Siaran Pers : Paparan Hasil Kajian KPK tentang Kehutanan

Jakarta, 3 Desember 2010. Pada hari ini, bertempat di Gedung KPK, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil Kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan dan Kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Pemaparan disampaikan Wakil Ketua KPK, Mochammad Jasin, di hadapan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan beserta jajarannya.

 

Dari kajian Kebijakan Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, KPK menemukan adanya ketidakpastian definisi kawasan hutan dalam UU no. 41 tahun 2009, PP no. 44 tahun 2004, SK Menhut no. 32 tahun 2001, dan Peraturan Menteri Kehutanan no. 50 tahun 2009. Situasi tersebut memungkinkan terjadinya perlakuan memihak yang dapat dimanfaatkan untuk meloloskan pelaku illegal logging dan illegal mining dari tuntutan hukum. Kemungkinan perlakuan memihak ini dapat juga terjadi dari ketidakjelasan kewenangan menentukan kawasan hutan antara pusat dan daerah terkait Rencana Tata Ruang Wilayah.

Temuan lain adalah direduksinya azas fair procedure dalam proses penunjukan kawasan hutan pada aturan-aturan pelaksanaan UU no. 41 tahun 1999 sehingga melemahkan legalitas dan legitimasi 88,2% kawasan hutan (+ 105,8 juta ha) yang sampai saat ini belum selesai ditetapkan. Terhadap temuan-temuan tersebut, KPK merekomendasikan kepada Menteri Kehutanan untuk mencabut Permenhut 50 tahun 2009 dan SK Menhut 32 tahun 2001.

Sedangkan dari hasil kajian Sistem Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Hutan, KPK  menemukan kerentanan korupsi akibat ketidakpastian hak dan ketidakpastian ruang investasi, lemahnya regulasi, serta tidak adanya pengelola kawasan hutan di lapangan. Hasil kajian menemukan 17  kelemahan sistemik dalam aspek regulasi (9 temuan), aspek kelembagaan (3 temuan), aspek tata laksana (4 temuan) dan aspek manajemen SDM (1 temuan), di antaranya:

  1. Belum terintegrasinya peta-peta kawasan hutan menjadi satu peta tunggal sebagai acuan semua stakeholder. KPK menemukan sekurang-kurangnya 4 versi peta kawasan hutan dengan skala yang berbeda-beda, yang berdampak pada ketidakpastian karena terdapat selisih antara 4 hingga 16 juta ha luas kawasan hutan di antara versi-versi tersebut.
  2. Inefisiensi keuangan negara sebesar Rp 452,4 miliar dan potensi inefisiensi sebesar Rp 339,2 miliar dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan akibat perubahan batas-batas kawasan hutan secara terus-menerus sebagai konsekuensi dari ketentuan-ketentuan dalam SK Menhut no. 32 tahun 2001,
  3. Potensi kerugian negara akibat pencurian kayu dengan modus berlindung kepada izin pinjam pakai, tukar-menukar kawasan hutan untuk fasilitas umum, pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman transmigrasi dan pelepasan kawasan hutan melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Sebagai contoh, di Provinsi Kalteng, total areal pemukiman transmigrasi yang telah ditempati tanpa melalui proses pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan mencapai + 178.743 ha, dan tidak ada data pertanggungjawaban tegakan dari kegiatan land clearing. Hal ini disebabkan belum lengkapnya aturan mengenai inventarisasi tegakan dan pembayaran Izin Pemanfaatan Kayu dalam Peraturan Menteri Kehutanan no. 58 tahun 2009.
  4. Kerugian negara akibat 3,2 juta ha kawasan hutan menjadi tanah telantar dan potensi kerugian negara dari pencadangan pelepasan 4,2 juta ha kawasan hutan untuk perkebunan. Hal ini disebabkan tidak adanya jaminan realisasi pelaksanaan penanaman sesuai tujuan pelepasan dan tidak adanya mekanisme pengembalian kawasan hutan yang dilepaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan no. 33 tahun 2010. Masalah ini semakin kompleks karena BPN telah mengeluarkan 357 HGU seluas 2,4 juta ha.
  5. Potensi konflik 119 wilayah provinsi dan kabupaten/kota pemekaran yang sebagian atau seluruhnya berada di kawasan hutan. Di antaranya di Papua, Kab. Nduga, (+ 216.800 ha) di kawasan hutan lindung dan Kab. Raja Ampat (+ 6.084.500 ha) di kawasan hutan konservasi. Terkait harmonisasi Tata Ruang Wilayah dengan kawasan hutan, sekurang-kurangnya terdapat potensi konflik pada 10 kabupaten/kota pemekaran di Provinsi Lampung dan 4 kabupaten/kota pemekaran di Provinsi Sulsel karena tidak mengusulkan perubahan kawasan hutan. Peluang untuk mengatasi potensi konflik ini antara lain terkendala oleh keterbatasan Tim Terpadu berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan no. 36 tahun 2010.
  6. Belum diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam pelayanan publik terutama dalam pelayanan perpetaan, konfirmasi areal kerja IUPHHK, perizinan pinjam pakai, tukar-menukar, dan pelepasan kawasan hutan karena tidak ada unit pelayanan terpadu informasi dan perizinan. Selain itu, tidak ada standar waktu dan biaya yang jelas. Dalam lingkup Ditjen Planologi saja, konfirmasi peta harus melalui sekurang-kurangnya 2 Direktorat, per Direktorat 5 Subdit, tiap-tiap Subdit sekurang-kurangnya 4 meja. Biaya rapat-rapat pembahasan dan biaya pengawasan oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) juga tidak distandarkan.
  7. Penerbitan 79 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Alam/Tanaman di luar peruntukannya menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Riau, dengan total luas kawasan yang dilanggar mencapai 3,7 juta ha. Sebagian besar, 2,9 juta ha, berupa IUPHHK-HT di kawasan Hutan Produksi Terbatas, yang berarti indikasi land clearing di hutan alam. Hal ini disebabkan lemahnya prosedur serta evaluasi kinerja daerah dalam perlindungan  dan pengawasan hutan.
  8. Penerbitan HGU/SHM oleh BPN terutama di kawasan hutan konservasi yang tidak tercegah akibat kurangnya intensitas pengelolaan dan pemantapan kawasan hutan, antara lain di Suaka Marga Satwa Bakiriang, Taman Nasional Komodo, dan Taman Wisata Alam Gunung Pancar. Hal ini antara lain disebabkan kurangnya kapasitas BPKH, tata letak BPKH yang jauh dari objek kerjanya dan tidak terbangunnya Sistem Informasi Geografis yang andal.
  9. Hanya dari temuan di 4 provinsi di Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel dan Kaltim), dugaan kerugian negara akibat tidak segera ditertibkannya penambangan tanpa izin pinjam pakai di dalam kawasan hutan sejauh ini telah terhitung sekurang-kurangnya Rp 15,9 triliun per tahun dari potensi PNBP. Angka tersebut di luar kompensasi lahan yang tidak diserahkan, biaya reklamasi yang tidak disetorkan dan denda kerusakan kawasan hutan konservasi sebesar Rp 255 miliar.

Terhadap temuan-temuan tersebut, KPK memberikan sejumlah rekomendasi kepada Menteri Kehutanan yang untuk selanjutnya diminta membuat rencana aksi perbaikan yang pelaksanaannya akan dipantau dan diverifikasi oleh KPK.

Informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Johan Budi SP
Hubungan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. HR. Rasuna Said Kav C-1
Jakarta Selatan
(021) 2557-8300
www.kpk.go.id | twitter : @KPK_RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *