara lain: 1) Mencegah adanya penebangan pohon tanpa izin, 2) Menyediakan sarana dan prasarana pengamanan hutan, 3) Ikut aktif melaksanakan pencegahan, pemadaman dan penanggulangan kebakaran hutan dan di sekitar areal kerjanya. 3) Pemegang izin wajib mencegah dan menghindarkan terjadinya tindak pelanggaran oleh karyawan atau pihak lain yang menyebabkan kerusakan hutan atau lahan hutan dalam areal kerjanya, antara lain: penggarapan dan atau penggunaan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah dan perambahan lahan hutan, pencegahan pemburuan satwa liar dan atau satwa yang dilindungi.

 PT RAPP Kembali Menebang Hutan Alam di Pulau Padang

Pada 17-19 Oktober 2014, Jikalahari menemukan kembali penebangan hutan alam dan pengrusakan gambut dalam di areal PT Riau Andalan Pulpa and Paper (PT RAPP) di Desa Bagan Melibur.

Ada tiga alat berat baru saja menebang hutan alam dan menggali gambut untuk dijadikan kanal.Satu alat berat berhenti bekerja, dua alat berat lainnya sedang menebang hutan alam.Citra satelit Landsat tanggal 27 Oktober, 4 dan 12 November juga menunjukkan penebangan hutan alam berlanjut di bagian selatan konsesi.

Sekitar 870 ha dan 580 ha hilang setelah penerbitan SFMP di Pulau Padang. Hasi investigasi Jikalahari merekam penghancuran hutan alam dan gambut di Pulau Padang dimuai sejak:

Pertengahan 2011, PT. RAPP memulai penebangan hutan alam di konsesi Pulau Padang, ketika itu masih sepenuhnya berhutan, tanpa adanya penilaian HCV yang independen dan kredibel, hanya dengan “penilaian HCV” yang lemah oleh konsultan17, yang melanggar kebijakan perlindungan HCV 2005 mereka sendiri. Mereka tidak mengikuti Toolkit HCV Indonesia, yang tidak ditinjau (peer-review) oleh HCVRN

Pada 2013, APRIL menugaskan konsultan lainnya, PT Remarks Asia, untuk melakukan penilaian HCV baru dari konsesi itu sembari terus menebangi hutan alam.

Pada 22 November 2013, APRIL menyerahkan kepada WWF satu peta “mendekati final” dari kawasan HCV dan setuju dengan WWF bahwa kawasan-kawasan ini akan dilindungi hingga kajian tepat oleh HCV Resource Network. Menariknya, kawasan yang diidentifikasi sebagai HCV telah kehilangan sekitar 1.600 hektar hutan alam pada 8 Oktober 2013, bahkan sebelum laporan penilaian diselesaikan

Pada tanggal 28 Januari 2014, APRIL menerbitkan kebijakan SFMP-nya. Sejak hari itu, PT. RAPP terus menebangi hutan alam yang mana melanggar komitmen SFMP Ia dan Ib, tanpa konsultan HCV mereka menuntaskan satu penilaian independen, transparan dan kredibel. Mereka semua kekurangan keterkaitan kuat terhadap Toolkit HCV Indonesia, kurangnya proses konsultasi pemangku kepentingan yang diwajibkan dan tinjauan peer-review oleh HCVRN seperti dikomitmenkan.

Pada Agustus 2014, APRIL membagikan lagi kepada WWF sebuah laporan “akhir” penilaian HCV oleh PT. Remarks Asia, per tanggal 14 Juli 2014. Masih tanpa peer-review oleh HCVRN, PT. Remarks Asia memperbarui laporan bulan November 2013-nya dengan memodifikasi kawasan-kawasan HCV.Perubahan terbesar dalam laporan “akhir” ini adalah dikeluarkannya hampir 2.700 hektar dari kawasan HCV yang didelineasi pada laporan November 2013. Kawasan-kawasan ini pada 2013 telah diidentifikasi memiliki NKT 4.1 (Peta 4b). Untuk perubahan ini hanya ada penjelasan diberikan oleh staf APRIL kepada WWF bahwa perusahaan telah memutuskan bahwa hanya NKT 1, 2 dan 3 yang akan dilindungi tapi NKT 4, 5 dan 6 boleh ditebangi. Menariknya, PT. RAPP telah menebangi hutan alam di sebagian besar kawasan NKT 4.1 yang sudah didelineasi sebelum laporan ―akhir‖ ini kepada WWF. Selain itu, delineasi HCVF ―final‖ nyaris sama dengan delineasi ―kawasan konservasi‖ dalam Rencana Kerja Umum (RKU) perusahaan (rencana penebangan dan pengelolaan berdurasi 10 tahun). Itu yang disahkan oleh pemerintah pada 17 Desember 2013, tujuh bulan sebelum tanggal laporan ―akhir‖ HCV. Demikianlah, tampaknya APRIL lebih dulu mendapatkan rencana-rencana penebangannya disetujui dan kemudian mendelineasikan HCV-nya sesuai dengan itu, dan pastinya bertentangan dengan apa yang menjadi prinsip HCV.

Per 3 Oktober 2014, konsesi telah kehilangan sekitar 21.000 hektar hutan alam, sebagian besar karena operasi-operasi oleh perusahaan itu sendiri yang melanggar berbagai peraturan pemerintah. Dan sisanya karena penebangan oleh orang di sekitar konsesi.

Dari total hutan yang hilang, 8.000 ha dibabat setelah penerbitan kebijakan SFMP. Kawasan-kawasan HCV yang diidentifikasi oleh laporan HCV PT. Remarks Asia pada November 2013 (Peta 4c) dan Juli 2014 (Peta 3d), masing-masing kehilangan 3.260 ha dan 1.250 ha hutan alam.Dari total kehilangan hutan ini di wilayah HCV masing-masing, sekitar 870 ha dan 580 ha hilang setelah penerbitan SFMP.

Menariknya, APRIL bahkan tidak mengikuti interpretasi terbatas mereka sendiri tentang konsep HCV dan menebangi sekitar 440 ha kawasan NKT 1 dan 3 baik berdasarkan laporan-laporan November 2013 dan Juli 2014.Citra satelit Landsat tanggal 27 Oktober, 4 dan 12 November juga menunjukkan penebangan hutan alam berlanjut di bagian selatan konsesi.Terkait Konflik Nan Tak Kunjung Selesai. Pada pertengahan September 2014, warga desa Bagan Melibur memprotes penebangan hutan oleh PT. RAPP di wilayah administrasi mereka sendir.

Menurut Jikalahari, ini melanggar perjanjian dengan desa yang menyebutkan perusahaan tidak boleh beroperasi di dalam wilayah desa Bagan Melibut sepanjang belum ada proses resolusi konflik dan mufakat disepakati.Hasil suvei dan wawancara Jikalahari dengan warga di Desa Bagan Melibur pada medio November 2014.

Pertama kali masyarakat Desa Bagan Melibur menemukan PT RAPP menggali gambut untuk kanal dan land clearing hutan alam pada 26 Maret 2014. Inilah yang memicu protes warga, sebab sejak 2013 Desa Bagan Melibur keluar dari konsesi PT RAPP.Lantas pada 28 Maret 2014, Pemkab Kepulauan Meranti melakukan pertemuan dengan warga dan PT RAPP, salah satu kesepakatannya PT RAPP harus menghentikan operasionalnya di Desa Bagan Melibur sampai ada penyelesaian.

Meski Tim Terpadu telah dibentuk untuk menyelesaikan kasus tersebut, PT RAPP tetap melanjutkan menebang hutan alam dan menggali gambut untuk kanal dengan pengawalan Brimob pada Sabut 17 Mei 2014, berujung pada Warga dipukul oleh Brimob karena meminta PT RAPP menghentikan operasionalnya.  Seorang warga bernama Aris Fadila, 45 tahun, yang ikut berunjuk rasa dipukul bagian telinga kanannya ole hokum Brimob.Atas aksi tersebut, tim terpadu Pada 22 Mei 2014 turun ke lapangan bersama Pemkab Meranti diwakili Dinas Kehutanan, tata pemerintahan, BPN Kepulauan Meranti, perwakilan Camat Merbau, perwakilan Desa Mayang Sari, perwakilan Desa Lukit dan Pihak PT RAPP. PT RAPP berkukuh hutan alam yang mereka tebang bagian dari Desa Lukit. Meski ada konflik batas antara Desa Bagan Melibur dan Desa Lukit karena kedua Desa saling klaim, seharusnya PT RAPP tidak menebang hutan alam dan memicu konflik.

PT Setia Agrindo Lestari Menebang Hutan Alam Bergambut

Rabu 6 Agustus 2014, setidaknya 200 Polres Indragiri Hilir (Inhil) lengkap dengan senjata laras panjang, memakai helm, pentungan dan perisai, polisi itu menapak kaki di Desa Pungkat. Satu persatu warga ditangkap setelah salah seorang polisi membacakan daftar nama-nama.

Polisi langsung mendatangi rumah warga—menggeledah, masuk secara paksa, merusak rumah—bahkan menodongkan senjata laras panjang ke muka warga yang diduga rumah tersangka.  Polisi mengatakan bila orang yang melarikan diri tidak menyerahkan diri, aparat kembali masuk ke Desa Pungkat dengan jumlah lebih besar. Polisi juga mengancam pada istri salah seorang warga yang kabur.

Bila suaminya tak menyerahkan diri, sang istri akan dijadikan sebagai gantinya dan dibawa ke kantor polisi.Perbuatan polisi juga berakibat pada dua warga Pungkat berinisial NH (Perempuan, 18 tahun) dan SH (Lelaki, 27 tahun) terkena tekanan psikologi. NH bahkan tidak lagi bisa mengenali kedua orang tuanya. NH kerap berteriak dari dalam rumah. SH hanya mengurung diri di dalam kamar. Meski 21 warga Desa Pungkat telah divonis enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri bengkalis karena melakukan pembakaran alat berat milik PT Setia Agrindo Lestari berupa 9 alat berat berupa excavator, dua buah pondok dan satu unit mesin las di parit 9 dan parit 10 Pinang Seribu, Desa Belantaraya, Kecamatan Gaung, Kabupten Indragiri Hilir pada 17 Juni 2014, tidak adil bagi warga Pungkat yang berjuang untuk mempertahankan lingkungan hidup dan sumber mata pencahariannya.

Apalagi tindakan polisi dan IUP PT SAL mengandung unsur perbuatan melawan hukum, korupsi, intimidasi terhadap warga Pungkat hingga pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polres Inhil dan Polda Riau.Warga mengkalim, kebun kelapa, pinang dan hutan Desa Pungkat tempat warga mengambil kayu untuk pembuatan kapal masuk dalam izin PT SAL.

Karena takut kehilangan mata pencaharian mereka sebagai pekebun kelapa dan pinang dan pembuat kapal, ratusan warga Pungkat melakukan protes pada PT SAL yang mereka temukan telah membawa alat berat ke parit 9 dan parit 10. Masyarakat meminta PT SAL menghentikan kegiatannya. Tak dihiraukan PT SAL. Masyarakat mengadu ke DPRD Inhil, Bupati, Dandramil dan ke Polres Inhil. Beberapa kali pertemuan digelar dengan perusahaan. Hingga akhirnya DPRD, Bupati dan Babinsa Pungkat menandatangani kesepakatan dengan warga dan perusahaan agar aktifitas operasional dihentikan sementara waktu sampai ada penyelesaian dengan warga. Lagi-lagi PT SAL tak menghiraukan himbauan tersebut, malah melakukan aktifitas.

Bahkan lahan berupa hutan alam milik HPH-HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa (Grup APP) dan lahan HTI CV Bina Keluarga juga masuk dalam areal PT SAL. Saat tim mengambil titik GPS di TKP, hasilnya penebangan hutan dan lokasi alat berat PT SAL berada di luar izin lokasi seluas 17.095 ha yang diberikan oleh Bupati Indragiri Hilir tahun 2013 untuk perkebunan kelapa sawit. Sekitar 2-3 ha hutan alam telah ditebang PT SAL.

Dan PT SAL juga belum memiliki izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Sementara PT SAL sudah menebang kayu hutan di parit 9 dan parit 10. Menurut keterangan warga yang kami temui, PT SAL tak pernah melakukan sosialisasi AMDAL. Warga tidak tahu soal AMDAL. Beberapa unsur perbuatan melanggar hukum lainnya:PT SAL mengajukan Izin Lokasi seluas sekira 2.000 ha pada 30 Mei 2012.

Lantas 1 Agustus 2012, BP2MPD Inhil memberikan seluas 17.095 hektar. Dan pada 31 Oktober 2013 atau sebulan jelang dia digantikan oleh Bupati terpilih, Indra Mukhlis Adnan (Bupati Inhil periode 2009-2013) menerbitkan IUP kepada PT SAL.  Areal seluas 17.095 hektare tersebut bertentangan dengan sejumlah aturan yang ada.

Hasil investigasi Jikalahari  areal tersebut tumpang tindih dengan izin HPH HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dan PT Bina Keluarga jelas bertentangan dengan peraturan menteri kehutanan terkait di atas izin IUPHHKHT atau IUPHHKHA tidak boleh ada izin atau tidak dibebani izin. Faktanya, hasil temuan tim Jikalahari menemukan lokasi PT SAL berada di atas izin dua perusahaan yang sudah berdiri jauh sebelum PT SAL berdiri. PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dapat izin dari SK Menhut SK.109/Kpts-II/2000 dengan luasareal 44.595 ha, yang kemudian mendapatkan ketetapan areal melalui Kepmenhut: SK.59/Menhut-II/2013, areal MSK menjadi seluas ± 44.433,66 Ha, yang terletak di kelompok Hutan Sungai Gaung, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.

Izin PT SAL Juga bertentangan dengan Inpres SBY Nomor 06 tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.  Berdasarkan peta izin PT SAL  dioverlay dengan peta PIPIB, PT SAL masuk dalam Revisi PIPIB 1-6. Dalam Izin PT SAL seluruhnya berada di atas hutan rawa gambut yang kedalamannya lebih dari tiga meter bahkan masih tersisa hutan alam yang tersisa.  Izin lokasi PT SAL No:503/BP2MPD-IL/VIII/2012/05 tentang Pemberian izin lokasi kepada PT SAL untuk perkebunan kelapa sawit di Kecamatan Gaung Kabupaten Inhil. Terasa janggal. Awalnya lokasi di Kecamatan Tempuling, lantas berubah menjadi Kecamatan Gaung saat warga mengadukan ke DPRD Inhil.

B.    KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUT

Putusan PT Adei Plantation and Industry

Pada 9 September 2014, Majelis Hakim Pengadilan NegeriPelalawan, Riau, menghukum terdakwa Danesuvaran KR Singam dan terdakwa PT Adei Plantation and Industry yang diwakili Tan Kei Yoong karena kelalaiannya lahan KKPA Batang Nilo Kecil terbakar seluas 40 dari 541 hektare pada Juli 2013 yang berakibat pada kerusakan lingkungan hidup.

PT Adei Plantation and Industry diwakili Tan Kei Yoong dihukum pidana dendaRp 1,5 miliar subsider 5 bulan kurungan yang dalam hal ini diwakili Tan Kei Yoong dan memulihkan lahan yang rusak seluas 40 hektar dengan pengomposan menelan biaya Rp 15.1 Miliar. Danesuvaran KR Singam dihukum 1 tahun penjara, denda Rp 2 miliar subsider 2 bulan kurungan.Putusan hakim bertetangan dengan tuntutan Penuntut Umum.

PT Adei Plantation and Industry dituntut Denda Rp 5 M, dan Pidana Tambahan Rp 15,7 M. Danesuvaran KR Singam 5 tahun Penjara dan Denda Rp 5 Miliar. Mereka dituntut karena sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup.Hakim juga menilai pemerintah daerah melalui Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Pelalawan juga tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan sungguh-sungguh. Selain sebagai regulator, pemerintah juga harus berperan sebagai pengawas dan tidak hanya menerima laporan dari pemrakarsa  AMDAL.

BLH harus memastikan bahwa AMDAL yang telah disetujuinya telah dijalankan dengan baik.Meski hakim telah memvonis kedua terdakwa tersebut, Jikalahari menilai hakim telah gagal membuktikan bahwa lahan tersebut sengaja dibakar bukan karena kelalaiannya. Ini karena hakim tidak memaknai dengan benar scientific evidence. Hasil bukti yang dihadirkan Prof Bambang Heru Sahardjo dan Basuki Wasis, jelas membuktikan bahwa lahan PT Adei Plantation and Industry sengaja dibakar untuk ditanami kelapa sawit. Bukti lainnya, salah satu karyawan PT Adei Plantation Industry bernama Brigjen Simamora membakar lahan miliknya yang berdekatan dengan lahan PT Adei.

PT National Sago Prima Jadi Terdakwa

Jikalahari bersama Walhi Riau pada Februari 2014 melakukan ekspose terkait hasil temuan Walhi Riau di Kabupaten Kepulauan Meranti, areal konsesi HTI Sagu PT. National Sago Prima (Sampoerna Agro Group) di Desa Kepau, Baru Kecamatan Tebing Tinggi Timur terbakar luas hingga melanda perkebunan sagu masyarakat Desa Kepau.

Kebakaran di areal HTI PT National Sago Prima bermula pada satu titik kecil di blok K.26 pada Kamis 31 Januari 2014 sekitarpukul 19.30.  Kebakaran ini gagal dipadamkan karena kelalaian pihak perusahaan yang mempunyai areal konsesi seluas 21 ribu hektar tidak mempunyai peralatan memadai guna memadamkan api yang membara.Pantauan di lapangan, PT National Sago Prima/NSP hanya mempunyai pompa air pemadam api sebanyak tiga unit, yang dapat beroperasi hanya satu unit.

Dengan areal konsesi seluasitu, jelas kelalaian ini merupakan kelalaian yang terstruktur yang mengakibatkan api membesar dan melahap 500 Ha lebih pohon sagu.Kondisi angin yang kencang dari arah Pulau Rangsang, api cepat menyebar keperkebunan sagu milik masyarakat. Pada Sabtu, 1 Febuari 2014  sekitar pukul 13.30, kurang dari sepuluh meter jarak api telah menyebar kepemukiman yang menyatu dengan kebun sagu warga. Ini peristiwa terbesar yang melanda warga Desa.

Anehnya, PT National Sago Prima sama sekali tidak memberikan bantuan masker dan kesehatan terhadap masyarakat. Akhir Februari 2014, Walhi Riau melaporkan PT NSP ke Polda Riau dengan telah melanggar UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Maret 2014, Polda Riau menetapkan pengurus PT NSP sebagai tersangka.Delapan bulan kemudian, pada November 2014 kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bengkalis dengan tiga terdakwa: PT. Nasional Sago Prima (NSP) yang diwakili Direktur PT. NSP Eris, Manager PT. NSP Nowa Dwi Priono dan General Manager Cabang PT. NSP Erwin sebagai terdakwa. Riau corruption trial sejak Desember 2014 memantau langsung kasus tersebut di PN Bengkalis. Areal seluas 21.418 ha milik PT NSP sebelumnya bernama milik PT National Timber Forest Product bergerak dibidang HTI. PT NTFP lantas berubah menanam sagu darI HTI berdasarkan Kepmenhut No sk. 353/Menhut-II/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Pemberian IUPHHBK HTI Sagu kepada PT NSP seluas 21.620 ha.

Lantas dari NTFP berubah menjadi PT NSP berdasarkan Kepmenhut No 380/Menhut-II/2009 tanggal 25 Junni 2009 perubahan atas Kepmenhut No sk. 353/Menhut-II/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Pemberian IUPHHBK HTI Sagu kepada PT NTFP. Lantas berdasarkan Kempenhut No SK.-77/Menhut-II/2013 tanggal 4 Februari 2013 seluas 21.418 ha.

Selain lahannya terbakar, PT NSP tidak memiliki AMDAL. AMDAL yang ada masih bernama AMDAL PT NTFP. Lahan yang terbakar seluas 3.000 ha, kerusakan yang lingkungan yang terjadi berdasarkan hasil penelitian Prof Bambang Heru Sahardjo dan Basuki Wasis senilai satu triliun lebih.  Hingga kini kasusnya masih berjalan di PN Bengkalis

C. LAPORAN KORUPSI HTI DAN SAWIT KE KPK

Pada Selasa 16 September 2014 Jikalahari bersama Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan dua puluh tujuh (27) korporasi tanaman industri akasia-eukaliputs ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi kehutanan berupa merugikan keuangan Negara dan menyuap penyelenggara negara saat memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) di Propinsi Riau sepanjang tahun 2002-2006. Ke dua puluh tujuh korporasi tersebut terafiliasi dengan grup APP dan grup APRIL. Dan melaporkan pemberi IUP PT Setia Agrindo Lestari juga ke KPK.

KORPORASI MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA. Tujuh korporasi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) telah menebang hutan alam seluas 120.745 hektar sepanjang 2002-2006 untuk ditanami akasia-eucaliptus. Thamsir Rachman (Bupati Indragiri Hulu) telah menerbitkan IUPHHKHT di atas hutan alam sepanjang tahun 2002-2003 untuk PT. Artelindo Wirautama, PT. Citra Sumber Sejahtera, PT. Bukit Batabuh Sei Indah, PT. Mitra Kembang Selaras dan PT. Sumber Maswana Lestari. HM Rusli Zainal (Bupati Indragiri Hilir) telah menerbitkan IUPHHK-HT di atas hutan alam kepada PT Bina Duta Laksana dan PT. Riau Indo Agropalma sepanjang tahun 2002.

Thamsir Rachman dan HM Rusli Zainal saat menerbitkan IUPHHKHT telah melanggar aturan terkait kehutanan:

  1.  Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2002 tanggal 8 Juni 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
  2. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 10.1/Kpts‐II/2000 tanggal 6 November 2000 tentang Pedoman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman;
  3. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 21/Kpts‐II/2001 tanggal 31 Januari 2001 tentang Kriteria dan Standar Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Usaha Kayu Hutan Tanaman pada Hutan Produksi;
  4. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 151/Kpts‐II/2003 tanggal 2 Mei 2003 tentang Rencana Kerja, Rencana Lima Tahun, Rencana Kerja Tahunan dan Bagan Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman;Koalisi Anti Mafia Hutan menduga kuat dugaan ketujuh korporasi tersebut juga menyuap bupati saat mensahkan IUPHHKHT di atas hutan alam.

KORPORASI MENYUAP PENYELENGGARAN NEGARA. Dua puluh (20) korporasi berbasis tanaman industri terlibat melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama  sepanjang tahun 2002-2006 di Kabupaten Pelalawan dan Siak dalam kasus korupsi:

  1. Terpidana H. Tengku Azmun Jaafar, SH (Bupati Pelalawan) divonis Mahkamah Agung (2009) 11 tahun penjara, membayar uang pengganti setidaknya Rp 500 juta, membayar uang pengganti Rp 12.367.780.000 setidaknya Rp 12 Miliar, karena bersalahmelakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagai perbuatan beranjut saat menerbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) tahun 2002-2003 untuk 15 korporasi—PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Selaras Abadi Utama, PT Uniseraya, CV Tuah Negeri, CV Mutiara Lestari, CV Putri Lindung Bulan, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Rimba Mutiara Permai, CV Bhakti Praja Mulia, PT Triomas FDI, PT Satria Perkasa Agung, PT Mitra Hutani Jaya, CV Alam Lestari, PT Madukoro dan CV Harapan Jaya—sehingga merugikan keuangan Negara atau menguntungkan korporasi senilai Rp 1.208.625.819.554.22 setidaknya Rp 1,2 triliun.
  2. Terpidana H. Arwin AS, SH (Bupati Siak) divonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru (2011) 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta, membayar uang pengganti Rp 850 juta ditambah USD 2000, karena secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Akibat perbuatannya menerbitkan IUPHHK-HT lima (5) korporasi pada April 2002-Juni 2002—PT Bina Daya Bintara, PT National Timber Forest Product, PT Seraya Sumber Lestari, PT Balai Kayang Mandiri dan PT Rimba Mandau Lestari–menguntungkan korporasi atau merugikan keuangan Negara senilai Rp 301.653.789.091,88 atau setidaknya Rp 301 Miliar.
  3. Terpidana H. Asral Rachman SH, (Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau) divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 5 (lima) tahun penjara, denda Rp 200 juta ditambah USD 2000, membayar uang pengganti setidaknya Rp 1.544.2000.000,00 atau setidaknya Rp 1,5 Miliar, karena bersalahmelakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Akibat perbuatannya mengesahkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) IUPHHKHT untuk 17 korporasi di Siak dan Pelalawan pada 2005—PT Seraya Sumber Lestari, PT Bina Daya Bintara, PT National Timber Forest Produckt, PT Merbau Pelalawan lestari, PT Selaras Abadi Utama, PT Uniseraya, CV Putri Lindung Bulan, CV Mutiara Lestari, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Tani Nusa Sejati, PT Triomas FDI, CV Alam Lestari, CV Harapan Jaya, PT Madukoro, PT Balai Kayang Mandiri, PT Rimba Mandau Lestari dan PT Mitra Hutani Jaya–menguntungkan korporasi atau merugikan keuangan negara Rp 889.292.951.317,82 atau setidaknya Rp 889 Miliar.
  4. Terpidana Ir Syuhada Tasman MM (Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau), divonis Hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru 5 tahun penjara, denda Rp 250 juta, karena bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Akibat perbuatannya menerbitkan RKT untuk 6 korporasi tahun 2003-2004—PT Selaras Abadi Utama, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Rimba Mutiara Permai, CV Putri Lindung Bulan, CV Tuah Negeri dan CV Bhakti Praja Mulia–menguntungkan korporasi atau merugikan keuangan Negara Rp 153.024.496.294,89 setidaknya Rp 153 Miliar.
  5. Terpidana Drs H. Burhanuddin Husin, MM (Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau),  divonis majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Pekanbaru dua (2) tahun enam (6) bulan, denda Rp 100 juta, karena melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Akibat perbuatannya menerbitkan RKT untuk 12 korporasi tahun 2006—PT Mitra Taninusa Sejati, PT Selaras Abadi Utama, CV Alam Lestari, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Uniseraya, PT Rimba Mutiara Permai, PT Triomas FDI, PT Madukoro, PT Seraya Sumber Lestari, PT Bina Daya Bintara, PT National Timber Forest Produk dan PT Rimba Mandau Lestari–menguntungkan korporasi atau merugikan keuangan Negara senilai Rp 519.580.718.790.,87 setidaknya Rp 519 Miliar.
  6. Terpidana HM Rusli Zainal (Gubernur Riau) divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Pekanbaru selama 14 tahun penjara, pidana denda Rp 1 Miliar, karena melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Akbiat perbuatannya telah merugikan keuangan Negara atau menguntungkan korporasi senilai Rp 265.912.366.170,20 setidaknya Rp 265 Miliar karena menerbitkan URKT/RKT yang bukan kewenangannya sebagai Gubernur Riau untuk 9 korporasi tahun 2004—CV Putri Lindung Bulan, CV Bhakti Praja Mulia, PT Selaras Abadi Utama, PT Rimba Mutiara Permai, PT Mitra Taninusa Sejati, PT Merbau Pelalawan Lestari, PT Mitra Hutani Jaya, PT Satria Perkasa Agung dan PT Seraya Sumber Lestari—di Pelalawan dan Siak tahun 2004. Korporasi-korporasi tersebut telah  menebang hutan alam untuk ditanami akasia sepanjang tahun 2003-2006 untuk kebutuhan pabrik bubur pulp dan paper yang terafiliasi dengan APP dan APRIL grup di Propinsi Riau. Dua puluh korporasi di Kabupaten Siak dan Kabupaten Pelalawan telah menyuap: Bupati Pelalawan dan Bupati Siak, tiga Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau dan Gubernur Riau.

Meski izin kedua puluh tujuh korporasi tersebut mengandung unsur korupsi suap dan merugikan keuangan Negara, hingga tahun 2014 perusahaan tersebut masih menebang hutan alam untuk ditanami akasia-eukaliptus. Koalisi menilai bila KPK tidak segera memproses korporasi-korporasi tersebut, maka kerugian keuangan Negara semakin bertambah besar dan terus memperkaya korporasiterafiliasi dengan Grup APP milik Eka Tjipta Widjaya (Sinarmas Grup) dan APRIL milik Sukanto Tanoto (Grup Raja Garuda Eagle).

Koalisi juga melaporkan dugaan korupsi penerbitan IUP Perkebunan Kelapa Sawit tahun 2013 oleh Indra Muchlis Adnan (eks Bupati Indragiri Hilir) untuk PT Setia Agrindo Lestari (First Resources grup). Saat menerbitkan IUP Indra Muckhlis Adnan melanggar ketentuan:

  • Penebangan yang dilakukan PT. Setia Agrindo berada di luar lokasi izin usaha perkebunan;
  •  Perizinan areal PT. Setia Agrindo Lestari yang berada di kawasan hutan sesuai dengan Kepemnhut Nomor 173 Tahun 1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan. •    Areal izin seluas 17.095 ha milik PT Setia Agrindo Lestari berada di atas lahan gambut dan hutan alam. Pemberian izin ini bertentangan dengan Inpres Moratorium yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak tahun 2011. Lokasi tersebut masuk dalam revisi PIPIB 1-6.
  •  Areal seluas 17.095 ha milik PT Setia Agrindo Lestari juga tumpang tindih (atau berada di atas izin) milik PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa dan PT Bina Keluarga. Kedua perusahaan tersebut bergerak di sektor tanaman industri akasia;
  •  Adanya manipulasi keterangan oleh Indra Mukhlis Adnan berkaitan dengan status perkebunan kelapa sawit warga yang tidak aktif;•    Melanggar ketentuan mengenai Pelepasan Kawasan Hutan
  •  Lokasi yang ditunjuk sebagai areal perkebunan PT. Setia Agrindo Lestari sebagian besarnya berada di kawasan gambut yang kedalammnya melebihi 3 meter. Hal ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 14/Permentan/PL.110/2/2009  Tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit beserta lampirannya.

D.    KORUPSI PELEPASAN HUTAN untuk RTRWP RIAU

Annas Mammun, Gubernur Riau, belum setahun menjabat sebaga Gubernur Riau tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta bersama Gulat Manurung (Dosen Unri, pengusaha).

Riau corruption trial bersama Jikalahari memantau langsung sidang perdana Gulat Manurung di PN Tipikir Jakarta. Peringatan Hari Ulang Tahun Riau 9 Agustus lalu jadi titik awal Gulat Medali Emas Manurung, dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau sandang status terdakwa korupsi. Senin, 15 Desember, penyuap Gubernur Riau Annas Maamun itu jalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Ia didakwa memberi suap untuk merubah status kebun sawitnya, dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan/area penggunaan lainnya (APL).

Menurut dakwaan jaksa, kebun sawit berada di Kabupaten Kuantan Singingi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah Rokan Hilir seluas 1.214 hektar.Annas Maamun mengundang Zulkifli Hasan, saat itu jabat Menteri Kehutanan, datang ke HUT Riau. Di acara itu, Zulkifli serahkan Surat Keputusan Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Riau.

Saat sampaikan pidato, Zulkifli beri kesempatan kepada masyarakat melalui Pemerintah Propinsi Riau untuk ajukan permohonan revisi jika terdapat daerah atau kawasan yang belum terakomodir dalam SK tersebut. Dalam dakwaan jaksa, Annas Maamun tak menyiakan kesempatan itu. Ia perintahkan Kepala Bappeda Propinsi Riau, M. Yafiz serta Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau, Irwan Effendy menelaah kawasan hutan untuk direvisi menjadi bukan kawasan hutan. Mereka kerjakan bersama Cecep Iskandar Kabid Planologi Dinas Kehutanan, Supriadi Kasi Tata Ruang Bappeda, serta Ardesianto Kasi Penatagunaan Dinas Kehutanan.

Hasilnya dilaporkan pada Annas Maamun. Annas setuju dengan usulan tersebut dan terbitkan SK Revisi RTRWP Riau pada 12 Agustus. SK itu dibawa ke Kantor Kementerian Kehutanan oleh Wakil Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman. Jaksa KPK masih bacakan kronologis kejadian. Sesuai surat dakwaan, jaksa menyebutkan Arsyadjuliandi Rachman bertemu dengan Zulkifli Hasan pada 14 Agustus. Pada pertemuan itu, Zulkifli memberi centang persetujuan terhadap sebagian kawasan yang diajukan dalam surat tersebut.

“Ia akan digunakan untuk jalan tol, jalan propinsi, kawasan Candi Muara Takus, dan perkebunan untuk rakyat miskin seluas 1.700 hektar di Kabupaten Rokan Hilir.”  “Secara lisan, Zulkifli Hasan memberikan tambahan perluasan kawasan hutan menjadi bukan hutan di Propinsi Riau maksimal 30 ribu hektar,” tulis jaksa dalam dakwaan setebal 12 halaman.

Menurut dakwaan jaksa, Gulat tahu mengenai revisi SK RTRWP Riau yang diajukan Annas Maamun. Ia lantas berinisiatif menemui Annas dan minta bantuan agar areal kebun sawitnya di Kuantan Singingi seluas 1.188 hektar dan Bagan Sinembah seluas 1.214 hektar, bisa dimasukkan ke dalam usulan revisi, dari kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.

Annas setuju, lalu mengarahkan Gulat berkoordinasi dengan Cecep Iskandar, Kabid Planologi Dinas Kehutanan. Setelah selesai, Cecep Iskandar melaporkan draft usulan revisi kepada Annas Maamun. Pada 17 September 2014, Annas tanda tangani SK revisinya. Surat tersebut merupakan revisi atas usulan surat pertama.Pada usulan pertama disebutkan, “Kebun untuk masyarakat miskin yang tersebar di beberapa kabupaten/kota, di antaranya Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.700 hektar. Pada usulan kedua disebutkan, “Kebun untuk masyarakat miskin yang tersebar di beberapa Kabupaten/Kota, di antaranya Kabupaten Rokan Hilir seluas 1.700 hektar, Kabupaten Siak 2.045 hektar, serta Kabupaten Lain”, sebagaimana diminta Gulat. SK revisi kedua diantar ke Jakarta pada 18 September oleh Cecep Iskandar.

Esoknya, Cecep serahkan surat tersebut kepada Mashud, Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan di Jakarta untuk diproses permohonannya.Pada 21 September, Annas Maamun berangkat ke Jakarta dalam rangka urusan dinas, sekaligus memantau perkembangan surat usulan revisi tersebut ke Kementerian Kehutanan. “Di Jakarta, Annas Maamun menghubungi Gulat dan minta uang Rp 2,9 miliar terkait pengurusan usulan revisi perluasan bukan kawasan hutan di Propinsi Riau,” kata jaksa KPK.Gulat hanya mampu siapkan USD 166,100 (setara Rp 2 miliar) yang diperolehnya dari Edison Marudut Marsadauli Rp 1,5 miliar, sisanya Rp 500 juta uang milik Gulat sendiri. Gulat bawa uang tersebut ke Jakarta untuk diserahkan kepada Annas Maamun.

Uang tersebut dimasukkan dalam tas hitam merk Polo, diserahkan oleh Gulat kepada Triyanto, ajudan Gubernur Riau pada 24 September di rumah Annas Maamun, Perumahan Citra Gran Blok RC 3 Nomor 2 Cibubur, Jawa Barat. Mengetahui uang yang diberikan dalam bentuk dollar Amerika Serikat, Annas Maamun menelepon Gulat agar menukarkan uang tersebut dalam bentuk mata uang dollar Singapura. Annas kembalikan lagi tas hitam berisi uang itu. Ditemani Edison Marudut Marsadauli, Gulat pergi tukarkan uang USD 166,100 dengan mata uang dollar Singapura SGD 156,000 dan mata uang rupiah Rp 500 juta.

Setelah itu, Gulat kembali ke rumah Annas Maamun untuk serahkan uang tersebut. Sampai di rumah Annas Maamun, Gulat serahkan uang tersebut langsung kepada Annas. Annas terima dan simpan dalam kamarnya. Beberapa saat kemudian, Annas keluar dan serahkan sebagian uang yang telah diterimanya tersebut, yakni Rp 60 juta kepada Gulat.Tak lama kemudian petugas KPK melakukan penangkapan terhadap Annas Maamun dan ditemukan uang sejumlah SGD 156,000 dan Rp 400 juta di rumah Annas Maamun.

Selain itu ditemukan Rp 60 juta dari dalam tas Gulat.Perbuatan Gulat diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf b UU 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (primair) serta pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi. Kasus ini masih terus bergulir di sidang Pengadilan Tipikor Jakarta

E.    KERJASAMA BP REDD+ DENGAN PLT GUBERNUR RIAU DAN BUPATI 12 KABUPATEN KOTABP REDD+

Pada 29 Oktober 2014 menandatangani nota kesepahaman dengan Arsyadjuliandi Rachman, Pelaksana Tugas Gubernur Provinsi Riau. Andi Rachman mengatakan,“Sesuai dengan visi pengelolaan sumber daya alam hutan dan lahan gambut yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat Riau, saat ini Provinsi Riau telah memiliki Strategi dan Rencana Aksi (SRAP) Riau dan baseline data, termasuk peta kadastral, sebagai prasyarat pelaksanaan REDD+ dan berkomitmen untuk mengimplementasikan REDD+ di Provinsi Riau.” (http://www.reddplus.go.id/berita/siaran-pers/2014) Rencana aksi selanjutnya, Pemerintah Provinsi Riau akan membentuk lembaga khusus atau memperkuat lembaga yang sudah ada untuk mengawal implementasi REDD+ di Riau dalam memenuhi beberapa aspek, antara lain mengukur Reference Emission Level (REL) dan mengaplikasikan mekanisme Monitoring, Reporting, & Verification (MRV) agar dapat mengukur performa pelaksanaan REDD+ di lapangan. Selain itu, pendekatan terhadap pihak swasta dilakukan melalui kerja sama dengan sejumlah organisasi kemasyarakatan melalui Inisiatif “Eyes on the Forest”.

Hal ini termasuk melakukan pemantauan dan audit terhadap kepatuhan Pemerintah Daerah dan perusahaan swasta di Provinsi Riau dalam melaksanakan tanggung jawab mereka mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. BP REDD+ bersama Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) melakukan audit kepatuhan. Hasilnya:Perusahaan perkebunan.

Dari 5 (lima) perusahaan perkebunan yang diaudit seluruh perusahaan tergolong tidak patuh.Perusahaan kehutanan. Dari 12 (dua) belas perusahaan yang diaudit 1 (satu) perusahaan tergolong sangat tidak patuh, 10 (sepuluh) perusahaan tergolong tidak patuh dan 1 (satu) perusahaan tergolong kurang patuh;Pemerintah Kabupaten dan Kota. Dari 6 (enam) kabupaten dan kota, 1 (satu) kabupaten patuh, 1 (satu) kabupaten cukup patuh, dan 4 (empat) kabupaten kurang patuh.

Sejak tahun 2013, Jikalahari bersama Eof melakukan investigasi langsung ke lapangan terkait areal perusahaan yang terbakar. Hasilnya, ada tindakan hukum yang dilakukan terhadap perusahaan tersebut atas dorongan kuat dari UKP4 dan BPREDD+. Lantas sejak Desember 2014, BP REDD+ bersama Bupati 12 Kabupaten Kota juga melakukan kerjasama terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi yang berasal dari hutan alam dan gambut. BP REDD+ sejauh ini selain aktif mempercepat korporasi pembakar lahan segera disidangkan, koordinasi dengan instansi pemerintah  juga kerap mereka lakukan. Namun, kehadiran BP REDD+ di Riau tentu juga punya kewenangan yang terbatas, sebab mereka hanya punya kewenangan prioritas menjaga areal hutan alam dan gambut yang tidak dibebani izin baru, atau izin lama yang dikelola perusahaan pulp and paper dan sawit meskipun berada di atas hutan alam dan bergambut tetap bisa beroperasi.

II.    REKOMENDASI

Seperti kata Jokowi,”Perusahaan-perusahaan yang mengkonversi gambut menjadi tanaman monokultur agar ditinjau kembali (izinnya).” Secepatnya Jokowi harus merealisasikan janjinya, jangan sampai perusahaan pulp and paper dan perusahaan sawit melakukan ekspansi di Indonesia. Jokowi juga harus menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK untuk memperbaiki dan meninjau ulang izin perusahaan HTI dan Sawit. Sebab kuat dugaan izin menebang hutan alam di atas gambut penuh kongkalikong antara perusahaan dengan pemberi izin.

Jikalahari, berkaca pada hasil advokasi tahun 2014 yang konsen menyelamatkan hutan alam dan gambut yang menjadi penopang melawan perubahan iklim, mendesak kepada:

  1.  Joko Widodo, Presiden Indonesia, agar segera meninjau ulang bahkan mencabut izin-izin perusahaan yang bergerak di bidang pulp and paper dan sawit yang berada di atas hutan alam dan bergambut dalam di Riau.
  2. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, segera meninjau ulang produk hukum kementerian kehutanan berupa Permenhut, Keputusan atau Surat Edaran yang mengizinkan perusahaan HTI menebang hutan alam di atas lahan gambut, termasuk pemberian izin baru dan perluasan izin baru.
  3.  BP REDD+, agar segera mendesak 10 perusahaan (5 HTI, 5 Sawit) yang sudah ditetapkan tersangka oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2013 dan 2014 segera disidangkan di Pengadilan. Sejauh ini baru Polda Riau yang cukup sukses membawa dua perusahaan pembakara lahan sampai ke Pengadilan.
  4.  KPK, segera tetapkan 27 perusahaan HTI sebagai tersangka korupsi menebang hutan alam yang merugikan keuangan negara dan menyuap pejabat, termasuk menetapkan tersangka pemberi izin kepada PT SAL
Salam,
 
Muslim Rasyid
Koordinator Jikalahari

—–selesai——

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *