Presiden Harus Memimpin Langsung Pemberantasan Kejahatan Kawasan Hutan

Jakarta, 2 Maret 2018— ICEL, FWI dan Jikalahari mendesak presiden untuk menuntaskan kasus kejahatan kawasan hutan. Tuntutan ini disampaikan pada Media Briefing yang digelar di Jakarta.

Januari 2018, Jikalahari melaporkan 53 Korporasi perkebunan kelapa sawit dan Pemodal perorangan (Cukong) ke KLHK dan Mabes Polri terkait perambahan kawasan hutan dan menerima titipan hasil perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Hingga saat ini belum ada perkembangan berarti yang ditunjukan oleh Mabes Polri atas laporan tersebut.

Persoalan ketidak seriusan dan lambatnya aparat penegak hukum bukan hanya terjadi pada saat ini saja. Sebelumnya Jikalahari pada 2016 melaporkan 49 korporasi diduga melakukan pembakaran hutan dan lahan ke KLHK, BRG, KSP dan Kepolisian. Pada tahun yang sama Jikalahari juga melaporkan 20 korporasi ke KPK terkait korupsi kehutanan. Total korporasi yang sudah dilaporkan Jikalahasi sejak 2016 – Januari 2018 sebanyak 145 korporasi.

“Ketidak seriusan aparat penegak hukum dalam menangani kasus lingkungan hidup dan kehutanan menjadi salah satu penyebab sulitnya mewujudkan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan kehutanan. Dampaknya, karhutla yang masih terus terjadi, konflik tenurial dan juga menjadi hambatan bagi masyarakat saat mengusulkan dan mengelola wilayah kelola masyarakat dalam skema perhutanan sosial,” Kata Okto Yugo Setio, Juru Kampanye Jikalahari.

“Upaya kami mendorong kasus tersebut dengan melaporkan lambatnya penanganan kasus oleh Mabes Polri kepada Kompolnas RI. Kami berharap Kompolnas dapat mengambil kebijakan untuk mendorong Mabes Polri lebih mengoptimalkan kinerjanya,” lanjut Okto.

Kajian FWI hingga 2015 izin pelepasan kawasan hutan di Riau mencapai 1,55 juta hektare dan izin perkebunan yang berada dalam kawasan hutan di provinsi Riau diperkirakan mencapai 460 ribu hektare. Usaha perkebunan yang ingin mendapatkan lahan konsesi di dalam kawasan hutan dimungkinkan dengan tata cara pelepasan kawasan yang diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. 33 tahun 2010 Jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. 17 tahun 2011 tentang Perubahan Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK).

Dengan demikian investor yang berkehendak membangun perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di dalam kawasan hutan wajib melakukan pelepasan kawasan hutan. Sementara itu, di dalam pedoman perizinan perkebunan di Kementerian Pertanian berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No 93 tahun 2013, aturan terkait dengan penggunaan kawasan hutan hanya menyebutkan tentang perlu adanya pertimbangan teknis dari dinas yang membidangi kehutanan mengenai ketersediaan areal. “Pedoman perizinan yang tidak secara tegas mengatur soal pelepasan kawasan hutan dalam proses perizinan perkebunan ini menyebabkan banyak sekali keterlanjuran izin perkebunan di dalam kawasan hutan,” ungkap Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif FWI.

“Peran kita sebagai kontrol pengawasan juga belum diakomodir. Informasi-informasi publik terkait perizinan misalnya masih ditutup-tutupi oleh pemerintah. Kami yakini, ketertutupan ini bagian dari kejahatan juga. Seperti dokumen HGU sawit yang sampai hari ini belum dibuka oleh Kementerian ATR/BPN,” pungkas Soelthon.

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL menegaskan bahwa persoalan penuntasan kejahatan kawasan hutan harus diselesaikan melalui perbaikan akuntabilitas penegakan hukum atas berbagai laporan kejahatan yang telah disampaikan oleh publik, target yang jelas kepada aparat penegak hukum, dan juga memperkuat kelembagaan penegakan hukum. Ada kewajiban UU yang hingga saat ini belum dituntaskan oleh Presiden, salah satunya adalah pembentukan lembaga pencegahan dan pemberantasan kejahatan kehutanan berdasarkan UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Oleh karena itu, inisiatif Presiden untuk melakukan penundaan izin baru dan evaluasi usaha kegiatan perkelapasawitan yang saat ini diinisiasipun dapat diprediksi tidak akan dapat menuntaskan persoalan yang ada jika aspek penegakan hukum nya tidak diperkuat. Yang kita hadapi saat ini  jelas sekali yaitu kejahatan terorganisir yang tidak bisa direspon secara parsial, ujarnya.

 

***

Narahubung:

Okto Yugo Setiyo, Juru Kampanye Jikalahari, 085374856435, otoy.yugo@gmail.com

Soelthon Gussetya Nanggara, Direktur Eksekutif FWI, 085649638037 , sulton@fwi.or.id

Henri Subagiyo, Direktur Eksekutif ICEL, 081585741001, henrisubagiyo@gmail.com

About Okto Yugo

Manajer Advokasi dan Kampanye Jikalahari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *